.10

89 46 17
                                    

Ruang hall. Megah, luas, eksklusif. Sementara murid-murid di dalam sana berlari-lari bagaikan monyet, mondar mandir sibuk mengerjakan sebuah tugas.

Elo mengintip dari semak-semak. Kaca bening yang memenuhi sisi tembok depan hall membuatnya bisa melihat semua itu. Semua keributan, kesenenangan, ketegangan.

Ia harus masuk kesana. Ia tak bisa melihat Steven dari posisi pandangannya. Kerumunan murid terlalu padat.

Semoga saja sewaktu masuk, Reven, guru-guru, dan Einer tidak melihatnya. Semoga dirinya yang melihat Steven.

Ok. Elo melangkah maju berani. Ia akan masuk.

Ia membuka pintu lebar-lebar. Tidak ada yang peduli, semuanya ribut sibuk masing-masing.

Elo mengernyit. Tugas sesulit apa membuat semua murid sibuk seperti ini? Ada yang memegang kardus, gunting, lem, kertas karton, lakban hitam, pensil, spidol...

Tidak ada Steven. Tidak ada dimana-mana.

"Weh weh Elo Elo!" panggil seorang bersemangat. Elo menoleh, untung bukan Reven. Fernando, murid berperawak remaja Belanda. "Lu dah dapet kelompok belom?"

"Ehhh.... emmm..." Kelompok? Ia saja tidak tahu tugasnya apa!

"Belom ya? Ok ok sini gabung kelompok gw aja biar pas!" Fernando menarik tangan Elo berlari.

"Eh jangan tarik tarik oi..."

"Lah lu udah dapet kelompok?"

"Ya... belom... cuma gw lagi ada-"

"Ishshh udah urusan lain nanti aja! Kita baru bikin sendalnya, tapi waktunya tinggal 15 menit lagi!"

"Sendal apa?!"

"Eh nih dia! Dah lu bantu si Eleora tuh!" Fernando melepas tarikannya. Elo terhenti, menatap kumpulan murid itu, duduk malas menggunting-gunting bagian berbagai kardus.

Eleora disana, perempuan tomboi tak terlalu tinggi menyapa Elo dengan senang, merubah gaya awalnya yang begitu tomboi. Ia yang sudah dijauhi Reven dan Mandan, meninggalkan pertemanan mereka.

Javin, menoleh ke Elo tak berkata. Ia menggunting kardus dengan kuat dan cepat, ia yang paling membantu pengguntingan kardus. 

Apalagi Fernando. Ia... lebih tepatnya ia sendiri yang jarang berkerumun dengan murid lain. Ia lebih suka sendirian.

"Hei. Aku udah dapet kardus-kardus tambahan nih, bagi yang membutuhkan." ujar seorang murid polos, Azra, menaruh kumpulan kotak kardus ke tengah lantai. Azra juga jarang berteman.

Walah. Kelompok ini kumpulan murid yang tak dianggap. Ia masuk ke kelompok para murid yang tersisa terakhir.

Tapi mengapa ia peduli dengan kelompok ini? Seharusnya saja ia dipanggil guru, atau guru-guru saat ini juga sibuk mengawasi murid lain.

Tetapi sebagian hatinya ingin ikut berpartisipasi dalam tugas. Dirinya sudah dipanggil guru, apalagi tidak ikut dalam tugas kelompok ini, nilai sekolahnya akan berkurang berapa banyak??

Ah. Tidak ada nilai sekolah yang akan dikhawatirkan kalau ia ditangkap Einer. Lebih baik ia pergi.

"Bentar Fernando. Gw ada urusan pentiingg banget, jadi-"

"Lah... liat kelompok lain tuh... liat!"

Elo penasaran, melakukan apa yang Fernando katakan. Ia melihat sekitar, masing-masing kelompok-kelompok lain memiliki satu murid yang memakai pakaian kardus. Sendal, celana, bahkan pelindung kepala, sudah selesai dibuat dari kardus-kardus. Bahkan sudah ada yang menghias kardus dengan apik. 

Butterfly KnifeWhere stories live. Discover now