Tersadar

97 11 0
                                    


Lia seketika menyerahkan Cahaya pada Herman. Kembali ke kamar belakang, mengemasi barangnya. Lantas, segera pamit pada pasangan suami istri yang telah membuatnya kecewa itu.

Lia benar-benar kesal dan kecewa kepada Yanu, tapi tidak kepada Ina. Karena, bisa jadi Ina tak tahu apa yang telah terjadi semalam. Atau ... apakah mungkin Ina tahu?

Udara masih sangat dingin. Langit hitam bersemu jingga di ufuk timur. Mentari mulai menampakkan diri. Lia duduk di becak yang melaju perlahan, memangku Cahaya yang didekapnya erat. Berusaha melindungi putri terkasihnya itu dari dinginnya udara pagi. Tubuhnya berayun-ayun, mengikuti goncangan pelan dari kendaraan roda tiga itu.

Sementara Herman mengayuh sepeda, sedikit di belakangnya. Tentu saja, lelaki yang masih kebingungan itu belum tahu jelas sebenarnya yang telah terjadi.

Bermacam kecurigaan tentang Yanu, muncul di benak Lia. Membuatnya mencoba mengingat kembali tiap puzzle yang terserak dalam pikirannya. Sejak pertama berkenalan dengan lelaki itu hingga semalam.

Awal mula Lia mengenal Yanu adalah kira-kira hampir setahun lalu. Sekitar enam bulan sebelum keluarnya mereka dari rumah. Salah seorang teman mengenalkan mereka kepada lelaki paruh baya itu. Kata teman Lia, Yanu adalah seorang lelaki bijak yang sering menolong orang. Semacam penasihat spiritual atau sejenis itu.

Kala itu, Herman baru kehilangan pekerjaannya. Lia tak benar-benar tahu penyebabnya. Tapi, kata suaminya, ada pemangkasan tenaga kerja.

Tentu saja Herman tak akan memberitahunya kalau penyebab dia dipecat adalah karena beberapa kali bolos bekerja. Untuk apa lagi, kalau bukan untuk menemui Lulu yang saat itu hampir melahirkan. Lulu yang sudah sangat sering mengancam. Hingga Herman tertekan. Bahkan, tak memikirkan pekerjaannya. Ancaman Lulu selalu saja sama. Dia mengancam akan membocorkan perselingkuhan mereka kepada Lia. Dan Herman tak ingin kehilangan Lia.

Dan memang semakin diingat, semakin banyak keanehan yang memang luput dari perhatian.

Pandangan tetangga-tetangga Yanu yang tampak aneh ketika mereka datang. Lalu beberapa foto Yanu dengan orang-orang ternama, yang seolah-olah adalah hasil editing dan tempelan. Dan yang paling membuat Lia bergidik adalah kontak fisik yang membuat Lia tak nyaman. Ini terjadi sangat sering.

Tapi, Lia tak mau ambil pusing. Tak mau lagi memikirkan hal tak nyaman itu. Meskipun timbul kecurigaan kalau Yanu adalah penipu atau sejenisnya.

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di tempat tinggal mereka. Suasana masih sepi. Hanya ada beberapa orang bersepeda yang lewat.

Mereka adalah orang-orang yang hendak merumput di pagi hari dan akan pulang nanti ketika beranjak siang. Membawa segunung rumput di boncengan. Makanan untuk ternak mereka yang tentunya tak sedikit, jika melihat rumput yang menggunung itu. Mereka melakukannya setiap hari. Kadang Lia heran dengan ini. Sungguh mereka adalah pejuang tangguh. Tak kenal lelah rupanya.

Lia turun perlahan dari becak. Sementara Herman segera memarkirkan sepeda. Lantas, melangkah cepat membantu istrinya turun. Membawakan tas ransel.

Lia membayar ongkos. Lantas, segera memutar tubuh, melangkah naik ke teras dan berdiri di depan pintu toko, menunggu Herman membukanya.

Mimik wajah Lia sangat datar. Wanita yang sebbenarnya masih marah kepada suaminya itu masuk begitu saja ke kamar. Menurunkan putrinya dan membiarkannya bermain sendiri. Sementara Lia sendiri, segera berbaring dengan posisi miring. Dengan tangan tertangkup yang digunakannya sebagai bantal.

"Kubikinin teh hangat dan kubelikan sarapan, ya, Bun?" Herman meletakkan ransel di sebelah keranjang pakaian. Lantas berbalik, melangkah mendekati istrinya.

Lia hanya melempar pandangan ke arah suaminya. Memandang lelaki yang entah kini dicintainya atau tidak dengan pandangan datar beberapa saat. Lantas menghela napas dalam. Melempar pandangannya kembali ke lain arah.

"Bun ... aku minta maaf." Herman kini duduk bersila di sebelah Lia. Tangannya mendarat di lengan sang istri. Pandangannnya penuh permohonan.

"Enggak ada yang perlu dimaafin, Yah. Ini memang takdirku. Aku memang keliru. Tak sepantasnya aku mengadu dan meminjam bahu orang lain hanya untuk menangis. Harusnya aku mampu menahan tangis." Nada suara Lia sangat-sangat datar. Tapi jelas penuh kegetiran.

Dan mendengar hal itu, seketika Herman memeluk istrinya. Tapi, bukannya membiarkan Herman memeluknya, Lia malah meronta.

"Kumohon, Yah. Untuk kali ini aku ingin sendirian. Meskipun sepertinya tak mungkin. Aku cukup shock dengan kejadian semalam."

Dan mendengar kalimat istrinya, tentu saja, pertanyaan yang sejenak lalu terlupakan, kini kembali lagi muncul di kepala.

"Apa yang dilakukan mereka padamu?"

Lia terdiam beberapa saat. Bukan mudah menjelaskan semua. Dia tahu, pasti Herman akan naik pitam bila mendengarnya. Tapi ... Lia pun tak mau menyimpannya sendiri.

Perlahan, meski dengan sangat berat, Lia beranjak. Duduk bersila berhadapan dengan Herman. Memandangnya lekat-lekat. Menghela napas dalam beberapa kali.

Hingga, akhirnya menceritakan semua yang terjadi. Tapi, tentu saja, sebelumnya berpesan agar Herman menahan emosi. Tak serta-merta menuruti amarahnya dengan melabrak lelaki paruh baya itu.

" ... yang aku khawatirkan itu masalah motor, Yah. Bukankah perhitungannya tak jelas?"

"Kau benar. Tapi, bagaimana caranya kita mendapatkan motor itu? Kemarin aku beberapa kali memergoki lelaki paruh baya lewat di depan toko dengan motor itu. Mungkin aku bisa minta tolong beberapa tetangga, Bun."

"Untuk selanjutnya, aku tak mau berharap banyak padamu, Yah. Entahlah ... kalau memang kita jodoh, mungkin akan membaik. Kalau tidak, kuharap aku segera mati saja. Aku capek."

Seketika, Herman memeluk Lia. Hatinya ngilu mendengar kalimat-kalimat penuh keputusasaan meluncur begitu saja dari bibir wanita yang dikasihinya.

Love Hate Relationship, istilah keminggris untuk hubungan seperti Lia dan Herman. Ah, istilah yang terlalu bagus kedengarannya, terlampau elit rasanya, jika dibandingkan neraka dan derita di dalamnya.

Apakah dipikir hanya Lia yang menderita dengan ini? Herman pun sama. Dia sama menderitanya. Sama gilanya. Sama ingin matinya. Bedanya, Herman adalah lelaki. Boys don't cry istilah bahasa Inggrisnya lagi. Lelaki tak boleh nangis, artinya tak boleh lemah.

Tahu maksudnya?

Larangan merasa, tampak, dan menjadi lemah. Bukan hal mudah. Berat, sungguh berat.

Ah, tapi sudahlah! Toh, para lelaki juga mau-mau saja dilarang menjadi lemah. Mereka terlampau gengsi untuk sekadar mengakui kegagalan dan ketidakberdayaan. Ya ... seperti Herman kali ini.

Bahkan kepada dirinya sendiri saja dia masih terlampau angkuh. Padahal hidupnya sudah sangat hancur. Dia masih sangat percaya diri dan merasa mampu melindungi dan menghadapi istrinya.

Kalau mau ditelisik lagi, bukankah penyebab perselingkuhannya adalah hanya karena merasa lemah, inferior, dan tak berguna? Mencari pelampiasan untuk menunjukkan taring.

'Inilah aku, lelaki kuat dan bisa melindungi'

Tapi, karena penderitaan yang tak kunjung habisnya, terlebih kalimat Lia yang didengarnya, perlahan Herman mulai tersadarkan.

Menyadari kalau ada yang tak beres di antara mereka. Lia yang bisa marah dan menggila jika membahas perkara keluarganya. Dan Herman yang tak bisa mendengar wanita menangis.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now