Bahu Bersandar

82 13 4
                                    

Lia akhirnya meyakini bahwa pikiran dan perasaan tak nyaman tentang Yanu, hanyalah pikiran buruknya sendiri saja. Kekhawatiran tak beralasan.

Karena, efek dari saran pria paruh baya itu memang cukup baik. Herman benar-benar berusaha bersikap lebih sabar kepadanya kali ini. Hal ini bahkan berlangsung lebih lama dari biasanya, Lebuh dari sebulan mereka tak bertengkar hebat sama sekali.

Bahkan, ketika Lia membicarakan tentang keluarganya, Herman masih bisa mengendalikan diri. Tentunya dengan bahan pembicaraan ringan tanpa ada tangisan atau rengekan,

Tangan terkepal dan tersembunyi di balik senyum yang dipaksakan masih ada. Tapi, hanya sebatas itu. Herman bisa mengendalikan diri. Dia khawatir Lia akan kabur lagi. Hal yang bisa dimaklumi. Bahkan, mata memerah, pun sesekali masih tampak. Tapi, seketika Herman akan segera pergi dan menjauh dari istrinya.

Perlahan, semuanya membaik. Membuat hubungan keduanya makin harmonis. Meskipun, masih banyak yang harus dibenahi. Seperti masalah uang yang makin lama makin menipis--padahal ini masalah krusial bagi sebagian besar keluarga.

Dan masalah Lulu, sepertinya mantan istri kedua Herman itu tak berhasil menemukan mereka. Ini salah satu yang membuat mereka bisa sedikit merasa lega.

Tapi, ada sedikit ganjalan di hati Herman. Yaitu, perihal sikap-sikap nekat mantan istrinya. Karena, selama hampir dua tahun menikah, tentunya dia kenal betul, seberapa nekatnya janda itu. Lulu bisa berbuat apa saja untuk mencapai keinginannya. Herman mengkhawatirkan kedua orangtuanya. Pun keluarga mertuanya. Bisa saja Lulu nekat berkunjung ke sana.

Tapi, tentu saja semua keresahannya ini tak dibicarakannya dengan sang istri. Dia tak mau merusak suasana yang sudah mulai kondusif.

Pagi ini, seperti biasa, Lia pamit lagi kepada suaminya untuk berangkat ke pasar. Selain berbelanja beberapa kebutuhan, dia juga hendak berbelanja beberapa barang toko yang mulai habis.

Satu masalah klise terulang kembali. Uang modal toko yang pas-pasan, karena bertepatan dengan tengah bulan. Seperti biasa, para tetangga hanya akan membayar ketika awal bulan, setelah gajian. Dan ini juga bertepatan dengan susu dan diapers yang juga habis.

"Yah, uang modal tinggal segini. Padahal, aku harus beli diapers dan susu. Belum juga belanja lainnya. Duh, gimana ini?" Lia mengernyit. Duduk bersila di ruang kamar. Sementara Herman duduk di depan sebelah pintu kamar, di ruang toko.

"Susunya habis sama sekali?" Herman memutar tubuh. Melongok ke ruangan sebelah melalui pintu kamar.

"Iya. Masak malam hari pun Aya minum teh? Dan, kalau enggak pakai diapers, Aya bakal ngompol, Yah." Lia menghela napas dalam. Menjatuhkan pandangan ke lembaran uang yang masih belum dimasukkan ke dalam dompet. Di pangkuannya, di atas rok baby doll putih.

"Aku bantuin cuci karpet, dah, Bun. Mau bagaimana lagi?" Herman menjatuhkan pandangan ke lantai. Lantas memutar tubuh. Duduk tegap. Membelai rambut keriting balita di pangkuannya.

"Tapi ... sekarang sudah Desember, Yah. Beberapa kali hujan turun. Aku khawatir karpetnya enggak kering." Lia menunduk. Mendengkus kasar.

"Kita potong karpetnya jadi dua. Kalaiu enggak kering, nanti kita tidur di lantai. Aya pakai karpet yang separuh lagi." Herman membelai rambut putri cantiknya. Menghela napas dalam, lantas mengembuskannya perlahan. Berusaha menghalau sesak yang seketika bersarang di dada.

"Mau bagaimana lagi." Lia Memasukkan lembaran rupiah ke dompetnya. Lantas beranjak. Melangkah ke luar ruang kamar.

Menit kemudian, perempuan yang sudah berusaha menerima kenyataan itu pamit. Berangkat ke pasar, mengendarai sepeda dan tanpa Aya. Meskipun di dadanya ada sejumput kesedihan dan batu yang kembali bersarang, tapi semua berusaha diabaikannya.

Lia memarkirkan sepeda di tempat parkir khusus sepeda yang berada di halaman pasar. Lantas berjalan masuk.

Karena uang yang begitu minim, wanita cerdas itu berusaha mengaturnya sedemikian rupa. Mendahulukan belanjaan toko, kemudian membeli lauk sesuai sisa uang yang ada. Tak ada yang bisa dilakukan lagi, kecuali bersyukur dengan apa yang bisa dibawanya dari pasar hari ini.

Usai berbelanja, seperti biasa, Lia membawa belanjaan dengan kotak karton sisa rokok. Lantas mengikatnya dengan karet ban di boncengan sepeda bagian belakang.

Dan ketika dipastikan karton sudah terikat dengan baik, wanita yang merasa cukup kelelahan itu, menaikkan standar tengah sepeda. Menuntun sepeda itu hingga keluar halaman pasar.

Tapi, belum juga Lia naik ke sadel sepeda dan mengayuhnya, padangannya menangkap mobil SUV putih yang sangat mirip dengan mobil Martini. Ada striping merah dan jingga yang dibuat khusus oleh Irwan, kakak pertamanya. Striping dari stiker custom dengan inisial nama putra-putri Sujatmoko. Mobil itu berhenti di seberang jalan, di depan toko alat rumah tangga.

Untuk beberapa saat, Lia benar-benar tertegun. Kebingungan dengan apa yang harus dilakukannya. Berbagai pikiran berkecamuk, antara kabur atau malah mendekat.

Kabur karena malu dengan keadaannya kali ini. Atau mendekat mengabaikan harga diri. Karena, pasti ibunya tak akan membiarkannya susah seperti saat ini. Lia hanya teringat akan susu putrinya yang dengan terpaksa benar-benar harus dihentikan sejak malam ini.

Belum juga Lia memutuskan, sesosok wanita berpakaian blues putih dan rok plisket selutut yang begitu anggun, keluar dari toko. Di sebelahnya, tentu saja lelaki tinggi besar berkulit sedikit gelap. Mereka adalah Irwan dan istrinya.

Jantung wanita bertinggi sedang itu terasa telah mencelus. Dia membulatkan mata, menatap nyalang ke arah kedua orang itu. Dan tanpa diduga, mereka pun menatapnya.

Lia bertambah bingung. Hanya bisa mematung untuk beberapa saat. Sebelum kemudian, wanita di sebelah Irwan seketika membuang muka. Pun dengan lelaki tinggi besar itu. Bersikap seolah-olah tak pernah melihat wanita yang berdiri di seberang jalan dengan memakai baby doll dan menuntun sepeda butut yang penuh barang dagangan di boncengannya.

Reaksi yang ... benar-benar tak pernah terpikir akan didapatkan Lia sebelum ini. Irwan adalah kakak yang tak banyak omong. Lia hanya tahu kalau kakak lelakinya itu telah kabur dan tak mau menjadi walinya ketika Lia menikah. Beralasan menghadiri rapat organisasi yang sangat penting.

Entahlah, rapat macam apa hingga bisa membuat seorang kakak lelaki mangkir dari tugasnya menjadi wali nikah adik perempuannya. 

Tapi meski begitu, tak membuat Lia berpikir bahwa kakak lelaki dan iparnya akan membuang muka seperti ini. Benar-benar tak pernah terpikir. Dan ... ini sangat menyakitkan. Lia benar-benar merasa terbuang.

Dengan segera, wanita yang merasa hatinya telah hancur itu--bahkan ini jauh lebih menyakitkan daripada kedatangan Lulu tempo hari--naik ke sadel sepeda. Mengayuhnya secepat mungkin. Berulang kali menelan ludah, berusaha menghalau perih dan ngilu di kerongkongan. Berharap agar ngilu itu tak mengundang air mata dan tangis. Lia tak mau menangis. Herman benci perempuan yang menangis.

Tapi, bukankah Herman sudah berubah? Lelaki yang begitu disayanginya itu sudah tak pernah marah lagi akhir-akhir ini.

Herman telah berubah, kan? Jadi, Lia bisa menangis dan meminjam bahunya untuk bersandar. Sesuatu yang belum pernah terjadi selama ini. Lia butuh suaminya kali ini.

Wanita yang merasa begitu hancur dan patah hati itu mengayuh sepedanya begitu kencang. 1.5 kilometer hanya ditempuh sepuluh menit saja dengan sepeda.

Tentu saja, kedatangan Lia dengan napas yang terengah-engah, sukses mengagetkan Herman yang duduk di teras toko sembari memangku putrinya.

Lelaki bertinggi sedang itu beranjak gegas. Sementara Cahaya didudukkannya di lantai. Menatap nyalang ke arah istrinya.

Di siang hari panas seperti ini, bagaimana bisa istrinya membawa sepeda secepat itu, dan ... dia menangis.

Lia menangis. Ini membuat darah lelaki yang memang membenci tangis perempuan itu, mendidih seketika. Tangannya mengepal. Matanya memerah. Herman berusaha melawan amarah yang menggelegak.

Sementara Lia sudah memarkirkan sepeda. Lantas, berlari ke pelukan lelaki yang berdiri mematung itu. Lia lengah. Tak memperhatikan kepalan tangan dan mata yang memerah.

Lia hanya membutuhkan pundak dan pelukan. Tapi ... Herman tak membalas pelukannya. Masih mematung dengan tangan terkepal dan mata memerah.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now