.30

57 25 27
                                    

Noa sudah datang. Ia melihat laboratorium itu, semua karyawan masih bersiap-siap. Semua bergegas bolak-balik mengambil dan menaruh berbagai barang, beberapa saling berteriak satu sama lain mencari barang yang dibutuhkan.

"Hei, lama sekali kalian kerja. Efek tembakan lasernya kata kalian sendiri kurang kuat dengan varian X-69 yang baru ditingkatin. Buat serum pembunuhnya, sekarang!!" bentak Noa tak sabar.

Serum pembunuh?! Sial. Apa Elo harus menghentikan mereka sekarang?

Ah, tunggu. Tidak. Ruangan masih ramai penuh prajurit. Ia akan dikeroyok habis.

Para dokter pun linglung bergegas berjalan semakin cepat mendengar bentakan Noa. Para karyawan tetap saja masih mondar mandir. Tiada yang berubah selain langkah mereka dipercepat.

Noa memukul dahinya pusing. "Haduh... tadi barusan saya bilang apaaa ya..."

"Sebentar bu. Kami butuh waktu." balas seorang dokter melewati Noa sibuk mencari sesuatu, "Eh Lang, mana ekstrak ricinnya- ah bentar bentar..."

"Andai kalian tau seberapa susahnya kita tadi ngelawan mereka. Sumpah."

Ia menatap para murid serta Einer. Ia terus berharap dalam hati mereka semua tidak bangun tiba-tiba. Varian baru obat IndoProtect sudah lebih kuat. Tembakan senjata laser dan serum pembunuh biasa tak akan cukup untuk membunuh mereka.

Ia menatap Einer. Seorang yang menyelakai kakak kandungnya sendiri. Tak sadarkan diri terlelap disana.

Noa menyeringai. Einer tak berdaya sekarang. Akhirnya, ia lega. Semua yang Einer lakukan terhadap kakaknya terbayar. Ia tak akan membahayakan siapapun lagi. Mereka tak akan.

"Bu, pak Prawo menelepon. Ada masalah di villa." Seorang karyawan berbaju kemeja rapih bergegas menghampiri Noa.

"Halah apa lagi..." keluh Noa kesal. Ia bergegas berjalan meninggalkan laboratorium.

Elo mendengar semua itu. Serum pembunuh. Jika ia gagal menghentikan mereka, mereka akan mati.

Ia berusaha sekeras mungkin untuk menghindarkan teman-temannya dari bahaya. Dan ia gagal, dengan begitu kacau.

Ah, sudah. Mereka sudah memutuskan keputusan mereka untuk berperang. Mereka sudah mengerti.

Elo menunggu, bersabar. Menunggu momen yang tepat.


Pintu kaca otomatis terbuka. Ruang penuh komputer dengan karyawan sibuk mengotak-atik dengan tergesa-gesa. Di depan satu barisan komputer, terdapat layar besar yang menunjukkan peta lokasi villa murid-murid yang sudah ditinggalkan dari satelit.

Alex, Farrel, Javin, dan Azra berdiri dibelakang pintu, menatap ruang itu. Tidak ada karyawan yang mencurigai mereka menggunakan seragam empat karyawan lain.

"Ok. Tenang. Tenang." gumam Alex ke dirinya sendiri yang gugup, "Cari tombol yang mematikan semua listrik di gedung ini. Pasti ada. Dan jangan sus... eh eh eh..."

Alex mengeluh sesaat Noa menyenggol pundak Alex. Alex panik sedetik, langsung mengingatkan diri untuk tenang.

"Kok malah panik sendiri?" tanya Javin, "Rencana lu sendiri lho ini. Lol."

"Ya lu kira- ah serah lah."

Javin tertawa kecil. Ia menengok kiri kanan, tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Aman.

Farrel pun tak sabar melangkah, mencari tombol yang dimaksud Alex, disusul Javin dan Azra. Mereka berempat berpencar.

Dua orang karyawan tadi mengikuti Noa, kembali ke komputer mereka masing-masing. Noa menatap layar lebar di hadapannya, "Masukan Prawo ke saluran suara."

Butterfly KnifeWhere stories live. Discover now