62. Pengorbanan

4.5K 202 2
                                    


Lu yakin di sini tempatnya?" Fathir mengikuti Karina yang berjalan di depan.
Sementara Bagas, Aryo dan Ismo-suami Karina berjalan agak jauh di belakang.

"Iya Mas, itu mereka," tunjuk Karina pada pada seseorang yang tampak keluar dari sebuah bangunan di depan mereka.

Fathir mengisyaratkan agar Karina menyusul suaminya di belakang, sementara ia sendiri yang akan masuk ke sana.
"Ati-ati, orang-orangnya nekat Mas."

"Iya."

Sebelum kedua kakinya berhasil memasuki bangunan tersebut, Fathir sudah di tahan oleh beberapa orang.

"Ada perlu apa lu?" tanya salah satu di antaranya.

"Gue nyari Mahesa."

"Dia nggak ada janji maen sama orang luar."

"Gue nggak main. Gue mau nawarin dia sesuatu."

Tanpa perlu banyak tanya lagi, mereka langsung membawa Fathir masuk. Di dalam ia mendengar teriakan-teriakan bercampur tawa. Namun, ia tak melihat keberadaan Riska.

"Bang! Ada yang nyari."

Seakan tak memercayai apa yang tergolek di hadapannya. Fathir mengepalkan kedua tinjunya, dan dalam sekali terjang ia berhasil melumpuhkan orang-orang yang akan mengerjai Riska.

Fathir paham perlawanannya yang seorang diri akan sia-sia apalagi begitu menyadari kepergian Riska yang diam-diam termasuk kenekatan luar biasa, andai saja ponsel perempuan itu tak tertinggal mungkin dirinya sudah kehilangan harapan.

Seseorang yang berkepala plontos mengangkat Riska berdiri. Dengan masih terpejam dan terkulai lemas, lelaki tersebut membuka paksa blus yang menutupi tubuhnya. Kemarahan Fathir seakan diuji. Ia melangkah maju lebih dekat namun, sayang dua orang berbadan besar langsung mencekal kedua lengannya.

"Gue pengen tau lu bisa apa, kalo nih cewek kita gagahin rame-rame."

Fathir menangkap Riska yang mengerjap, badannya terkulai lemah. "Riska!"

"Japa." seruan Riska terdengar lemah.

Dengan segenap kemampuan yang ia keluarkan, Fathir menumbangkan kedua pria yang mencekal lengannya. Tak sia-sia ia berlatih kickboxing meski tidak terlalu sering.

"Eit. Jangan dekat-dekat. kalo lu nggak mau nih cewek beneran gue jamahin!" seru si plontos begitu Fathir melangkah santai ke arahnya.

"Lepasin dia, gue kasih berapapun yang lu mau."

"Lu pikir gue percaya."
Dengan satu tangan si plontos mencekal kedua tangan Riska ke atas, mempertontonkan kedua dadanya yang tertutup bra. Semua orang di sana tertawa-tawa saat pria tersebut mulai menyentuh perut Riska dengan jemari dekilnya, lalu beranjak perlahan ke atas menuju payudaranya.
Fathir langsung melompat gusar, menerkam seperti harimau kelaparan. Fathir berhasil membuat si plontos tersungkur seketika sebelum pria itu sempat menjejakan jemarinya. Ia buka jaketnya lalu memakaikan ke tubuh Riska yang tampak sempoyongan.

"Jap. Ini beneran lu?" Riska menengadah lalu memeluknya tiba-tiba.

Sedikit lalai akan situasinya, Fathir terjerembab menimpa tubuh Riska. Seseorang menendangnya dari belakang.

"Habisin ajah yang cewek!" teriak salah satu dari mereka.

Fathir langsung bangkit sembari menyeret Riska agar menepi.
Gerombolan tersebut kembali solid, tak perlu menunggu lama, dalam sepersekian detik Fathir di hajar ramai-ramai tanpa bisa melakukan perlawanan. Kedua kakinya melemah, di saat seperti ini mengapa pertolongan terasa begitu lama padahal ia datang bersama teman-temannya. Dia jadi sadar apa yang dialami Riska saat insiden penyelamatannya dahulu mungkin tak jauh beda. Pasrah mungkin ini satu-satunya yang sudah di gariskan takdir.

"Jap!" teriakan Riska seakan menyadarkannya, ia bangkit dengan kemarahan dan keberanian demi melindungi seseorang.

"Kita liat apa lu masih semangat kalo liat nih cewek mampus." si plontos kini menodongkan belati ke leher Riska, seringainya seakan mengejek keteguhan Fathir.

"Jap lu pergi dari sini. Gue nggak papa. Gue udah seneng lu udah da--"

Fathir menendang belati sekaligus pemiliknya itu, tubuhnya tersungkur ke lantai. Ia mulai melakukan perlawanan satu-satu meski tampak mustahil, beberapa kali limbung dan jatuh tak lantas menyurutkan kegigihannya.

"Habisi mereka berdua, buang mayatnya sebelum ada polisi datang!" seru si plontos dengan lantang begitu ia berusaha berdiri kembali. Tangannya segera menyambar belati yang terlempar tak jauh dari kakinya. Bergerak hanya sejengkal langkah pria itu mengarahkan belatinya tepat ke perut Riska.

Fathir yang kebetulan menyadari bergegas menyepak kepala plontos lelaki itu. Badannya sempat goyah namun, belati di tangannya tetap menuju perut Riska. Fathir menarik lengan si plontos ke belakang berusaha menjatuhkan belatinya, usahanya berakhir sia-sia begitu dari arah belakang gerakannya di tahan dan pisau tersebut justru menyasar perutnya, tepat saat sirine polisi dan teriakan-teriakan peringatan terdengar dari luar.

Mungkin ratusan atau bahkan ribuan pukulan maupun tusukan yang menghujami tubuhnya, Fathir rela asalkan seseorang yang di depannya kini tak kehilangan harapan.

"Jap, bangun!" isakan Riska menggema di telinganya. Ia sadar kini tubuhnya terkulai lemah di pangkuan perempuan itu.

Fathir melihat Riska menyeka air matanya berkali-kali. Tubuhnya masih setengah terbuka, jaket miliknya tampak belum di resletingkan, memperlihatkan payudara berbungkus bra motif mawar yang bergerak naik turun. Fathir jadi gusar saat mengingat bajingan kepala plontos tadi hampir menjamahnya.

"Ris. Tutup," katanya lemah seraya menjangkau dada perempuan itu.

Riska justru membenamkan dadanya ke wajah Fathir, ia sesak tak bisa napas kala nyeri di perutnya harus beradu dengan susah payah usahanya mengambil oksigen dari himpitan kedua payudara tersebut. Ini bukan waktunya, desahnya dalam hati.

Fathir menjangkau wajah Riska agar mengerti isyaratnya. Perempuan itu pun langsung menarik resletingnya hingga tertutup.

"Jap. Jangan tinggalin gue." Airmata Riska kembali merebak, membanjir ke permukaan wajahnya.

"Gue nggak selemah itu. Ris gue ...." tiap tarikan napasnya terasa ngilu. Tak bisakah menunggu beberapa saat lagi sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.

"Jap!" kata terakhir yang sempat ia dengar sebelum kegelapan menyeret paksa tubuhnya yang sudah kepayahan.

Riska, gumamnya dengan perasaan lega.

Bagas, Aryo, Karina dan Ismo segera menghambur ke arah Riska begitu gerombolan Esa lari tunggang langgang.

"Fathir!" teriak Bagas dan Aryo bersamaan.

"Lu telpon ambulan!" perintah Aryo ke arah Karina.

"Kelamaan, kita bawa dulu pake mobil polisi." Bagas mengisyaratkan Ismo untuk membantunya mengangkat Fathir.

"Ris. Lu nggak papa?" Karina memeluknya, membiarkan dirinya menuntaskan isakannya di sana.

"Gue nggak bakal maafin diri gue kalo sampe Japa kenapa-napa."

"Laki lu pasti baik-baik ajah kok."

----

Sori ya pendek dulu kali ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sori ya pendek dulu kali ini... Jngan lupa tinggalin vote dan komen ya 😊

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang