Aku mendesah. Kecewa menerima jawabannya. "Aku hanya penasaran, Mom."

"Granny sudah cukup, bukan?"

"Granny baru saja meninggal."

Lagi-lagi, dia kelihatan tidak berniat mengucapkan sesuatu pun dan meneruskan merias wajahnya.

"Di mana mereka tinggal?" kataku berasumsi. Jika Mom tidak mau membicarakan mereka, setidaknya aku ingin tahu dari mana asalnya. Aku tahu Mom keturunan Meksiko, dia sendiri yang pernah mengatakannya, tetapi itu bukan berarti dia pernah tinggal di sana karena setelah diingat-ingat lagi, Mom tidak pernah berbicara menggunakan bahasa Spanyol.

Melalui cermin, aku bisa melihat rahangnya sedikit berkedut. Dia membisu selama beberapa menit yang panjang sementara aku mengamatinya sembari duduk di tempat tidurnya, masih berusaha mencari entah apa dalam dirinya.

"Aku tidak tahu." Suaranya sangat lirih hingga nyaris terdengar seperti bisikan yang dibawa oleh embusan angin.

Aku mengernyit, tiba-tiba merasakan sensasi panas yang menggelitik perutku ketika dugaan lain muncul ke permukaan.

"Astaga," gumamku tak menyangka.

Dia mengalihkan perhatiannya padaku dengan cepat.

"Apa selama ini kau tinggal di Panti dan tidak ada seorang pun yang mengadopsimu? Kau—"

"Hentikan! Kau pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa 'rasa penasaran bisa membunuh si kucing?'"

Aku tidak paham maksudnya, dan itu membuatku jengkel. Dia selalu bersikap misterius, penuh teka-teki. Tidak ada yang bisa memahaminya. Tidak diriku. Tidak—bahkan—ayahku. Terkadang dia dipenuhi kemarahan, lalu tiba-tiba berubah menjadi sangat penyayang. Dia bisa menceritakan apa pun padamu selama berjam-jam, tetapi dia akan selalu memiliki batasan. Dia seperti orang asing yang tinggal di antara kami.

"Oh, Honey!" tegurnya. Mom lantas beringsut dari kursi rias dan bergabung denganku di atas kasur. Riasan wajahnya sudah terulas sempurna, dengan lipstik bewarna merah muda yang membuat penampilannya tampak lebih segar. Dia cantik. Sangat cantik hingga membuatku sedikit iri memikirkan bagaimana dirinya bisa terlihat begitu memikat.

Dia merangkul bahuku dan menyimpan dagunya di atas kepalaku. "Aku janji, tidak ada apa pun yang harus kau ketahui tentang itu, karena aku di sini, bersamamu. Kau mengerti?"

Tidak, Mom. Aku sama sekali tidak mengerti. Aku bahkan tidak mengetahui apa pun tentangmu.

Namun, aku tidak mengatakan semua itu. Aku hanya mengangguk. Kemudian dia memelukku sambil mengusap-usap lengan atasku pelan, sementara aku menempelkan pelipisku di dadanya.

Tubuhku tersentak ketika kurasakan telapak tangan yang kecil mencengkeram bahuku. Entah sejak kapan, wanita tua itu sudah berdiri tepat di hadapanku lagi.

"Karime," katanya. "Panggil aku Karime. Tu abuela."

Aku menyingkirkan tangannya dan bergerak mundur, menciptakan jarak sebisa mungkin darinya. "Tidak!" elakku. "Aku tidak mengenalmu."

"Ya," sahutnya cepat. Dia terlihat lebih lelah dari aku menemukannya di sini beberapa menit lalu. "Aku juga baru melihatmu hari ini."

"Kenapa kau berpikir aku akan memercayaimu?"

Wanita tua itu tertawa kecil. "Karena kau memang cucuku."

Aku menggeleng, menolak pernyataan itu. "Dia tidak mengatakan apa pun tentangmu."

Karime mengangguk. "Benar," balasnya, langsung tahu siapa 'dia' yang kumaksud.

"Kau tidak membantahnya?"

"Tidak."

Aku mendesah, merasa kehilangan arah. Untuk beberapa saat, aku berjalan mondar-mandir tidak jelas sebelum akhirnya mendudukkan bokongku di tempat tidur miliknya yang dingin dan menguarkan aroma tubuhnya. Aku tidak pernah benar-benar menyadari aroma tubuhnya sampai dirinya pergi; campuran antara minuman keras, bunga lily, dan citrus.

Karime duduk di sebelahku. Jemari tangannya saling bertautan. "Kau akan tinggal denganku, tetapi bukan di sini."

Aku tidak bertanya di mana dia tinggal, aku bahkan tidak lagi mengatakan apa pun. Aku masih tidak bisa memercayai kalau wanita tua ini adalah ibu kandung Mom. Tapi aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Aku tidak mungkin tinggal dengan Dad. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan di sini. Mom sudah pergi—benar-benar pergi. Mungkin jika aku mengikuti Karime di mana pun itu, setidaknya, aku bisa meninggalkan hantu-hantu masa laluku di tempat ini.

"Oke," kataku akhirnya.

Kupikir dia akan tersenyum, memujiku anak baik atau bersikap manis seperti yang dilakukan kebanyakan nenek. Bukankah begitu? Aku tidak terlalu dekat dengan Granny, tetapi mungkin itu karena dia tidak menyukai Mom dan aku.

Karime hanya mengangguk. Lalu beringsut sebelum menghilang di balik pintu keluar kamar ibuku.

Aku berpaling dari kekosongan itu ke arah gaun hitam yang disimpannya begitu saja di atas meja rias, berusaha untuk tidak membayangkan benda itu tergeletak di lantai sementara dirinya mendesah di bawah tubuh seorang pria.

The Things She Left BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang