8. Insiden di hotel

17.9K 335 14
                                    


Fathir duduk di sisi bak mandi sembari menghubungi seseorang melalui ponselnya. Sesekali ia mengawasi Riska yang tampak anteng-anteng saja, kepalanya terkulai sambil sedikit meracau.

"Halo, Dam tolong bawain baju ganti sama baju cewek juga, oh iya sama pakaian dalamnya juga ya," perintahnya pada seseorang di seberang sana.

"Eh, baik Mas...untuk baju cewek yang seperti apa ya?"

"Terserah yang penting baju cewek, masak mau saya jelasin lagi!" bentaknya.

"Ehh... Ba-baik Mas, maaf mengenai pakaian dalamnya ukuran berapa ya?"

"Emang itu penting ya?!"
Fathir kembali membentaknya namun, ia menimbang sejenak sambil melirik ke arah Riska yang kini terlelap. Dengan sedikit ragu Fathir mengarahkan telapak tangannya ke salah satu dada Riska yang terlihat sedikit mengapung-tenggelam sesuai ritme napasnya. Fathir tidak bisa melihat dengan jelas wujud utuhnya karena tubuh perempuan itu tersamarkan buih sabun. Dia mengira-ngira dengan menggunakan telapak tangan tanpa menyentuhnya.

"Halo, halo Mas? Mas Fathir?"

"Ukurannya kira-kira satu tangkupan telapak tangan Dam."
Fathir menimbang-nimbang sambil memposisikan telapak tangannya begitu presisi tepat di objek yang ia maksud.

"Eh... heheheh lebih detailnya berapa Mas? Kenapa tidak ditanyakan langsung ke yang bersangkutan saja?"
si penanya terdengar ragu-ragu, mungkin takut membuat si bos membentaknya lagi.

Fathir hendak bangkit dari duduknya namun, tiba-tiba pergelangan tangannya ditarik Riska, otomatis telapak tangannya yang masih dalam posisi di udara  jadi benar-benar menyentuh payudaranya.

Hek!

Bukan setangkup telapak tangannya, tapi lebih. Fathir menelan ludah, buru-buru ia mengangkat tangannya dan menepis gerakan asal-asalan yang masih dilakukan Riska.

"Dam kayaknya lebih besar dari telapak tangan deh."

"Ha? Maaf yang benar bagaimana Mas?"

"Udah terserah lu, pokoknya bawakan ukuran yang besar jangan yang kecil. Gue tunggu nggak pakai lama."
Fathir menutup ponselnya dengan kesal.

"Uhmmm pangeran... jangan tinggalin Riska... Uhmmm," desah Riska sembari kedua tangannya
menggapai-nggapai udara. Masih dengan mata terpejam, ia tersenyum lalu tertawa begitu riang.

"Nih cewek macam kerasukan jin ajah. Udah direndam air juga nggak mempan."

Fathir akhirnya mengangkat Riska dari bak mandi, membalut tubuhnya dengan handuk seperti membungkus gorengan dengan kertas koran–asal-asalan yang penting kebungkus. Susah payah ia menekan gejolak dalam dirinya agar tidak terpancing, Fathir mengakui sekarang bahwa tubuh Riska benar-benar indah.

"Cukup!" perintahnya dalam hati karena ini bukan saat yang tepat.

"Ahh, Pangeran jangan tinggalin Riska!" teriaknya begitu Fathir menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Baru saja melangkahkan kakinya manjauhi perempuan itu, Fathir tiba-tiba di peluk dari belakang.

"Pangeran, pangeranku." Riska meracau sambil menenggelamkan mukanya di punggung Fathir yang polos.

"Ris, sadar woy!" teriak Fathir kemudian berbalik untuk melepaskan pelukan Riska yang semakin erat.

"Hmmmm," Riska hanya menggumam tak mau melepaskan pelukannya.
Fathir sudah kehabisan cara maka ia dorong tubuh Riska hingga berbaring ke tempat tidur, Riska memang melepaskan pelukannya, tapi kedua tangannya yang sejenak bebas itu malah menarik kepala Fathir tepat di wajahnya.

Fathir merasa aliran darah di jantungnya berhenti sesaat. Dia mengamati lekat-lekat wajah Riska yang selama ini tidak pernah ia kira akan begitu menarik: bulu lentiknya begitu pas membingkai kedua bola matanya yang sewarna smoky topaz, bintik-bintik freckles di area hidungnya yang mancung dengan ujung membulat yang bikin gemas menambah kesan memikat
serta bibir penuhnya yang sedikit terbuka, sungguh terlihat seperti appetizer yang menggoda. Deskripsi wajah Riska pun langsung terpatri di otaknya.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang