29. Keputusan

3.9K 205 2
                                    


Dari balik kaca jendela kamar rumah sakit, Fathir menatap keluar-ke arah taman dengan air mancurnya.
Opa di sebelahnya tampak tertidur nyenyak. Kondisinya terlihat berangsur membaik, ia tak memerlukankan lagi Oxygen mask sebagai bantuan pernapasan.

Pikiran Fathir menerawang, hati kecilnya mulai menyangsikan keberadaannya. Posisinya dalam keluarga yang menjadikan dia sebagai satu-satunya pewaris keluarga kadang menyulitkannya, ia jadi sedikit menyesal terlahir sebagai anak tunggal. Beban tanggung jawab itu semakin hari terasa semakin berat. Mungkin beberapa tahun yang lalu dia masih bisa bersikap egois dengan meninggalkan keluarganya ke singapura, meski di sana ia juga tak lepas dari perannya mengurus bisnis keluarga.

Sekarang ketika melihat kondisi opanya yang masih dalam masa rehabilitasi medik, ia jadi melepaskan egonya satu persatu dan salah satunya adalah permintaan opa agar dirinya menikah secepatnya.

"Jap. Ke sini bentar."
Maminya melongokkan kepala dari pintu yang sedikit terbuka, raut lelah jelas membayang di wajah yang biasanya tampak selalu berseri-seri.

Fathir memutus lamunannya. Mengikuti maminya ke sebuah ruang tamu kecil di depan kamar pasien. Di sana sudah duduk dua orang perwakilan dari keluarga inti, seseorang yang jarang terlihat karena menangani bisnis di luar negeri dan seorang lagi yang memiliki hubungan darah dengannya. Mereka adalah dua keluarga besar yang menciptakan raksasa bisnis turun temurun. Seseorang yang biasa di panggil Fathir Om adalah Hasan-anak dari pihak neneknya-Normala Jibran, dan seorang lagi adalah abinya. Seperti yang ia ketahui pewaris yang menjalankan bisnis keluarga dipilih dari pihak kakeknya-Dewo Anggawarsito.

"He. Japa." sapa si om begitu Fathir membuka pintu.

"Apa kabar om?" Fathir menjabatnya, si om membalas dengan menepuk bahunya sekilas.

"Baik." ucapnya singkat lalu duduk.

Melihat situasi yang sedikit menegang Fathir mencoba melontarkan basa-basinya. "Khaila gimana kabarnya Om?"

"Baik, dia sering nanyain kamu. Main-main sana ke rumah. Si kembar juga kan pengen deket sama omnya."
Hasan melihat sekeliling mungkin dirinya juga merasa situasinya menegang. Sementara orangtua Fathir duduk mengawasinya. Menunggu dirinya yang memulai atau mereka yang memutuskannya. Fathir menelan ludah karena dia juga tidak bisa terus menerus berbasa-basi hanya untuk menunda pembicaraan penting mereka.

Akhirnya abi yang memutus dengan sebuah kalimat yang cukup membuatnya tertegun.
"Ikuti apa kata opa atau kamu keluar dari keluarga."

Mereka menoleh ke arah abinya. Raut keterkejutan tak bisa disembunyikan termasuk dirinya sendiri yang tercekat di tempat.

"Aku butuh waktu buat mikir soal itu Bi."

"Kamu punya waktu tapi opa udah nggak punya waktu, kamu tau kan vonis hidupnya nggak lama lagi. Terus kalo kamu nggak cepet-cepet kita yang bakal mutusin. Kalo kamu keberatan kamu bisa keluar dari nama keluarga dan bebas mau apa aja dan seterusnya bisnis ini akan dialihkan ke anak Om Hasan!"

"Tapi Bi, khaila kan masih SMA." sergah Fathir tak percaya bahwa abinya akan bertindak sejauh itu. Seakan dirinya tidak becus dan tak bisa diandalkan sebagai pewaris terakhir.

"Bukan Khaila tapi suaminya Rani." putus abinya membuat mereka yang di sana kembali menatapnya tak percaya.
Suaminya Rani adalah di luar keluarga inti, bukan hanya diluar keluarga inti-Satria adalah menantu jadi hal itu bukan hal lumrah untuk mereka. Atau ini adalah tanda hilangnya kepercayaan keluarga yang sudah di berikan kepadanya.

"Sam...." bisik maminya masih dengan mimik tak percaya.

"Ini udah keputusan!"

"Sam, tunggu jangan buru-buru dulu. Japa juga pasti butuh waktu. Lagipula di keluarga neneknya cuma 2 orang perempuan, Satria sendiri menantu. Kami sebetulnya tidak masalah hanya saja hal ini perlu dibicarakan lebih lanjut."

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang