37. Kembali bermain

6.8K 195 2
                                    

🌠

Riska menduduki kursinya dan mulai menyalakan komputer. Terbiasa dengan situasi yang tenang di gudang hingga tak menyadari bahwa Sitha sudah duduk di depan mejanya, menopang dagu dengan kedua tangan mengamatinya seksama.
Riska terhenyak, ia memundurkan kursinya.
"Sialan lu ngagetin gue ajah."

"Eh, lu ada hubungan apa sama pak Fathir?" tanya Sitha tanpa basa-basi lagi.

"Hubungan apaan?"

"Halah, kemarin di rumah sakit Aryo sama yang lain udah cerita semua."

"Cerita apaan? Aryo siapa?"
Riska tak terlalu menyukai obrolan semacam ini.

"Hem. Lu yah masih maen sembunyi-sembunyi ke gue. Lu pasti ada hubungan sama pak Fathir. Ngaku ajah napa sih."

"Nggak penting." pungkas Riska beralih ke layar monitornya. Ia sama sekali tak ingin masalah ini diketahui rekan kerjanya meskipun Sitha sudah ia anggap sahabat dekat. Terlalu rawan pikirnya.

"Gue inget lu bisa lolos balik lagi abis dipecat. Gue jadi yakin sekarang kalo lu ada main ye kan?"

"Sembarangan ajah lu kalo ngomong." Riska tetap tak beralih dari layar di depannya. Memikirkan bagaimana mengusir Sitha secara halus dan mencari ide alasan cutinya yang mendadak. Riska tak ingin hal sekecil apapun yang di lontarkan mulut licin Sitha—yang sayangnya sering kepleset, memicu kegemparan di perusahaan.

"Gak usah ngeles lu. Aryo, Bagas, Sisil udah cerita kalo lu pernah nginep di hotel sama pak Fathir kan?"

Riska mendongak dan memukulnya dengan map kosong. "Eh, lu kalo ngomong ati-ati ya! Sialan mereka maunya apa sih."

"Oh jadi bener nih." Sitha senyum-senyum belum tampak keinginan untuk mundur dari raut mukanya.

"Sith. Lu bisa diem nggak sih."

"Gue bakal diem, kalo lu jujur sama gue."

"Gue udah jujur, gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Lagian kenapa lu bisa kenal sama temen-temennya si Japa?"

"HA? Si Japa? Sapa tuh? E. Cie udah punya panggilan sayang nih."
Sitha tersenyum diikuti kedua mata yang melebar lambat laun senyumannya jadi ikut melebar hingga tawa yang kemudian terdengar memecah.

"Ssst! Lu berisik tau!" Riska bangkit dan membekap mulut yang tak tahu diri itu.

Sitha memundurkan kursi memberi tempat agar Riska menyanggah sebagian pantatnya di meja. "Eh jadi beneran lu jadian? Bakal kiamat nih."

"Tuh mulut jangan lebar-lebar napa."

"Ris, ceritain dong kok elu bisa nyantol sama bos kayak gitu? Lu jadi selingkuhan ya? Gue saranin nih ya, mending lu mundur ajah. Lu tau kan keluarga Anggawarsito pasti punya standar tinggi, apalagi pak Fathir satu-satunya cucu penerus yang—"

"Gue udah tau!" Riska meraih kedua pipi Sitha dengan satu tangan, memaksa menghentikan ocehannya.

"Lah? Terus, lu mau lanjut?"

"Nggak usah dibahas. Lu kalo nggak ada yang penting, mending keluar sekarang. Gue lagi sibuk." tunjuk Riska ke arah pintu.

"Ah lu, gitu amat sama gue. Yaudah kalo nggak mau cerita. Sekarang bantuin gue."

"Apa?"

"Gue nginep kos lu ya ntar malem? Gue lagi marahan sama nyokap."

"Inget umur tuh, masih kayak bocah  sekolah ajah main kabur-kaburan."

"Yah, please?" Sitha menggoyang-goyang lengannya.

"Iyah, tapi agak maleman ya ke kosan. Gue mau keluar."
Riska ingat nanti malam dia ada janji main bersama Mahesa. Semoga saja Sitha tak bisa menebaknya kalau tidak, bisa-bisa dia ngoceh semalaman mengalahkan rekor uwanya.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang