54. Penyelidikan

4.5K 190 3
                                    


Berdiri di antara petak bunga asoka seorang kakek berusia 70-an tengah asik bersenandung riang sembari menyemprot tanaman bersama Sarip—tukang kebun di kediamannya.

"Sekarang suka nanem-nanem tuan?" tanya Sarip sembari membereskan sisa pupuk yang baru saja ia gunakan.

"Biar lu kagak nganggur-nganggur amat Rip."

"Heheh…." Sarip tertawa salah tingkah. Tak tahu harus merespon apa selanjutnya.

"Pa!" abi terdengar berteriak dari arah dapur.

"Jangan teriak-teriak! Lu pikir gua budeg!" opa melempar selangnya yang masih menyala begitu saja ke arah Sarip.

"Eit. Tuan." Sarip gelagapan meraih selang yang sudah membasahi sebagian bajunya.

Dengan langkah lebar, abi akhirnya menyusuri jalan setapak dan menghampiri ayahnya. "Bisa bicara sebentar di ruang kerja?" tanpa perlu respon lagi, abi berbalik mendahului.

Keduanya sudah di dalam. Abi menutup pintu di belakangnya lalu berjalan menuju meja yang di atasnya tergeletak sebuah amplop coklat besar berkop nama 'Febri Sebastian.'
Abi menyerahkan amplop tersebut ke opa yang langsung di tepisnya begitu menangkap logo seorang pengacara yang pernah mereka sewa beberapa tahun silam.

"Kenapa? Dia pura-pura nemuin petunjuk lagi?"

"Baca dulu Pa." sergah abi menepuk amplop yang masih berada di tangannya.

"Gua males nyari kacamata. Lu ceritain ajah." sahut opa mendudukkan diri di sofa.

"Aku udah yakin kalo selama ini yang kita cari itu Nonik."
Ia buka terburu amplop itu seakan baru pertama diterima. "Lihat Pa. Ini bahkan bukan sekedar petunjuk, tapi bukti." berkas-berkas itu di jatuhkan begitu saja di pangkuan ayahnya. "Setelah sekian lama akhirnya dia malah jadi mantu kita sendiri."

Opa bergeming.

"Papa masih nggak percaya? Atau jangan-jangan Papa udah tau lama soal ini, makanya Papa ngotot biar Nonik diangkat jadi cucu di keluarga kita."

"Lu sendiri, berapa lama Nonik kerja di Startex? Kenapa lu nggak sadar ada karyawan dengan nama belakang Zadokh ha?" balas opa. "Pas di rumah sakit juga udah pernah gua tanyain dia sendiri bilang nggak tahu Zadokh generasi ke berapa."

"Papa sendiri tau kan, sudah berapa Zadokh yang kita temuin. Aku juga sempet heran kuburan itu kok ada, padahal sudah berapa orang yang kita suruh buat ngupas tuntas sampe ke  orang-orang yayasan LCC. Atau Papa sengaja nongkrong di kampung mangga buat nyari tau sendiri?"

"Eh! Lu pikir gua kayak intel lagi nyamar gitu? Kalo gua bisa bayar kenapa juga susah-susah begono. Lu denger ya, kalo bukan karena si Japa kagak pernah pulang ke rumah, gua juga kagak bakal kelayapan sampe ke kampung mangga."

"Atau jangan-jangan si Japa udah tau?" Abi justru berpikir ke arah sana, menimbang-nimbang gelagat anaknya akhir-akhir ini.

"Kalo gua liat sih kagak tau apa-apa dia. Tapi si Japa punya tujuan lain."

"Kok Papa bisa mikir gitu?"

"Yah karena gua pernah muda Hen!"
Opa akhirnya meraih berkas di pangkuannya, membuka sekilas dengan memicing lalu berhenti pada dua lembar foto lama keluarga yang memperlihatkan sepasang suami istri, sedangkan foto kedua memerlihatkan seorang anak perempuan berusia 5 tahun dengan ayahnya, mereka berdiri di depan gerbang pabrik Saritex.

"Si Nonik, orangtuanya kerja di pabrik kita juga?" tanya opa agak keheranan.

"Kemarin kan sudah aku ceritain semua Pa. Masak lupa."

Melihat ekspresi ayahnya yang mulai antusias, abi menyorongkan tubuh agar intonasi suaranya lebih terdengar meyakinkan. "Bapaknya Nonik pernah dipenjara sebelum dia dirawat di rumah jiwa dan akhirnya meninggal di sana." abi merendahkan suaranya di akhir kalimat.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang