Ambisi

64 9 0
                                    

Kematian Martini cukup menguras energi. Lia sakit lumayan parah. Tiga hari demam dan butuh lebih dari seminggu untuk pemulihan. Tapi, karena terbiasa beraktifitas dengan ponsel, dan bayangan uang telah menguasai otaknya--meskipun Martini yang dianggap menekan sudah tiada--membuat Lia tetap berambisi untuk mengumpulkan makin banyak pundi-pundi.

Di saat tubuhnya masih demam sekali pun, Lia tetap melakukan kegiatan trading. Bahkan, Lia kini telah menutup toko online-nya. Dia beranggapan hal itu cukup merepotkan dan mengganggu. Muncul banyak, bahkan terlalu banyak, notifikasi chat. Sangat mengganggu kegiatannya mengutak-atik ponsel di aplikasi perdagangan.

Herman yang biasanya cerewet tentang kegiatan-kegiatan istrinya, kini mulai banyak diam. Entah dia maklum atau bosan, tak jelas diketahui. Cahaya, seperti biasa, sudah lebih banyak bermain dengan Ratih. Dan ketika Herman pulang, dia yang akan bergantian menemani putrinya itu. Sekadar menonton TV di ruang tengah atau hanya menemani istirahat siang.

Sebenarnya, Ratih beberapa kali menegur Herman tentang kebiasaan Lia. Tapi, sampai detik ini, Herman tak pernah sedikit pun menyampaikan teguran itu. Dia tahu, sangat-sangat tahu, bagaimana nanti reaksi sang istri.

Tapi, bukannya Herman tak peduli, hanya saja, dia sudah tak tahu harus berbuat apa lagi. Lia sama sekali tak menggubris tegurannya. Tentu saja, mana mungkin Lia menggubrisnya. Karena dalam pikirannya hanya satu, mengembalikan hampir separuh aset yang nilainya sudah sangat menciut.

Sejatinya, jika mau bersabar dan menunggu hingga waktu yang tepat. Melakukan scalping ringan. Perlahan, aset itu akan kembali lagi. Tapi, mana mungkin Lia bisa santai? Lia tetap terobsesi untuk segera membeli mobil. Membantu suaminya menambah modal. Kemudian, dia baru akan santai--itu sih yang ada dalam pikirannya.

Karenanya, ketika sudah merasa baikan, maka yang dilakukan Lia hanyalah kembali berkutat dengan ponsel dan memantau pasar perdagangan hampir tanpa jeda.

Padahal sejatinya, trader-trader sukses pun tak bekerja sekeras Lia. Mereka masih bisa hidup normal. Memilih aset dengan hati-hati. Memasang harga, lantas menunggu. Tak lupa, selalu memasang stop loss untuk meminimkan kerugian. Semua dilakukan dengan tenang dan sangat hati-hati.

Dan, sekitar hampir dua bulan setelah kematian ibunya, Lia semakin menggila. Bahkan kini, Herman tak dipedulikannya lagi. Jika Herman menegur, maka Lia akan mogok makan, dan mengunci diri di kamar. Bahkan, kini Lia seolah-olah tak keluar sama sekali dari kamar, kecuali hanya untuk ke kamar mandi. Itu pun untuk kencing dan buang hajat saja. Hingga beberapa hari, Lia bahkan tak mandi.

Bukan hanya itu, Lia pun sering lupa makan. Hampir seharian hanya ponsel yang diutak-atiknya. Lia hanya sibuk berbaring dengan ponsel di kamar.

Sebab begitu khawatir dengan kesehatan sang istri, Herman berinisiatif menegurnya kembali. Karena sikap Lia sudah sangat tak wajar. Hanya berbaring saja di ranjang. Mengamati layar ponsel. Bahkan, ketika malam hari pun, Lia hampir-hampir tak tidur.

Petang ini, Herman kembali dibuat khawatir. Lia masih saja di ranjang. Menekuni layar ponsel. Sementara Cahaya, bermain bersama Ratih, setelah barusan bermain-main sebentar bersama Herman.

"Bun, kita keluar, yuk! Sekadar makan berdua." Herman duduk perlahan di bibir ranjang, sementara Lia menekuni layar ponsel dengan dahi berkerut. Tidur miring memunggungi suaminya.

"Pergi aja sendiri, dah, Yah!Kalau aku mau dibeliin, bungkus aja! Tanggung, nih!"

"Apa enggak bisa ditunda kegiatanmu itu? Udah beberapa hari terakhir ini kamu agak aneh." Nada suara Herman sangat hati-hati.

Seketika Lia beranjak, membanting ponsel di ranjang. Duduk bersila menghadap suaminya. "Aneh gimana? Aku normal-normal saja. Enggak ada hal aneh sama sekali, Yah! Aku cuma mau mengembalikan kerugian asetku. Asal Ayah tahu aja, aku mengalami kerugian sangat besar. Jerih payahku beberapa bulan ini habis dalam semalam. Aku merasa semua usahaku sia-sia."

"Seberapa besar kerugianmu dibanding waktu bersama keluarga dan perhatian kepada Aya? Kau terlalu berambisi, Bun. Aku enggak nyuruh kamu buat beli mobil. Pun enggak pernah minta tolong buat nyari tambahan belanja, kan? Yang aku harap itu, kamu bisa jadi ibu yang baik buat Aya. Kita enggak banyak bertengkar seperti dulu lagi. Hidup tentram dan menikmati yang kita miliki. Tak perlu mengejar berlebihan macam ini." Nada suara Herman mulai meninggi

"Tapi, aku sudah berjanji sama Mama untuk mendapatkan mobil itu. Aku enggak mau mengecewakan mama. Pun enggak mau merepotkanmu, Yah. Karena itu murni keinginanku. Aku janji, kalau sudah mendapat mobil itu, aku akan berhenti. Aku akan merawat Aya. Tak sampai setahun, kita pasti akan dapat mobil itu. Kemarin saja, aku hanya kurang sedikit lagi. Sayangnya harus mengalami loss gara-gara main di future market."

"Terserah kamu saja. Yang jelas, aku sudah mewanti-wanti perihal kesehatan kamu. Dan setahun itu, adalah hal yang sangat berharga. Itu tak akan pernah bisa kembali. Uang bisa kita cari. Tapi, kebersamaan dengan Aya, tak akan pernah kembali, Bun." Herman beranjak, melangkah hendak keluar kamar.

"Aku tahu soal itu. Sangat-sangat tahu. Karenanya, aku kerja keras saat ini, agar nanti bisa lebih banyak waktu bersama Aya. Aku menukar waktu saat ini untuk keluasan waktu masa depan. Aku tak akan mengulangi kesalahan yang mama lakukan. aku akan berjanji menjadikan Aya anak yang bahagia. Tapi, beri aku kesempatan untuk kali ini saja!"

Mendengar istrinya masih saja berbicara, Herman mematung beberapa saat. Memunggungi Lia. Menghela napas dalam sembari memejamkan mata. "Iya. Terserah padamu saja! Aku mau ke teras dulu."

Herman meneruskan langkahnya. Kali ini, tujuannya hanya satu, duduk di teras memandangi langit berbintang. Menikmati suasana lamgit yang beranjak malam sembari merokok dan menyesap kopi hitam perlahan.

Sepeninggal Herman, Lia kembali mengambil ponselnya. Memperhatikan layar kembali, sembari tidur miring seperti tadi.

Samar-samar, muncul rasa aneh di hati Lia. Kalimat-kalimat Herman perihal Cahaya, kini kembali bergema di kepalanya. Waktu yang terus berjalan. Cahaya yang jarang diperhatikan. Dan ... Herman yang sering diabaikan.

Tapi, alih-alih membuat Lia sadar dan bertekad mengatur waktu, malah membuatnya makin bertekad menambah waktu untuk bekerja.

Jika aku bekerja lebih keras lagi, maka aku akan bisa memangkas waktu. Aku harus bisa mengumpulkan keuntungan lebih banyak lagi dalam waktu yang lebih singkat. Semua demi Mas Herman dan Aya.

Tapi, seketika Lia merasa sedikit pusing dan sesak. Ada perasaan aneh yang memang telah dirasakannya beberapa hari terakhir, tepatnya lebih dari seminggu. Tapi, memang selalu diabaikannya.

Seolah-olah, ada batu sekepalan tangan yang bersarang di dadanya. Dan ini membuatnya tak nyaman. Pun kini Lia semakin malas melakukan berbagai hal. Hanya memantau pasar saja, tapi tak benar-benar bisa fokus.

Sejujurnya, Lia sangat malas melakukan aktifitas perdagangan. Hanya saja, ingatannya tentang Martini, seketika membuatnya memaksakan diri.

(Complete) Perempuan yang TerbuangOn viuen les histories. Descobreix ara