Thirty Seven : Camer (part 2)

Start from the beginning
                                    

Orang-orang selalu bilang, saat memiliki anak perempuan. Maka seorang ayahnya lah yang akan menjadi cinta pertama bagi sang putri. Hal itu memang berlaku juga padaku.

Tapi tak jarang juga aku bertanya-tanya.

Bagaimana dengan anak laki-laki? Apakah sang ibunya lah yang menjadi cinta pertama bagi sang putra?

Hari ini bagiku semuanya terjawab sudah. Melihat Arga dan Kak Adnan, laki-laki dewasa dilingkungan terdekatku yang menyayangi sang ibunya dengan sepenuh hatinya.

Bagi mereka, Nyonya Anita ataupun Mamah Arga mungkin memang bukan cinta pertama mereka.

Tapi satu yang kulihat dan ku ketahui....

Tidak ada wanita lain yang akan menggantikan sosok ibu mereka sendiri dalam hidup maupun hati mereka.

Sekali lagi mereka memang bukan cinta pertamanya. Tapi ada hal yang jauh spesial melebihi cinta pertama itu, dan aku rasa..... hal ini lah yang Arga cari selama ini.

Rumah.

Ibu selalu menjadi rumah bagi anaknya. Kemanapun kamu pergi. Dimanapun kamu berada. Ibu-lah tempat kamu pulang. Dimana ada ibu disitulah rumah mu untuk pulang.

Arga mungkin tak sadar. Sejauh apapun dia pergi, sesulit apaun dia untuk bertahan, hal yang selalu membuatnya untuk kembali adalah ibunya. Itu kenapa Arga selalu pulang.

Arga menyayangi ibunya. Melebihi apapun di dunia ini.

Tidak hanya Arga. Aku pun bahkan bisa menjadi orang egois jika bersangkutan dengan sesuatu yang berkaitan dengan Mamah.

Orang bilang kasih ibu adalah sepanjang masa. Dan aku yakini hal itu memang benar. Tapi melihat Arga di detik ini. Satu hal baru yang kuyakini. Bahwa kasih anak, adalah kunci dari keberhasilan kasih ibu yang diberikan.

Kini aku menyadari betul bahwa...

Muhammad Argadinata Nuswan. Kamu memang laki-laki juga putra yang baik.


**


Aku menghembuskan nafas dengan panjang, tersenyum begitu saja saat melihat Arga menaiki tangga setelah membawa Tante Mentari yang sebelumnya tertidur di sofa ruang tengah saat kami menonton bersama tadi.

Sepanjang film diputar, Mamah Arga tak hentinya melepaskan genggaman tangannya dari ku sambil mengusap-usap lembut. Usapan khas milik seorang ibu yang biasa dapat kurasakan dari Nyonya Anita.

Kami sempat berbicara berdua walau sebentar. Tidak banyak namun sangat berarti. Aku mengingat semua cerita beliau. Hampir semuanya tentang Arga. Dan anehnya, aku justru malah menyayangi ibu Arga. Juga rindu dengan Mamahku sendiri.

"Nih... Es krim buat ucapan terima kasih hari ini." Arga menyodorkan es krim coklat cone padaku saat kami duduk di balkon lantai dua rumah memandang matahari terbenam di ujung sana.

Aku melirik. "Es krim doang?" Aku menggeser tubuh, memberinya tempat untuk duduk diatas karpet bulu dengan bantal-bantal warna-warni disekitar. Sisi feminim rumah ini sangat mewakili isi pemilik rumah, Mamah Arga sendiri.

Arga tersenyum jahil. "Kamu mau apa lagi? Sebutin aja semuanya, nanti aku bawain sekalian buat lamar kamu." Katanya santai membuatku mendelik memukul punggungnya dengan bantal.

Arga tertawa, laki-laki itu kali ini dengan tenang duduk menatap ke depan melihat matahari terbenam dengan es krim strawberry ditangannya.

"Ga..."

Arga menoleh padaku, kedua alisnya terangkat tinggi. Bibirnya melengkung kecil ke atas seakan membentuk senyuman. Eskpresi wajah antusias yang selalu sama saat aku memanggil namanya seperti 7 tahun yang lalu.
Ekspresi wajah yang belakangan ini selalu saja terngigang dan terekam jelas dalam memoriku.

Karena Piknik Kilat  ✔ (SELESAI)Where stories live. Discover now