56. Obat-obatan

4.6K 209 12
                                    

------
Jeje menyilangkan kaki, mulut mungilnya dengan indah menyesap bibir gelas yang kurang seperempatnya berisi cairan berwarna pekat. Ia menoleh ke arah Fathir yang masih terdiam sambil menatap jendela.

"Hun. Kita coba lagi pelan-pelan ya."   
Bisiknya lembut. Kuku jemarinya yang berhias kuteks hijau, menelusuri sekitar wajah Fathir lalu berhenti sejenak di bibirnya yang diam mengerat. Jeje menarik dagu pria itu menghadapnya, menyambutnya dengan senyuman menggoda.

Senyuman itu berbeda, senyum yang tak pernah Fathir lihat sebelumnya.   
"Je, kamu sekarang berubah atau aku yang nggak sadar?"   
Fathir akhirnya membuka mulut.

"Aku nggak pernah berubah hun."   
Jeje bangkit dari duduknya, menempatkan kedua tangannya di sandaran sofa yang diduduki Fathir tepat di hadapannya.   

Segaris tipis merah muda yang tak kentara tertarik malu-malu di kedua sudutnya. Fathir menatapnya lekat, senyum yang harusnya bisa meluluh lantakkan hatinya kini seperti ejekan yang bersembunyi di balik pesona parasnya.

"Pas kamu di luar negeri, pernah nggak sekali ajah mikirin aku?"   
Fathir tak mengalihkan tatapannya, berusaha menelisik kilatan di kedua mata perempuan yang wajahnya kini hanya berjarak sejengkal di depannya.

"Kamu kok masih nanya kayak ginian? Kamu pasti udah tau jawabannya." Jeje menarik wajahnya menjauh menggantikan kedua kakinya yang sejak tadi seolah menyudutkan tubuhnya itu, untuk akhirnya mendarat di pangkuan Fathir. Jeje membuka tali kimono satinnya memperlihatkan shelf bra berwarna senada–hijau kumala.   
Ia raih tangan Fathir untuk menulusuri belahan dadanya.   
Jeje kemudian tertawa geli, tawa asing yang tak nyaman di telinga Fathir.

"Kamu bener-bener udah berubah."   
Fathir menarik kembali tangannya lalu beranjak dari duduknya, membuat perempuan yang berada di pangkuannya ikut berdiri.

Jeje kembali meraih kedua tangan Fathir, melingkarkannya di pinggangnya dan berbisik,   
"Sekarang aku pengen liat udah sejauh mana kerja istri bayaran kamu?"

Fathir mendorongnya lagi, menatap tak percaya mimik yang seolah mengejeknya. Bukan support seperti yang ia dapat beberapa tahun lalu.
"Aku bakal buktiin sekarang."   
Fathir mendesis ke telinga Jeje membuat helaian rambut perempuan itu menyapu lembut pipinya.

"Oke."   
Jeje dengan luwes kembali memainkan geliat tubuhnya di hadapan Fathir.   
Kedua lengannya melingkar ke leher Fathir berusaha menarik wajahnya ke bawah—menghadapnya.

Fathir tersulut bukan karena hasrat tapi karena harga diri, ia lekas menyeret Jeje ke tempat tidur dan di sanalah ia kembali merasakan kecemasan itu, napasnya mulai menyesak dan kepalanya pening.

Ia tak bisa seperti ini. Lalu bagaimana kehidupan rumah tangganya kelak bersama Jeje kalau terus seperti ini. Sebelum ia malah muntah di tempat tidur, Fathir bangkit dan melesat ke kamar mandi. Membiarkan Jeje dengan berbagai asumsinya.
Fathir merasa ini bukan tempatnya, ia ingin berlari dan bersembunyi. Ia kembali memandangi cermin, apa yang salah dengan dirinya?

"Hun. Aku bisa temenin kamu ke psikiater sekarang." Jeje berkata di balik pintu. Intonasinya datar tak tampak mengejek.

Fathir menghela napas, ia memasukkan kembali obat yang akan ia tenggak habis. Pikirannya kacau. Sudah lama ia tak kontrol. Ia merasa sudah bisa mengatasinya sendiri selama ini, namun kedatangan Jeje yang tiba-tiba dan saat hubungan itu kembali ingin ia bangun, kecemasan kembali menerornya perlahan-lahan.

"Aku nggak pa-pa kok." Fathir membuka pintu dan memaksakan senyum.

"Aku serius, mending kita sekarang ketemu dokter." Jeje berkeras.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang