22. Risau

5.1K 249 3
                                    


Mungkin tak mudah melupakan masa lalunya di tempat ini—di sebuah studio foto bertingkat, dirinya dan kedua temannya—Bagas dan Aryo sering menghabiskan waktu bersama dan seorang gadis berambut cepak yang tak pernah lepas dari bayangan Fathir.

Kehidupan masa lalunya, segala yang bergolak maupun bergelora di hidupnya, gadis itu tahu dan paham semuanya. Kini di tempat yang sama kala dirinya masih remaja sering bercengkrama dan sesekali bercanda tentang foto prewedding mereka di studio ini namun, jauh sebelum hal itu terjadi saat seorang perempuan yang dicintainya itu tak sanggup untuk ia sentuh, seiring berjalannya waktu perempuan itu pun seolah hilang ditelan bumi hanya saja ia tak mau diam membiarkannya.

"Harusnya lu tau kalo Jeje di Jakarta kemarin. Masak lu nggak tau kalo ada soft opening butiknya di Senayan."
Fathir menyandarkan tubuhnya di sofa ruang make up. Sekali lagi mengamati sekelilingnya, betapa waktu berjalan begitu cepat.

"Gue fotografer bukan wartawan,"
ucap Bagas menggeser payung reflektornya ke sudut ruangan.

"Lu bener-bener nggak bisa move on ya. Dikenalin model-model gue juga nggak mau."

"Gue pikir kita udah temenan ribuan taun, eh lu masih nggak ngerti juga."

"Iya gue ngerti, harusnya lu realistis dong pa lagi tuh cewek di luar negeri karirnya meroket, kayaknya udah asik sama dunianya sendiri terus nggak pernah hubungin lu lagi."

"Ini soal hati. Gue yakin dia bakal balik."

"Sampe kapan? Tuh nyokap lu sampe nanyain ke kita mulu buat nyomblangin lu."
Bagas menggeser sebuah kursi kayu agar menghadapnya.

"Nih liat, cewek-cewek cakep masak nggak da yang nyantol, paling nggak lu cobain dikit kek itung-itung buat test." Bagas menyodorkan tumpukan foto perempuan-perempuan seksi yang tentu saja bisa ditengarai sebagai model-modelnya.

"Nggak minat gue." Fathir mendorong tumpukan foto itu menjauh, matanya menjelajahi ruangan yang tidak banyak berubah sejak awal di bangunnya studio foto tersebut, lebih dari 10 tahun yang lalu saat mereka baru lulus SMA.

"Lu nggak pengen pindah ke tempat yang lebih gede?"

"Nggak. Di sini banyak memori nyelip." Bagas menerawang lalu menjatuhkan pandangannya pada Fathir yang juga seolah ikut terbuai masa. "Kenangan lu juga sama tuh cewek pastinya ya gak?"

Fathir terdiam matanya menumpu sebuah kalender dinding yang menampilkan seorang model blesteran berkacamata sembari memegang beberapa buku.
Tahu ke mana arah mata Fathir tertuju Bagas pun tersenyum simpul.

"Kenapa? Lu tertarik sama model yang di kalender itu?"

"Kok dia bisa jadi model lu?"

"Hahaha karyawan luh tuh di gaji berapa sih? Iseng-iseng gue nawarin dia jadi model kalender gituan mau ajah dia."

"Lu ngerjain dia?!"
seru Fathir sedikit tak terima, entahlah hanya saja ia tak suka ada orang yang mengusik atau sekedar iseng padanya.

"Eit tenang! Beneran lu nggak da apa-apa sama dia?" pancing Bagas begitu melihat raut gusar kawannya. "Gue nggak percaya lu nggak apa-apain dia malem itu."

"Diem lu, dia karyawan di kantor. Gue nggak suka kalo ada yang macem-macem sama orang gue."

"Ngeles ajah lu. Mainin virtual masih? Segitunya lu kalo setia? Cobain dikit napa tuh cewek? Lagian kayaknya dia butuh duit."

Fathir bangkit menyambar jaketnya, melangkah begitu saja melewati Bagas yang sedikit tak percaya akan reaksinya.

"Balik dulu gue."

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang