.20

69 29 33
                                    

"Semua diam!! Diam!!"

Seketika pria itu berseru menggema di seluruh ruangan, para pelanggan dan karyawan berhenti berteriak histeris. Hening.

Kumpulan murid itu tak berhenti mengangkat tangannya. Mereka tak berani melakukkan apa-apa.

Deedee menoleh keluar, mobil-mobil polisi sudah datang, berhenti 10 meter dari depan kafe. Beberapa polisi beserta penembak jitu keluar mobil, berposisi menghadapkan senjatanya ke depan.

Tak ada polisi yang berani masuk. Mereka melihat jelas ada warga didalam terancam.

Salah seorang itu mencari-cari target mereka di tengah kerumunan itu. Mereka hanya disitu untuk seseorang.

Maksi, berusaha berkamuflase diantara orang-orang lain, menunduk gemetar. Tetapi seorang itu melihat kacamata yang khas dari Maksi itu, memanggilnya keluar. "Maksi!!"

Seorang itu bergegas mengambil sebuah rangkaian balok dipenuhi kabel lisrik kecil dan papan sirkuit. Ia menekan sebuah tombol, countdown satu menit muncul di layar kecil bom itu.

Para warga terkesiap mendengar bunyi bom menghitung mundur, mulai berteriak panik.

"Diam semua! Tiga menit lagi bom ini akan meledak, dan akan jadi satu menit kalau Maksi tidak kesini, sekarang."

Mereka semakin berteriak kencang. Mereka akan mati dalam tiga menit, atau bahkan satu menit.

Kumpulan murid juga tak bisa apa-apa, selain meredam kepanikan mereka yang meluap-luap dalam hati.

"Piffen. Ini cuma masalah saya dan kamu. Jangan bawa orang-orang lain." ujar Maksi gemetar, perlahan beranjak berdiri.

"Huh, dari dulu, bapak memang lucu ya. Disinilah kita lagi."

"Lucu? Kamu yang lucu! Ga tahan saya sama kamu lagi-

"Gimana dengan saya, co-partner anda dalam mendirikan villa Saman, dan anda mengeluarkan saya dari organisasi kita sendiri! Dan sekarang bapak sok peduli sama nyawa 'orang-orang lain'."

Para murid menoleh kaget. Memang benar pria yang ditunjuk Deedee tadi, Maksi, adalah pemilik villa yang mereka inap sekarang.

"Karena kamu bukan 'orang' yang normal lagi! Kamu sudah..." Maksi terdiam sejenak dengan napas tersengal-sengalnya, "Semua yang kamu lakukan dengan keji, saya gabisa menutupi kejahatanmu lagi. Gabisa. Kamu harus pergi dari sini sekarang-"

"Ah. Tidak normal. Bapak suka sekali memanggil sebutan itu terhadap saya ya?"

"Dua setengah menit." ujar seorang yang lain, mengatur-atur bom. Para polisi diluar kafe berseru-seru kepada kedua orang penyerang untuk menyerah, tetapi suara mereka tidak dihiraukan sama sekali.

"Piffen! Piffen!!" seru Maksi, memohon untuk berhenti.

Deedee menoleh ke Alex. Mereka kan kumpulan murid supernatural. Apa mereka akan diam saja menunggu meledak?

Dua menit tersisa.

"Begini. Karena villa itu bukan punyamu saja, kita bagi hasil, seperti apa yang kita sepakati." jelas Piffen. "Kirim hasil usaha villa setengah untuk saya, saya matikan bom ini. Ya?"

"Piffen, astaga." ujar Maksi terkejut, "Oke- maafin saya karena sudah-"

"Saya ingin sekali terima permintaan maaf bapak! Tau tidak?! Tapi bapak hanya handal dalam omong kosong!" bentak Piffen geram. "Seumur hidup pertemanan kita, dan-"

"Setiap kali saya mengucapkan permintaan maaf, saya jujur Piffen! Tolong! Ini beneran."

"Satu setengah menit lagi. Saya sudah muak dengan bualanmu..."

Butterfly KnifeWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu