Kontradiksi

86 14 8
                                    

Herman akan sangat menyesal ketika tersadar bahwa telah menyakiti Lia. Sama saja, baik itu fisik atau batin.

Seperti malam-malam sebelumnya, suara jangkrik dan kodok terdengar bersahutan. Petang baru berlalu sejam yang lalu.

Lelaki berambut ikal itu duduk bersila. Bersandar pada tembok, di ruangan toko. Kaos hijau tua telah membalut tubuh bagian atasnya.

Sementara itu, istrinya telah tertidur setelah pertengkaran dahsyat tadi. Dan sang putri ada di pangkuannya, meminum teh manis dari botol.

Sebelah tangan membelai rambut keriting balita tiga tahun di pangkuannya. Sementara sebelah lagi, menekan-nekan pelipisnya.

Ketika melakukan kekerasan fisik, bahkan hampir membuat nyawa terlepas dari raga yang disayangnya. Tentu saja, lelaki yang sebenarnya sangat menyayangi istrinya itu, seketika menyesal. Menghukum dirinya dengan makian yang hampir tanpa jeda.

Kau sama saja, kan? Tukang pukul. Dasar banci!

Kau hanya bisa menyakiti. Mana bisa memberi solusi?

Kau berjanji membahagiakannya, kan? Tapi malah menyakiti tanpa henti.

Dan semua itu, bukan hanya terjadi dalam beberapa saat. Berhari-hari hujatan itu akan bergema di kepala. Rasa mengganjal itu bersarang di dada begitu lama. Tak nyaman.

Tapi, Herman tak tahu mengapa, lagi dan lagi harus menyakiti Lia. Dia tak bisa mengendalikan diri. Semua terjadi begitu saja. Ininsudah menjadi kebiasaannya sejak menginjak tahun kedua pernikahan mereka.

Ini bukan salah Herman, kan? Tentu saja bukan. Lelaki yang sangat merasa bersalah itu ingin mempercayai keyakinannya. Herman tak bersalah.

Ini juga terjadi kala itu, saat pertama kali Herman mengenal Lulu. Ah, waktu itu keadaannya pun serupa. Rasa di dada sama. Merasa bersalah karena telah menyakiti Lia. Gagal memenuhi keinginan wanita yang dikasihinya.

Pria yang merasa sangat tertekan itu keluar rumah sore hari. Bermain ke rumah Fajar. Teman lama yang ... seharusnya dihindari. Herman tak seharusnya kembali berteman dengan lelaki yang suka iseng itu.

Tapi, pria yang sedang kebingungan itu tak punya banyak pilihan. Atau lebih tepatnya, tak mampu berpikir jernih. Jangankan memilih teman, sekadar menahan diri untuk tak keluar rumah saja dia tak mampu.

Herman mengunjungi Fajar untuk sekadar bersenang-senang. Mencoba melupakan beban yang tak jua berkurang. Beban sebab tekanan dari Lia dan keluarganya.

Dan sialnya, teman yang sebenarnya menjerumuskannya pada penderitaan itu mengajaknya berkeliling kota. Refreshing katanya. Yang dilanjutkan dengan acara menemui kekasih temannya itu. Di salah satu toko pakaian. Yang membuatnya bertemu dan berkenalan dengan Lulu.

"... wah temennya Mas Fajar, ya? Aku baru tahu kalau Mas Fajar punya temen sekeren ini."

Lulu memainkan ujung seragam kremnya dengan kedua tangan sembari menunduk. Tersenyum, mendongak sesekali disertai tatapan malu-malu. Sementara salah satu kaki berbalut rok hitam selutut itu bersilang ke belakang.

"Dia belum punya pasangan, loh, Lu," tiba-tiba saja Fajar, lelaki berjaket kulit hitam mengkilat itu menyeletuk. Celetukan penuh kebohongan yang diikuti dengan senyum menggoda dan isyarat dengan alis yang terangkat.

Mereka bertemu di tempat parkir toko. Saat pergantian shift. Di sore yang mendung di bulan Oktober. Tentu saja Herman sangat ingat kapan putrinya lahur ke dunia. Kala itu umur Cahaya baru seminggu.

Dan kunjungan mertuanya ke rumah merekalah yang sukses membuat Lia emosi. Lantas menangis. Hingga membuat Herman berakhir di sini. Bertemu Lulu.

Dan entah mengapa, lelaki beristri itu tak mampu untuk membantah kebohongan yang telah terucap. Dia hanya tersenyum.

Mungkin semua karena pikirannya yang memang sedang tak baik-baik saja. Membutuhkan wanita yang mudah. Iya, mudah dikendalikan. Seperti Lulu. Karena kesan yang ditangkap lelaki dua puluh enam tahun itu adalah semacam itu.

Lulu mudah tertarik dan percaya. Mudah memuji. Bahkan, kepada lelaki asing. Sangat mudah. Jauh berbeda dengan Lia yang sulit. Dan tentu saja, jika bersama Lulu, Herman akan merasa hebat. Meski hanya sementara dan tipuan semata.

Pertemuan sore itu dilanjutkan dengan makan ringan di kafe dekat alun-alun. Tentu saja, dalam perjalanan antara toko ke kafe, Lulu membonceng pada Herman. Bahkan sudah sedikit menempel. Motor naked 150 cc yang sedang trend kala itu menjadi nilai plus di mata wanita yang baru berkenalan dengannya. Dan, semua diakhiri dengan saling bertukar nomor ponsel.

Untuk sejenak, lelaki beristri itu merasa senang. Melupakan segala beban. Bahkan ... melupakan istrinya yang baru saja melahirkan.

Tapi ... ketika sampai di rumah, melihat bayi dan istri yang sibuk merawatnya. Dengan daster lusuh dan aroma jamu-jamuan yang menguar dari tubuh yang masih sedikit bengkak itu, seketika rasa bersalah muncul di hati.

Namun, semua berusaha ditepisnya. Dan tentu saja, lelaki berwajah simpatik itu bersikap manis. Untuk menebus rasa bersalahnya.

Begadang menemani sang istri. Mencucikan baju-baju bayi bahkan baju Lia. Menyuapi istrinya ketika makan. Dan, berbagai perlakuan manis yang lain.

Tapi, Herman tetap tak mampu menahan diri dari godaan Wanita Mudah yang bisa memuaskan egonya. Percakapan daring penuh pujian dan kekaguman. Bahkan, Lulu tak banyak menuntut. Dia tak pernah cerewet meski Herman tak bisa menemuinya.

Satu hal yang disukai lelaki beristri itu dari Lulu. Lulu sangat bergantung padanya. Selalu bertanya pada lelaki menawan itu tentang berbagai hal. Bahkan yang sepele sekali pun.

Bukan bermusyawarah. Tapi, Lulu memang tak mengerti. Seperti cara melakukan order di marketplace. Melakukan transfer virtual account, membuat akun media sosial dan banyak hal lain. Karena saat itu, semua adalah hal baru.

Herman merasa hebat bersama Lulu. Harga dirinya sebagai lelaki benar-benar tampak. Dominan. Lelaki sejati. Sesuai kodratnya, kan? Pemimpin bagi istri.

Sangat jauh berbeda jika bersama istrinya. Wanita cerdas dan berbakat itu selangkah--oh, tak hanya selangkah, tapi jauh berlari--meninggalkannya.

Di  saat marketplace baru muncul, alih-alih membuat akun pembeli, Lia malah telah memiliki akun untuk berjualan. Bahkan bisa memahami algoritmanya secara otodidak dalam waktu kurang dari sebulan.

Di saat yang lain belajar melakukan transfer dengan dompet digital, Lia telah berkutat dengan cryptocurrency. Lia terlampau cerdas. Membuat Herman terkadang merasa tak berharga.

Dan, semua buah usaha istrinya itu. Uang-uang yang didapat karena bakat dan kreatifitas perempuan cerdas itu, seketika habis di saat mereka harus keluar rumah dua bulan lalu. Untuk biaya hidup, bahkan sebagian dipinjam Herman untuk mengurus kematian putrinya dan Lulu. Tentu saja, dia berbohong pada Lia ketika meminjamnya.

Semua membuat lelaki tiga puluh tahun itu makin merasa bersalah. Tak berharga.

Tapi, tiba-tiba saja, keresahan Herman serta lamunannya harus terjeda dengan dengungan ponsel. Di mana nama Yanu yang terpampang di layar.

Dengan satu sentuhan, lelaki bercelana kaos biru itu menjawab panggilan itu.

...

"Kamu hati-hati kalau keluar rumah, ya? Istrimu juga jangan sembarangan ke pasar. Mantan istrimu tadi ke sini. Dia mencurigaiku telah menampungmu. Bahkan, dia sempat berbuat onar dengan menggeledah rumah."

"I-iya. B-baik, Bah."

Tentu saja Herman terkejut mendengar kabar itu. Dan seketika teringat bahwa sebelum ini dia pernah mengajak mantan istri keduanya itu berkunjung ke rumah Yanu. Meminta bantuan Yanu yang dianggapnya bijak. Bermusyawarah tentang kehidupan mereka.

Dan itu adalah satu hal fatal yang telah dilakukannya. Tak mengira bahwa alur kehidupan akan membawanya ke titik ini. Terlalu takut kehilangan Lia dan harus terus bersama Lulu.

Ah, andai Herman tak berbuat hal itu ...

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now