Sebal

141 14 6
                                    

Dan petang ini, Lia cukup resah. Karena, Pagi tadi, suaminya pamit untuk mengambil beberapa barang termasuk alat dapur yang dia titipkan di rumah temannya. Tapi, sampai sepetang ini, dia belum datang.

Lia bolak-balik dari dalam rumah ke teras depan. Menengok jalanan, siapa tahu sang suami sudah tiba. Ini dilakukannya sejak siang tadi.

Tak cuma itu, Lia juga berulang kali mengirimi suaminya itu pesan chat. Bahkan hingga langit jingga berubah gelap, Herman belum juga muncul. Pesan pun tak juga terbaca.

"Nak, tenanglah dulu! Tunggulah di dalam. Suamimu itu sedang mengambil barang yang tak sedikit." Tepukan halus mendarat di pundak Lia yang terbalut daster batik biru.

Seketika Lia menoleh, dan Yanu sudah berdiri di sampingnya. Lia hanya tersenyum sopan, lantas menggeser posisinya. Berusaha sedikit menjauh dari lelaki paruh baya itu. Juga bermaksud agar tangan yang berada di pundaknya terlepas.

Karena, sejenak lalu, terasa bahwa itu bukan hanya tepukan, tapi durasinya lebih lama. Lia merasa tak nyaman.

"I-iya, Bah."

"Kalau suami sedang berjuang itu, istri hendaknya mendukung. Tenang. Menunggu dengan sabar. Bukan nggupuhi seperti ini." Lelaki bercelana kain cokelat dengan kemeja hitam bergaris itu mengalihkan pandangan dari wanita di sampingnya. Menatap kosong ke depan. Menghela napas dalam kemudian mengembuskannya perlahan.

"Inggih, Bah." Lia mengangguk pelan. Berdiri dengan postur sedikit membungkuk.

Perlahan, lelaki paruh baya itu menoleh. Menjatuhkan pandangan kepada perempuan yang sudah menganggapnya sebagai orangtua angkat itu.

"Kalau begitu, lebih baik kamu masuk! Tunggu suamimu di dalam! Temani anakmu bermain!" Yanu memutar tubuh sembari menggeser posisi mendekat pada Lia. Berisyarat dengan tangan kanannya ke arah Cahaya yang sedang duduk berlunjur di ruang tamu. Bermain-main dengan beberapa mainan yang telah dibelikannya siang tadi.

Sementara itu, tangan kiri lelaki berjenggot itu lagi-lagi mendarat di punggung Lia. Bermaksud membimbingnya ke ruang tamu. Dan,  ini membuat wanita cantik itu tak nyaman.

Sontak saja, Lia mendongak. Menegakkan tubuh. Lantas menggeser posisinya sedikit menjauh.  Kemudian memosisikan diri sedikit di belakang lelaki paruh baya itu. Mengekorinya ke dalam rumah.

Dan memang benar adanya. Sekitar jam tujuh malam, terdengar bunyi motor yang berhenti di depan rumah Yanu. Herman datang dengan wajah yang tampak sangat kelelahan. Dia turun dari motor, setelah membuka helm full face-nya dan meletakkan di pojok teras. Lantas kembali melangkah ke dekat motor untuk membuka tali pengaman barang bawaannya.

Sementara Lia, segera melangkah cepat, setengah berlari menyambut suaminya itu dengan senyum semringah.

Tanpa banyak pikir, Lia turun dari teras dengan kaki telanjang. Mendekati suaminya. Meraih punggung tangan dan menciumnya.

Dia pun membantu suaminya itu membuka tali karet yang meliliti keranjang plastik besar di atas motor.

"Kok lama banget, sih, Yah? Aku nungguin sejak siang. Cuma ambil barang aja selama ini." Nada suara Lia menyiratkan bahwa wanita ayu itu sedang merajuk.

"Kok malah nyalahin aku, sih? Banyak, loh, Bun, barang bawaanku. Dan ini, liatin!" Herman membuka sedikit tutup salah satu kardus berisi pakain. "Aku masih ke rumah Ayah. Kamu pikir gampang apa? Aku harus cari cara biar enggak ketahuan pas masuk rumah. Masih nungguin ayah dan ibu tidur. Enggak gampang."

Nada suara lelaki yang memang sangat kelelahan itu meninggi. Dia kecewa dengan sambutan sang istri. Karena memang seharian dia menunggu di dekat rumah orangtuanya, hanya untuk sekadar bisa menyelinap masuk dan mengambil beberapa helai pakaian untuk istri dan anaknya.

Dan Lia, yang memang juga sangat cemas dan cukup kelelahan--karena efek mondar-mandir dan banyak pikiran--merasa marah dan kecewa dengan reaksi suaminya itu.

"Ya, maaf, Yah. Namanya juga khawatir. Ayah pikir setelah ketahuan punya istri lagi, aku bisa tenang? Aku overthingking, Yah. Harusnya Ayah paham ini." Nada suara wanita berdaster biru itu meninggi.

"Lah ... setelah semua ini, kamu pikir aku masih akan kembali pada Lulu? Yang benar saja, Bun? Aku memang brengsek. Tapi aku enggak bodoh." Herman menghentikan kegiatannya. Memutar tubuh, menghadap pada istrinya. Menatap sang istri dengan dahi yang berkerut dan tatapan tajam membidik.

"Lah, kenapa kita malah kembali bertengkar, sih, Yah?" Lia pun menghentikan kegiatannya. Melirik sang suami dari sudut mata sayunya sembari mengerucutkan bibir. Mengentakkan satu kaki ke tanah.

Dan, detik kemudian, wanita bertinggi sedang itu memutar tubuh. Berlalu dengan langkah mengentak. Meninggalkan suaminya.

Herman semakin geram. Lia yang dulu, tiba-tiba kembali lagi. Tak butuh waktu lama. Hanya selang sehari. Oh, tidak. Bahkan, tak sampai sehari. Karena pagi tadi, Lia masih manis dan begitu sabar. Tapi malam ini, dia kembali pemarah dan pencemburu.

Karenanya, lelaki bermata tajam itu membuka tali pengaman di motornya dengan kasar. Dia hanya ingin pekerjaannya cepat selesai. Cepat-cepat menata barang itu di teras, lantas sesegera mungkin menuju kamar mandi.

Tentu saja ... seharian Herman tak mandi. Pun dia hanya makan sebungkus nasi dengan porsi mini demi menghemat pengeluaran. Bisa dibayangkan betapa lelahnya dia.

Tapi, ketika sampai, bukannya disambut dengan senyum dan sapaan hangat, malah kemarahan dan kecemburuan, yang ada. Herman tak sesabar dan sebijak itu untuk menghadapi istrinya. Dia hanya lelaki tiga puluh tahun yang sedang berusaha menata kehidupannya.

Dan perselisihan keduanya, tercium oleh Yanu yang sedang duduk di ruang tengah. Kebetulan tak ada pembatas atau sekadar tirai antara ruang tengah dan ruang tamu rumah ini. Jadi, langkah kaki mengentak Lia, bisa dilihat jelas oleh lelaki paruh baya itu.

"Loh, Nak, kamu kenapa marah-marah begitu?" Yanu memandang Lia dengan dahi yeng berkerut.

Ditegur macam itu, tentu saja Lia segera menghentikan langkah. Berdiri sedikit takut-takut dan menunduk. "T-tidak, Bah. Saya tidak marah, Kok."

"Bukannya suamimu baru datang? Kamu berselisih sama Herman?" Yanu beranjak dari duduknya. Melangkah mendekati Lia yang sedang berdiri di belakang pintu ruang depan.

Dan ketika sampai di samping wanita bertinggi sedang itu, Yanu melongok ke luar rumah. Memperhatikan Herman yang sedang sibuk menurunkan satu per satu kardus dari motor.

Lagi, tepukan halus di pundak, mengejutkan Lia. Tapi, kali ini benar-benar tepukan. Lia tak perlu menggeser posisi atau merasa tak nyaman.

Lelaki paruh baya itu menghela napas dalam. "Nak, suamimu itu baru datang. Mengendarai motor dengan bawaan seperti itu pasti capek. Cobalah kamu bantu! Jangan marah-marah!"

Lia terdiam. Memutar tubuh, ikut melongok ke luar rumah. Memperhatikan suaminya. Tapi, yang tampak di matanya hanya lelaki menyebalkan yang sedang marah.

Lia belum mau berdamai dengan Herman. Apalagi minta maaf? Tapi, karena Yanu telah menitahkan, tentu saja Lia menjadi sungkan.

Akhirnya, meski dengan terpaksa, wanita bertubuh sedang itu melangkah ke luar rumah. Kembali membantu sang suami. Dan kali ini dengan senyum yang agak dipaksakan dan menekan amarahnya sebaik mungkin.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now