BUNDA

42.7K 7.1K 144
                                    

Pukul 05.30 dini hari.

"Oweee, oweee..."

Dania terbangun. Terdengar suara bising tangisan seorang bayi dari luar tenda. Althar yang semalam tidur di sebelah gadis itu sudah tidak ada lagi. Sepertinya pria itu sedang melaksanakan sholat subuh di luar tenda.

Dania sulit untuk tertidur kembali, sekujur tubuhnya menggigil kedinginan. Outer cokelat milik Althar yang ia kenakan dari 2 hari yang lalu sudah dikembalikan. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk duduk saja sambil menunggu Althar. Memeluk kedua kakinya sambil menyandarkan kepala pada lutut.

Seorang ibu-ibu tua yang tidur di sebelah Dania terbangun. Ia terbangun karena suara ricuh gesekan tenda yang disebabkan oleh pergerakan Dania.

"Nak, kamu kedinginan?" Ibu tua itu bertanya. Menatap prihatin Dania yang menggigil sekujur tubuh.

Dania menatap Ibu tua tersebut, menunduk sebelum ia mengangguk kecil. Ibu tua itu langsung melepas selimut tipis yang ia gunakan. Hendak memberikan selimutnya kepada Dania.

"Ini, pake aja!" Ibu tua tersebut menjulurkan selimut tipisnya kepada Dania.

Dania menelan ludah, tangannya perlahan menerima selimut yang diberikan Ibu tua tersebut. Gadis itu langsung berbaring kembali. Membentangkan selimut tipis milik Ibu tua itu di atas tubuhnya.

Dania memejamkan matanya, menunggu sosok pria tampan yang telah menemaninya 2 hari belakangan. Lama kelamaan tanpa disadari gadis itu akhirnya tertidur.

• • •

Pukul 07.26
"Dania bangun yuk! Kita sarapan dulu!" Seorang laki-laki tampak duduk di sebelah Dania. Mengenakan outer berwarna cokelat.

Dania perlahan membuka mata. Menatap samar-samar Althar yang sudah ada di sebelahnya. Gadis itu kemudian bangkit, duduk termenung beberapa saat menatap terpal pengalas tenda. Althar tiba-tiba beranjak, berjalan menuju pintu keluar tenda.

Dania yang melihatnya langsung ikut beranjak. Berjalan mengikuti Althar yang baru saja keluar dari tenda.

Althar terlihat sangat tampan pagi itu. Ia mengenakan outer cokelat tuanya yang dikembalikan Dania tadi malam. Dua remaja itu berjalan menuju dapur darurat. Althar sudah berniat untuk mengambil sarapan.

"Kamu kenapa nggak make baju ini? Nggak kedinginan?" Kening Althar mengerut, menatap penasaran Dania yang berjalan di sebelahnya.

Dania menguap, kemudian menggeleng menjawab Althar. Pagi itu Dania tidak menangis lagi. Membuat hati Althar merasa tenang melihatnya.

Mereka telah sampai di dapur darurat. Puluhan orang mengantri di sana untuk mengambil sarapan. Menu pagi itu adalah sepotong telur sambal dengan nasi. Dibungkus di dalam kertas nasi berwarna cokelat, sama persis dengan menu makan malam kemarin. Althar berjalan menuju antrian, membiarkan Dania yang menunggunya mengambil sarapan.

Setelah mendapatkan sarapan, Althar langsung mengajak Dania ke sebuah pohon besar yang sudah runtuh. Duduk di atas tubuh pohon itu dan mulai menyantap sarapan.

"Kamu tadi ke mana, Thar?" Dania mulai memasukkan suapan pertama ke mulutnya.

"Tadi aku solat subuh, terus disuruh relawan buat bantu-bantu nyiapin sarapan. Mereka juga minta bantu buat diriin tenda baru. Masih banyak orang-orang yang mau ngungsi di sini nanti siang." Althar menjawab dengan santai.

"ALTHAR!" Seorang wanita dewasa berpakaian serba hitam mematung. Berdiri kaku 20 meter di hadapan Dania dan Althar.

"Bundaaa!" Althar buru-buru beranjak. Berlari menemui wanita dewasa itu dan meninggalkan sarapannya.

Althar langsung memeluk tubuh wanita dewasa itu. Wanita dewasa dengan pakaian serba hitam tersebut adalah ibunda dari Althar. Ia datang menemui anaknya di tempat pengungsian pagi itu.

"MasyaAllah, Nak, kamu nggak kenapa-napa kan?" Napas bunda Althar terengah-engah. Ekspresinya penuh rasa cemas.

"Alhamdulillah, Althar nggak kenapa-napa kok, Bun." Althar menjawab dengan santai, masih berpelukan erat dengan ibundanya tersebut.

Bunda Althar kemudian melepas pelukannya. Berjalan maju beberapa langkah ke depan, menatap gadis yang tengah duduk menghabiskan sarapan di atas tubuh pohon yang telah roboh.

"Ini Dania? Yang kamu ceritain itu?" Bunda Althar menoleh kepada putranya, bertanya mengenai gadis yang duduk di atas tubuh pohon.

Althar mengangguk. Ia memang telah menceritakan banyak hal tentang Dania kepada bundanya saat menelpon kemarin malam.

"Iya, Bun, ini Dania." Althar tersenyum tipis. Bunda langsung berjalan mendekati Dania. Ikut duduk di atas pohon besar yang sudah roboh itu.

"Kamu cantik sekali, Dania, pantes aja Althar semangat nyeritain tentang kamu sama Tante." Gurau bunda Althar sambil tersenyum manis menatap wajah gadis di sebelahnya.

"Bunda, Bunda..." Sahut Althar yang tak terima mendengar gurauan bundanya barusan.

Dania tersenyum tipis. Buru-buru menghabiskan makanan yang ada di mulutnya. Mata gadis itu berkaca-kaca. Menyaksikan pelukan Althar dengan bundanya barusan sungguh membuatnya rindu dengan Sarah. Air mata telah terkumpul di penghujung pelupuk mata gadis itu. Menatap wajah bunda Althar sungguh membuatnya sangat iri. Mengapa hanya bunda Althar yang selamat? Mengapa Sarah tidak?

Bunda Althar tiba-tiba mendekap tubuh Dania.

"Yang sabar ya, Nak, Tante ngerti kok perasaan kamu." Air mata bunda Althar seketika menetes. Putranya telah menceritakan seluruh berita duka mengenai keluarga Dania kemarin malam.

Air mata yang telah Dania tahan-tahan di hujung pelupuk matanya dari tadi akhirnya menetes. Mengalir deras membasahi wajah cantik gadis itu.

"Kamu jangan sedih lagi ya sayang, sekarang Tante yang akan jadi ibumu. Mulai sekarang, kamu jangan manggil 'Tante' lagi, ya? Panggil aja 'Bunda'! InsyaAllah mulai sekarang Bunda bakalan gantiin posisi Ibu kamu. Bunda janji, Bunda bakal merawat kamu seperti anak Bunda sendiri." Air mata terus mengalir dari mata kedua perempuan hebat.

Dania berusaha untuk menghentikan tangisannya. Namun tak bisa, ia tidak kuasa menahan air matanya. Berita duka serta rasa sakit begitu dalam yang didapatkan gadis itu kemarin teringat kembali di dalam pikirannya.

"Dania udah nggak punya siapa-siapa lagi, Bunda."

"Kamu masih punya Bunda, Sayang. Kamu masih punya Althar. Bunda sayang sama kamu, Nak..." Bunda terus menguatkan.

"Kamu mau kan ikut Bunda ke Jakarta?" Bunda melepas pelukannya. Menyatukan tangannya dengan kedua pipi Dania.

Dania menelan ludah, tertunduk menatap rumput di bawah. Gadis itu tengah berpikir keras. Keputusan ini akan menjadi penentu nasib kehidupannya ke depan. Ia akhirnya mengangguk. Menerima tawaran Bunda barusan.

Bunda kemudian mengusap air mata yang membasahi wajah gadis itu. Lalu memeluk kembali ke dalam dekapannya.

"Kamu perempuan yang kuat, Nak." Ucap Bunda dengan pelukannya yang hangat.

"Makasih, Bunda," Dania memejamkan mata dengan kuat. Berusaha mengeluarkan seluruh air mata yang terkumpul di pelupuk matanya.

Bunda beranjak berdiri. Mengambil dua pasang pakaian dan dua handuk dari dalam tasnya.

"Ini, kalian mandi dulu—" Wanita dewasa itu menjulurkan 2 pasang pakaian yang diambilnya kepada Althar dan Dania.

Sebuah baju abaya panjang berwarna hitam milik Bunda beserta handuk diberikan kepada Dania. Dan untuk Althar, Bunda membawakannya sepasang sweater dan celana panjang.

Dania dan Althar segera bergegas menuju toilet umum untuk pergi mandi. Di sana sudah banyak sekali orang. Orang-orang berbaris mengantri menunggu giliran memakai toilet.

Pagi itu rasa sakit di dalam hati Dania masih belum terobati sedikit-pun. Melupakan kepergian seorang yang ia cintai bukanlah suatu hal yang mudah. Terutama sahabat dan ibunya sendiri.

• • •

LAUTAN DAN DENDAMNYA (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang