33. Istri Bayaran

5.9K 239 6
                                    

• Akhirnya nyampe part yang dulu jadi judul kaver depan🙌

🌠

Pencarian dan segala upayanya harus berakhir hari ini, tepat saat Riska yang memutuskan keluar dari kamar opanya.

Malam sebelumnya sepulang dari kediaman pak Handoko, Fathir menjelajahi hampir seluruh alamat teman-teman yang pernah berhubungan dengan Jeje. Dan tentu saja tak menghasilkan apa-apa, bukan karena Jeje tipe perempuan penyendiri sehingga ia tidak punya teman dekat, tapi dia memang menikmatinya.

Fathir diam-diam menaruh hati pada perempuan itu jauh sebelum mereka meresmikan hubungan saat masih SMA. Pak Handoko adalah bawahan abinya, kadang dia sengaja membiarkan Jeje kecil berada di rumah keluarga Anggawarsito agar bisa bermain dengan Fathir. Kebiasaan ini lambat laun merefleksikan dirinya pada perempuan itu. Fathir menemukan cerminan dirinya ada pada perempuan itu, dan ia pun segera mengunci rapat-rapat dunia mereka berdua.

"Giliran gua masuk rumah sakit sekarang, lu pada ngumpul semua. Nggak sabaran banget ya nunggu gua mati!"

"Papa jangan ngomong gitu dong, kalo Papa nggak kelayapan kita juga nggak bakal cemas kayak gini."
bu Mei menaikan selimut yang merosot dari pasien yang kini terbaring lemah namun, tidak dengan kata-katanya yang terdengar meluap-luap.

"Japa! lu sekarang bebas mau pulang mau kagak, gue nggak peduli. Gua cuma minta satu hal, lu buruan kawin abis itu gua serahin semua ke elu. Besok lu bawa calon bini lu ke sini, sekalian gua mau ngumumin   sesuatu."

Fathir mendongak dari lamunannya. Secepat ini, padahal ia ingin mengulur waktu. Apa yang harus ia lakukan? Menyewa seseorang, sementara ia menunggu Jeje kembali?

"Jap! Kamu denger yang Opa bilang nggak?" seru abinya lantang.

"Iya."  Fathir menimpali singkat. Pikirannya melayang-layang.

"Gua minta besok kalian bawa si nonik ke sini. Gua mau ngucapin terima kasih."

"Iya Pa, besok biar si Japa yang bawa dia ke sini, iya kan Jap?"

"Iya." Fathir kembali menyahut dengan singkat.

"Heran deh apa bagusnya sih, nonik mulu yang diomongin. Tuh anak deketin Papa pasti ada maksudnya."

"Eh, Mei lu jangan sekatekate ya! Tuh anak lebih ngerti gua dari pada lu pada. Bubar sonoh! Gua mau istirahat sekarang. Besok pokoknya gua mau si Japa bawa calon bininya sama si nonik juga ke sini!"

Fathir sudah menyalakan mobil, dia berencana menyewa satu model dari Bagas untuk dikenalkan ke opa besok sebagai calon istrinya.
Hanya saja ia kembali berhenti, menyandarkan kepala dan memeriksa ponselnya, memastikan ada balasan dari Jeje. Kedua matanya berhenti sesaat pada pesan dan panggilan yang menumpuk dari satu nomor yang tidak ia beri nama. Fathir membukanya dan isi yang terpampang di sana kebanyakan pertanyaan dan tawaran layanan virtual. Perempuan ini pasti sedang butuh uang. Lalu kalau dia tahu kakeknya adalah konglomerat kenapa tadi malah buru-buru pergi? Harusnya perempuan itu tetap tinggal dan memanfaatkan keadaan.

Pikirannya menimbang sejenak akan keputusan menyewa model, sampai Jeje kembali namun, setelah membaca pesan Riska kenapa dia tak mengambil tawarannya, toh selama ini yang bisa membuatnya on cuma perempuan itu. Kalau dia bisa menggunakan Riska sebagai istri pura-pura yang dibayarnya, hal ini  ibarat sekali merengkuh dayung dua  tiga pulau terlampaui. Fathir akhirnya mematikan mesin mobil dan memutuskan menghubungi Riska.

Fathir melihat langkah ketergesaan menuju kendaraannya. Perempuan itu berhenti di pintu mobilnya, mengetuk kaca yang masih tertutup beberapa kali. Fathir mendiamkannya, kedua matanya menatap ke depan. Riska kembali mengetuk kaca mobilnya, meletakkan kedua telapak menutupi sekeliling wajahnya dan mengintip di sana.
Fathir menurunkan kaca dengan tiba-tiba, membuat Riska mundur sejengkal.

"Buruan masuk." pintanya ke arah kursi di sampingnya.
Riska memutar lalu membuka pintu dan duduk.

"Ada apa?" Riska mengawali tanpa menoleh ke lawan bicaranya.

"Harusnya gue yang tanya ngapain lu ngirim pesen, nelponin gue sampe bejibun. Lu pikir gue ada waktu buat ngurusin begituan."
Fathir melirik sekilas ke arah wajah yang kini serius menatap ke depan, wajah yang tak berpaling sedikitpun hingga hanya pipi tembam yang menghalangi Fathir melihat sorot yang mungkin disembunyikan perempuan itu. Oh ingin rasanya mencubit pipi itu dengan gemas dan menelengkan kepalanya sambil berucap, "Hadep sini dong."

"Shit!"

"Ah!" Riska menoleh dengan kaget.

Fathir merutuki diri.
Kedua mata mereka berpautan. Sejenak terdiam namun, tak lama, Fathir meruntuhkan situasi yang hampir membuat jantungnya kembali berdegup lebih cepat.

"Gue tau lu lagi butuh duit, gue mau nawarin sesuatu." Fathir tak mau ambil risiko dengan menatap Riska kali ini, setidaknya sampai debarannya kembali normal.

"Apa?" timpal Riska singkat.

"Jadi istri gue sementara. Gue bayar mahal sam—"

"APA?!" sambar Riska dia benar-benar menolehkan kepalanya kali ini, mengahadap Fathir dengan kedua bola mata membulat ke arahnya.

"Dengerin gue dulu. Lu cuma jadi istri bayaran gue, sampe hari terakhir opa. Hidup opa udah nggak lama lagi." Fathir merendahkan suaranya.

"Oh cucu macam apa lu! Lu pikir pernikahan cuma mainan? Lu secara nggak langsung doain engkong biar cepet meninggal ha!?"

"Hemm, jadi lu ngarep jadi istri gue selamanya. Jangan mimpi lu!"

"Gue nggak ngomong gitu." cetus Riska kembali menghadap ke depan.

"Yaudah iya in ajah kenapa sih, lagian ya lu nggak rugi apa-apa. Gue janji nggak bakal sampe jauh, lagian gue juga udah punya calon sendiri." Fathir menambahkan begitu melihat raut Riska yang meradang, ia tak bisa menduga apa sebenarnya yang disembunyikan perempuan itu. Butuh uang, tapi mati-matian mempertahankan prinsipnya.

"Yah kalo lu udah punya calon napa nggak lu kawinin dia ajah!"

"Dia belum pulang, lagian asal lu tau ya...." Fathir kembali merendahkan suaranya lalu mencondongkan sisi tubuhnya ke arah Riska dan berbisik pelan ke telinga perempuan itu. "Cuma lu yang bisa bikin gue on." Fathir tersenyum seakan kembali menemukan hiburannya tanpa perlu lagi bermain-main dengan perasaan.

"Gu--gue nggak mau." Riska tergagap memundurkan tubuhnya hingga menyudut ke pintu.

"Gue bayar mahal. Lagian lu nggak perlu cemas soal opa, gue juga pengen opa sehat terus. Dan selama lu jadi istri gue lu punya tugas khusus."
Fathir kembali bersandar di kursinya, berhenti sesaat karena ingin mendengar reaksi Riska yang terlihat tenggelam dalam pikirannya saat ini.

"Gimana lu mau kan?"

"Gue pikir-pikir dulu." jawab Riska masih menyudut, rautnya benar-benar sulit ia terka. Fathir kadang dibuat penasaran. Ingin ia rengkuh namun, sadar ia terlalu berlebihan pada mainan.

"Nggak usah kelamaan mikir, otak lu nggak nyampe ke sana. Besok temuin gue lagi di kantor. Sekarang buruan turun. Gue masih ada urusan."

Fathir menunggu jawaban perempuan itu meski dampratan setidaknya dia merespon, sayangnya Riska hanya diam dan langsung membuka pintu lalu keluar tanpa meninggalkan kata-kata.

Fathir menunggu jawaban perempuan itu meski dampratan setidaknya dia merespon, sayangnya Riska hanya diam dan langsung membuka pintu lalu keluar tanpa meninggalkan kata-kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


terimakasih sudah membaca jangan lupa bantu vote/comnt ya :)

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang