37: Lamaran

Mulai dari awal
                                    

Celine yang baru menutup pintu kamar Zee tertawa tak habis pikir, apalagi saat melihat ekspresi cemas Dafa seperti anak yang baru menghilangkan mainan.

"Udah, makanya kamu juga jangan gitu lagi, gimana Zee gak sebel kalo kamu tuduh begitu." Omel Celine membuat Dafa makin cemberut.

"Iya maap."

Celine makin cekikikan, beneran deh kemana perginya Dafa yang berwibawa dan gengsian itu.

"Ngomong-ngomong soal lamaran kamu tadi..." Celine berdehem menutupi salah tingkah, "apa kamu udah ada rencana buat kedepannya?"

Dafa mengangkat sebelah alisnya, tak lama senyuman sabit terbit di bibirnya, "rencana apa dulu nih?" godanya jahil sengaja sambil menarik pinggang Celine merapat ke arahnya.

Celine merengut, "ya ituuu masa harus aku jelasin sih, kalau habis lamaran ya ehem ... nikah." Ujarnya mencicit di akhir kalimat, sontak saja membuat Dafa reflek tertawa.

"Kalau bisa pasti sekarang aku udah langsung ajak kamu ke KUA Cel."

"Emangnya kenapa gak bisa?" ceplos Celine tak lama langsung mengatupkan bibirnya, nah kan ketahuan Celine ngebet kawin.

Dafa makin geli sendiri melihat ekspresi lucu Celine, "soalnya pernikahan juga menyangkut dua belah pihak keluarga."

Celine tanpa sadar menahan napasnya, "Mamah kamu kan gak suka sama aku." Lirihnya menunduk sedih saat baru teringat hal itu.

Dafa melenguh, mengusap kepalanya lembut. "Kamu gak perlu khawatir, biar aku yang bicara sama Mamah."

"Gak usah."

"Kenapa?" Dafa langsung mengernyit dalam.

Celine menipiskan bibirnya, "soalnya aku mau ambil hati Mamah kamu," lalu tatapan mata penuh ketegasan Celine tiba-tiba terpancar, "jadi biar aku aja yang bicara sama Mamah kamu."

Sontak saja Dafa tertegun, entah keberapa kalinya terpanah oleh pesona gadis ini. "Hm, terserah kamu kalau begitu," lalu menyandarkan kepalanya ke ceruk leher kekasihnya. "Tapi ingat aku selalu ada di pihak kamu." Bisiknya dalam.

***

Seorang wanita paruh baya yang masih segar bugar itu menjalankan rutinitas kesehariannya seperti biasa, setiap pagi pasti baca majalah sambil minum kopi.

TING TONG!

Desi melirik daun pintu, tak lama kembali acuh pada majalahnya karena tau pasti akan ada pembantu yang membukakan pintu.

Desi tak terlalu peduli pada sekitarnya sampai ketika suara langkah kaki berhenti tepat di sebelahnya membuatnya baru benar-benar tersadar.

"Selamat pagi Mah."

Majalah di tangannya langsung terjatuh begitu saja ke lantai, Desi menoleh sengak melihat perawakan Celine yang sedang tersenyum sopan kepadanya.

"Kamu!" wanita paruh baya itu langsung berdiri tak santai, "berani sekali kamu datang kesini!"

"Saya kesini membawa makanan buat Mamah—"

"Tutup mulutmu! Jangan lancang panggil saya Mamah!" bentaknya membuat nyali Celine mulai menciut, tapi sebisa mungkin Celine tetap mempertahankan senyuman sopannya, Dafa tadi sebenarnya memaksa ingin menemani tapi ia tolak keras karena takut Dafa akan cekcok dengan Ibunya seperti terakhir kali.

"Angkat kaki kamu dari rumah ini, saya gak sudi lihat wajah kamu disini!"

Celine hanya bisa menahan segala rasa malu dan sesak di dadanya, "sebenarnya apa salah saya sampai Tante begitu membenci saya?" tanya Celine lugas tanpa basa-basi.

Desi tersentak, tak lama tersenyum sinis kearahnya. "Kamu masih nanya? Seharusnya kamu introspeksi diri, kamu mendekati anak saya cuma demi harta kan!"

"Tidak—"

"Selama saya hidup saya sering lihat gadis muda seperti kamu ini, hanya demi menaikkan status sosial kamu rela melakukan segala hal!" Desi bukan tanpa sebab membenci Celine, permasalahannya ia jadi sangat protektif setelah mantan istri Dafa berselingkuh, dulu ia merestui mantan istri Dafa tanpa pikir panjang demi kebahagiaan anaknya. Tapi sekarang ia sadar kalau bibit, bebet, dan bobot itu sangat penting, karena jika pernikahan hanya berlandaskan cinta juga sia-sia, ia tak mau anaknya salah mencari pasangan lagi.

Celine mengepalkan tangannya dengan dada bergejolak, "saya bukan gadis seperti itu!"

"Halah gak usah bullshit," Desi membuang muka dingin, "kamu mau dengan anak saya karena anak saya kaya, kalau anak saya miskin pasti kamu juga gak mau. Gadis macam kamu ini pasti cuma mau hidup enak, tapi gak akan saya biarin, karena saya ingin anak saya mendapatkan istri yang baik!"

Keadaan justru makin memanas, berkali-kali Celine sampai harus mengatur napasnya karena takut terbawa emosi. "Memangnya calon istri seperti apa yang pantas buat Mas Dafa?" tantang Celine balik dengan berani.

Desi mendelik, tapi langsung tersenyum miring. "Yang dewasa, bisa menjaga Zee dan Dafa dengan baik, dan pastinya setara, saya tidak akan membiarkan Dafa mendapatkan istri yang tidak jelas asal-usulnya!"

"Kalau begitu pas sekali dong itu adalah saya." Lantang nya membuat Desi jelas hampir menyahut sarkas, "saya bisa menjaga Zee dan Mas Dafa dengan baik, bahkan saya juga sering masakin mereka, itu berarti saya sudah dewasa kan. Lalu soal setara..." Celine menjeda ucapannya sejenak, tak lama menghela napas berat. "Memangnya harta sepenting itu?"

"Jelas penting! Kamu pikir menikah cuma cukup dengan cinta? Kalau kamu sadar diri seharusnya kamu segera meninggalkan anak saya!" Desi berharap gadis ini akan menyerah setelah ia mengatakan ini, ia tak mau semakin jadi orang jahat tapi di sisi lain melindungi anak dan cucunya adalah prioritas utamanya.

"Kalau sudah tidak ada yang ingin kamu bicarakan lagi lebih baik kamu segera pergi!" usirnya membuang muka.

Celine menelan ludah, jujur ia sangat tidak suka memakai kartu AS nya, tapi keadaan yang memaksa.

"Kalau saya juga kaya apakah Anda mau merestui hubungan saya?"

Desi spontan menoleh, "tentu saja, itupun jika kekayaanmu setara dengan kami!"

Celine menarik napas panjang sebelum dengan tenang mengeluarkan HP nya, dibukanya galeri HP lalu menunjukkan sebuah foto kepada Desi.

Foto keluarganya.

"Saya Putri semata wayang Cakra Feraldin, pewaris tunggal C'IC Corporation."

Desi terhuyung mundur saking syoknya.

"Apakah sekarang saya direstui?" tanyanya dengan senyuman manis.

***

TBC.

Bukan Sugar Daddy(end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang