Berdamai

84 9 2
                                    

Sebab hujan deras kemarin, membuat langit pagi ini sedikit lebih cerah. Meskipun warna biru hanya tampak di antara awan putih yang menyebar dan mendominasi. Tapi, memang tak tampak sama sekali tanda-tanda akan turun hujan. Ya ... untuk pagi ini. Sore hari, siapa yang tahu?

Langit pagi pertengahan Januari. Udara sedikit hangat pada pagi menjelang siang begini, bisa disebut sebagai hari yang cerah, secerah suasana hati Lia dan Herman.

"Bun, aku sudah menghubungi ayah barusan. Pas kamu lagi cuci baju." Herman yang sedari tadi duduk sembari menikmati kopi di ruang toko, melongok ke dalam kamar. Lelaki yang saat ini merasa hatinya jauh lebih ringan itu, duduk di sebelah pintu kamar.

"Terus, gimana reaksinya, Yah?" Lia yang sedang bercermin menghadap jendela--berusaha menangkap sinar matahari lebih banyak--seketika memutar tubuh. Menghentikan kegiatannya sesaat. Mimik wajahnya pun seketika semringah.

"Sepertinya ayah seneng. Bahkan, aku pun ngobrol sebentar sama ibu. Dia nanyain kamu. Aku bilang aja lagi nyuci." Herman mengembalikan posisinya. Duduk bersandar di dinding toko. Meraih cangkir kopi yang tadi diletakkannya di sebelah tempatnya duduk. Menyesapnya perlahan.

"Kita berangkat jam berapa besok? Pagi banget ya, Yah? Sarapan di Probolinggo aja. Beli nasi bungkus." Tiba-tiba saja, Lia sudah duduk di sebelah Herman. Sedikit mengagetkan suaminya. Bahkan, sempat membuat lelaki yang tengah menikmati kopi itu tersedak.

"Kamu ngagetin aja, Bun." Herman masih terbatuk-batuk. Menaruh cangkir kopi di atas lepek.

Sementara Lia terkekeh, menepuk-nepuk punggung suaminya perlahan. Membantunya mengatasi batuk. "Ya maaf, Yah. Namanya juga antusias."

Dan di tengah percakapan mereka, obrolan keduanya terjeda oleh hadirnya anak perempuan tanggung. Dia adalah Nana, bocah sepuluh tahun yang akhir-akhir ini sering mengajak Cahaya bermain.

"Lek, Aya mana?" Suara imut Nana membuat Lia seketika menoleh. Nana berdiri di depan teras toko.

"Eh, Nana. Itu di dalam. Bentar, ya!" Lia melongok ke kamar. "Aya, ada Mbak Nana, tuh!"

Cahaya yang sedang asik menonton video di ponsel, seketika menaruh benda pipih itu dan beranjak. Melangkah ke luar. Bergabung bersama Nana setelah pamit kepada kedua orangtuanya.

"Jadi, gimana, Yah?" Lia kembali duduk bersila. Menghadap Herman. Wanita yang saat ini merasa sangat senang itu, mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah sang suami.

Herman tersenyum tipis. Tiba-tiba tangannya mencubit pelan hidung mungil istrinya. "Yang antusias banget .... Iya, kita berangkat pagi."

Lia meringis menahan sakit ketika mendapat perlakuan itu dari suaminya. Tapi, alih-alih merajuk, dia malah begitu bahagia. Meskipun kini bibirnya mengerucut dengan dahi berkerut, tapi tetap tak menutupi raut bahagia dari wajahnya.

***

Sejatinya Herman sudah menyadari ketidakberesan dalam dirinya jauh-jauh hari. Dia sudah berlatih agar tak marah ketika Lia merajuk. Hanya saja, saat tangisan itu menimbulkan isakan, seketika juga seluruh tubuhnya bereaksi.

Tapi kali ini, Herman mulai menyadari dan tahu apa yang harus dilakukan. Dia telah merasa paham bahwa salah satu akar masalah adalah kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Meski sejatinya, tak hanya itu saja. Ini ditambah berbagai kejadian kekerasan lain yang dilakukan secara terus menerus dalam waktu lama. Tapi, bukankah yang terpenting adalah hal terberat sudah diketahui?

Malam ini toko sedikit sepi. Hanya para pembeli saja yang sejak tadi datang dan pergi. Sementara para lelaki yang terbiasa nongkrong, tak menampakkan diri. Mungkin karena malam ini mendung, sehingga mereka khawatir hujan turun. Dan memutuskan untuk beristirahat di rumah masing-masing.

Suasana memang sepi, bahkan lalu lalang pengendara sepeda atau motor pun jarang. Hanya suara kodok yang berlomba meramaikan malam. Sepertinya kodok-kodok itu sedang berpesta. Akhir-akhir ini, hujan turun cukup intens.

Cahaya telah lelap dalam tidurnya. Sepertinya balita itu kelelahan karena telah bermain-main seharian dengan anak-anak tetangga. Balita lucu itu, sikapnya ceria dan menyenangkan, seperti  ibunya. Pun mewarisi kelihaian dalam bergaul, seperti ayahnya.

"Bun, kemarin pas hujan, aku inget sesuatu. Makanya, kupikir, aku harus segera bertindak. Selama kita enggak memaafkan masa lalu, terutama diri kita, selamanya kita akan begini. Hidup enggak akan bahagia."

Herman menghela napas dalam. Lelaki berambut ikal itu duduk di bibir teras, bersebelahan dg sang istri. Dia mendongak memandangi langit hitam tanpa bintang. Bahkan, sesekali timbul cahaya lindap berkedip, pertanda tak lama lagi hujan mungkin akan turun.

Lia terdiam, mencoba mencerna kalimat yang keluar dari bibir suaminya itu. Tapi, tak bisa sepenuhnya paham.

"Maksud Ayah gimana?" Lia menoleh, memandang suaminya dari samping.

"Aku banyak menyimpan amarah dan kecewa sama ayah. Kamu tahu sendiri bagaimana kerasnya dia. Memang aku paham alasan ayah. Tapi, Herman kecil di sini, dia belum mengerti." Herman seketika menoleh. Menepuk dadanya dengan ujung jari. Menatap Lia lekat-lekat.

"Herman kecil?" Lia membeo. Dahinya berkerut.

"Iya. Aku yang dulu masih marah sama ayah. Enggak mudah membuatnya memaafkan. Aku butuh bantuanmu. Kamu mau, kan, Bun?"

Lia mengangguk. Tersenyum menatap iris kecokelatan di hadapannya. "Kita seharusnya saling membantu, Yah. Bukan menyakiti."

"Setiap orang memiliki anak kecil dalam dirinya. Terkadang, dia terluka parah terkadang hanya luka biasa. Dan luka-luka itu yang memengaruhi bagaimana ketika telah beranjak dewasa." Kalimat Herman terjeda oleh helaan napas dalam. "Sikapku yang mendadak menyakitimu itu, dan kamu yang mudah menangis dan marah jika menyinggung perkara uang dan mama, kupikir juga berhubungan dengan ini."

Lia terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Wanita bermata sayu itu mendongak, melempar pandangannya ke langit. "Lia kecil yang terluka. Ya ... bisa jadi, Yah."

Sejenak Lia kembali diam. Kembali berpikir dan berusaha menyadari. Bahwa memang amarah dan dendamnya kepada ibu dan keluarganya terlampau dalam. Lia menyimpan dendam. Dendam yang menghancurkan dirinya sendiri. Amarah yang membakarnya.

"Jika ada yang mencoba menyakitimu, mereka hanya bisa membuatmu sakit jika kau izinkan. Tapi, jika kau tak mengizinkan, itu tak akan berpengaruh apa pun padamu, Bun."

"Ya ... kamu benar, Yah. Mungkin kita perlu belajar menerima semua dan memaafkan. Pasti mama punya alasan berbuat semua ini. Tak mudah memang menjadi mama."

Lia kembali menghela napas dalam. Pikirannya lagi-lagi teringat akan semua perbuatan ibunya. Umpatan, hinaan, dan semua kesakitan. Tapi ... amarah dan emosi yang biasanya datang, mengapa kali ini hanya terasa di dada, tak serta merta membuat Lia mengamuk?

Sepertinya, cinta kasih dan rasa aman yang kini dirasa, membuat emosi itu melemah. Ya ... Lia merasa jika Herman kembali mencintainya. Rasa yang ... pernah hilang sejenak.

Karena, bahkan setelah empat tahun pernikahan, Herman tak pernah sekali pun mengungkapkan cinta secara romantis kepada Lia. Dia berpikir bahwa apa yang telah dilakukannya semua adalah bukti cintanya kepada wanita yang begitu dikasihinya itu.

Ketika Lia mulai tersadar untuk memaafkan keluarganya karena nasihat dan saran Herman, jauh di lubuk hati lelaki penyayang itu, ada sebersit keraguan. Akankah keluarga Lia mampu menerima mereka? Karena jika masih saja sama seperti dulu, akan begitu sulit bagi Lia untuk belajar memaafkan. Terlebih lagi ... kejadian yang sampai detik ini masih dirahasiakan lelaki yang terus berjuang demi keluarganya itu.

(Complete) Perempuan yang TerbuangWhere stories live. Discover now