.41

47 18 15
                                    

Para murid tercengang. Mereka tak paham. Elo ingin melawan Einer, setelah semua pertarungan yang melelahkan itu, sendirian?

"Hey Elo, let us help!" balas Steven melangkah mendekat, "Kita bakal bantu lu kok-"

"Yang lain pada gamau. Ya udah. Tapi Einer harus kalah hari ini. Kalian pergi aja."

"Hey, no, lu ga mungkin menang kalo cuma sendiri. Kalau kita nyerangnya bareng-barneg-"

"Gw gagal nyelamatin mereka yang mati. Gw gamau gagal nyelamatin kalian yang masih hidup."

"Ok, alright edgy quote," sela Farrel jengkel, "Sekarang kita semua, termasuk lu Elo, bakal balik bareng keluar dari sini. Ngerti?? Bukan lu yang ngatur ya."

"Gw gamau sia-siain perjuangan mereka bertiga sumpah! Lu yang ngerti kagak??"

"Lu yang ga ngerti! Perjuangan mereka emang udah sia-sia! Perjuangan kita semua udah dari dulu sia-sia!"

Elo menggeleng pelan. "Nggak. Nggak. Kita masih punya kesempatan." Elo pun membalikkan badannya, berlari keluar ke taman terbuka.

"Hei! Jangan! Woi! Anjing..."

Elo terus berlari, dengan segenap tenaga yang tersisa, menuju sisi gedung yang terbuka lebar. Tiada tembok yang berdiri lagi menyelimuti sisi itu, begitu juga sisi gedung yang lain yang sudah rusak berbolong-bolong. Taman polos pun di depan gedung terpampar jelas.

Farrel menyerah memanggil Elo lagi, percuma saja. Steven pun tak berani melanggar ujaran Elo. Sudah cukup nyawa yang hilang hari itu.

Bulan purnama bersinar terang.

Langkah Elo di tengah taman mulai melambat. Ia tak yakin ia bisa mengalahkan Einer. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, ia tak yakin apa ia bisa menang. Tubuhnya sudah hancur.

Ia tak peduli. Ini benar-benar pertarungan yang terakhir. Untuk Azra, Javin, Nicholas, Regina, dan Nil.

Ini semua salahnya. Ini semua terjadi karenanya.

Mereka seharusnya bisa pulang. Mereka seharusnya bisa kembali bertemu dengan orangtua yang menyayangi mereka. Tetapi harapan itu sudah tiada.

Ia harus memperbaiki ini semua. Ia harus menghentikan Einer.

Ratusan orang berkerumun menyaksikan gedung Bugjang dihadapan mereka, hancur. Puluhan polisi dan tentara pun menahan orang-orang itu untuk masuk bahkan ke dalam taman gedung. Para reporter pun juga melaporkan berita ke stasiun televisi masing-masing diantara kerumunan itu. Hanya helipkopter-helipkopter dari stasiun berita maupun militer dapat melewati batas tahanan polisi, dari udara.

Barisan paling depan, para polisi dan tentara bersatu mengelilingi seluruh tanah Bugjang di tengah kota itu, berdiri tegap dalam masing-masing posisi menodongkan senjatanya ke arah dalam taman yang mengelilingi sekitar gedung Bugjang. Mereka tegar perlahan-lahan melangkah maju, siap menyergap.

Ramai. Kacau. Kebingungan. Tidak ada yang tau apa yang terjadi di dalam gedung itu. Tidak ada yang tau mengapa Bugjang, organisasi yang didesain untuk menjadi lebih kuat daripada kemiliteran itu sendiri, tumbang. Tidak ada yang tau siapa yang masih hidup, siapa yang sudah mati.

Para warga mulai heboh, ramai berseru-seru. Orang pertama yang keluar dari gedung Bugjang, ke tengah taman. Elo.

Lampu sorot dari salah satu helipkopter pun bergegas diarahkan ke Elo.

Elo yang berjalan lelah, menatap sekitar. Polisi dan tentara. Mengangkat senjatanya ke dirinya. Sial.

Elo terkejut, berusaha menutup matanya dengan tangannya. Sinar putih terlalu terang.

Butterfly KnifeWhere stories live. Discover now