.13

83 42 17
                                    

Ia harus segera mengecoh. Em, kemana?

Masuk ke sebuah ruangan. Ya, ruangan apapun. Elo memandang sekitar. Ruang hall sepi dipenuhi kursi berjejer, hanya beberapa hasta dari dirinya. Ia membelok menujunya.

"Hey Elo, you okay?" tanya Eleora bersahabat.

"Gw gepapa, gepapa." balas Elo nada terganggu.

"Emang tuh, si Farrel juga suka ngeselin banget sumpah. Males gw."

Mereka berdua memasuki hall. Tiada orang, tiada siapapun. Elo terus berjalan, menuju pintu belakang hall.

Ia menoleh ke belakang. Pria itu belum terkoceh pula.

"Lu daritadi liatin siapa sih..."

"Elo!"

Elo menghentikan langkah. Ia membalikkan badan perlahan. Pria itu, memanggil sampai menggema di seluruh pojok hall.

"Kamu dipanggil Einer. Sekarang."

Elo menggigit bibirnya. Ia perlahan mengambil butterfly knife dari sakunya.

"Eh itu lu dipanggil tuh..." ujar Eleora, "Ya sana!"

Sial. Ia tak bisa menunjukkan aksi butterfly knifenya jika Eleora ada disini.

Elo menarik napas panjang. Sial sial. Ia membayangkan tayangan gore di pikirannya, ia akan menjadi bahan penelitian.

Elo melangkah terpaksa. Ia berpikir keras. Ia tak akan bertemu Einer hari ini, tak akan. Tapi bagaimana lagi?

Anak buah itu merangkul Elo dengan erat. Ia berpura-pura berjalan santai.

Elo menoleh ke Eleora kesal. Andai saja Eleora tak ada disini.

Mereka berdua berjalan tergesa-gesa, selalu anak buah mendorong Elo berjalan lebih cepat. Menembus ke tengah keramaian ruang makan, keheningan taman, sampai lorong-lorong villa.

Tepi lapangan futsal berumput luas. Lapangan yang dipasang berbagai macam tali. Segelintir murid disana, memperbaiki rangkaian kardus yang sejak sebelum makan siang sudah dikerjakan.

Elo menatap di kejauhan. Francind dan Azra, mereka berdua dari segelintir murid itu bekerja dengan giat.

"Udah jalan aja..." Anak buah itu mendorong lagi.

"Wedehhh Elo! Bantuin nih bro..." seru Francind mengangkat rangkaian kardus yang belum berbentuk itu.

Elo menengok-nengok. Kesempatan bagus. 

"Ya ya gw bantu lu ya!" Elo berlari ke dalam lapangan.

"Ei ei pelan-pelan dong..." Anak buah itu menarik seragam sekolah Elo, "Dia dipanggil Einer bentar ya." 

Sial. Elo gelisah kembali, ia gagal kabur.

"Oh ok pak." balas Francind mengacungkan jempol. Anak buah Einer mendorong Elo kembali, memaksa berjalan tergesa-gesa.

Mereka sudah dekat. Anak buah membelok, mendorong dengan rangkulannya ke dalam lorong gedung kamar-kamar villa lain. Gedung kamar-kamar guru.

Lorong hening. Tidak ada siapapun sama sekali. Semua guru pasti sibuk mengawas murid di ruang makan.

Einer sudah tinggal berjarak beberapa langkah lagi. Ia harus kabur sekarang, sekarang atau tidak selamanya.

Benar-benar tidak ada orang. Elo mengeluarkan butterfly knifenya diam-diam.

Anak buah membelok menghadap sebuah pintu, mengangkat kepalan tangannya.

Sesaat Elo langsung menusuk perut anak buah ke atas. Anak buah tak berteriak, dirinya langsung tak sadarkan diri bersandar ke Elo.

Butterfly KnifeWhere stories live. Discover now