38. Berkelahi

4.4K 197 3
                                    


"Lu coba-coba buat gerak sendiri? Berani banget lu ya!" Dimas medekat. Dua orang lainnya berada di belakangnya.

Riska tahu sampai mana kekuatannya dan melawan 3 orang sekaligus sungguh mustahil. Lagi pula dia bukan petarung, ia hanya bisa beladiri untuk pertahanan bukan untuk melawan, tapi kali ini mungkin bisa ia coba dengan risiko yang sudah di depan mata.

Dengan sekali tarik Dimas berhasil  mendapatkan tas tangannya yang berisi sisa uang taruhan.

"Liat? Lu pernah bilang nggak punya duit Ha?!" Dia mengacungkan tasnya lalu melempar ke salah seorang pria di belakang Riska. Kini ia mendekat dan menarik tubuh Riska, wajah mereka sejajar. Dimas mendesis dan tersenyum. "Gue pengen liat siapa sekarang yang bisa nyelametin elu?"

Riska sudah mempersiapkan ini, ia baca pergerakan lawan di belakang melalui ekor matanya. Kaki—Riska ingat kelemahan Dimas saat ia menerobos kamarnya, mungkin bekerja kali ini. Riska merunduk secepat yang ia bisa menjangkau kaki Dimas tanpa disadari pemiliknya. Ia memang berhasil menjatuhkan Dimas, itu sudah sangat luar biasa hanya saja ia tak tahu dua orang di belakangnya sudah menarik Riska berdiri, dua lengannya ditenteng. Dimas melangkah kembali mendekatinya. Kemurkaan membayang jelas di matanya.

Riska tahu ini akan terjadi. Berusaha melepaskan diri hanya membuat mereka semakin menikmati permainan ini, maka Riska membuat sebuah tawaran yang terdengar konyol karena hanya itu yang sempat terlintas di otaknya. "Lawan gue satu-satu, jangan main keroyok. Lu gak malu gue cewek sendiri di sini?"

"Kita sukanya main keroyok." Dimas meraih dagunya. "Lu udah bohongin kita, utang lu masih numpuk. Sekarang malah berani main belakang buat nemuin Esa."

"Gue tantangin lu, jangan bacot!"
Riska mendelik ke arahnya, tak gentar sedikit pun mendekati bibir neraka yang semakin menjilati lehernya. Ia tahu akan jatuh. Setidaknya ia mencoba bagaimanapun akhirnya.

Dimas terlihat mendidih, ia tarik tubuh Riska, melepasnya dari cengkraman kedua kawannya. Tamparan yang cukup keras mendarat di pipi Riska hingga membuatnya mundur beberapa langkah. Tak ia sia-siakan kesempatan ini. Dirinya yang sesaat bebas, melaju untuk menendang kemaluan Dimas keras-keras. Pergerakannya semakin tak terkendali, Riska memang tak paham soal bela diri, hanya titik rawan yang ia pelajari. Sekarang di dunia seperti ini hal itu jadi berguna tidak hanya jadi serial televisi.

Seorang kawan Dimas menjatuhkannya. Mereka bertiga berjongkok dan tersenyum bengis. Riska sudah tak bisa memohon lagi, baginya keberuntungan seakan sudah enggan berpihak. Kesialan adalah wujud lain dirinya. Mungkin kutukan. Maka yang bisa ia lakukan sekarang adalah bertahan mati-matian. Ia renggut pasir dengan telapaknya yang bebas. Melemparnya ke muka Dimas tanpa sempat dibendung. Dimas terbatuk-batuk. Kedua kawannya terlihat semakin beringas, berusaha menarik lepas pakaian Riska. Apa lagi yang bisa dia lakukan? Seorang perempuan dihajar 3 orang lelaki? Atau lebih tepatnya dinikmati? Alam kembali tak berpihak rupanya.

"Gue sumpahin lu pada mati habis ini!" Teriak Riska. Ia sudah tidak bisa merasakan ketakutan karena hanya amarah yang menyisa dan sekelumit kekecewaan karena jalan menuju akhir perjuangannya tak tampak semulus yang ia kira.

"Eh. Itu mereka!"

Riska mendengar langkah kaki yang bergerak ke arahnya.
Apa lagi ini? Kawanannya Dimas lagi? Mereka sepertinya akan berpesta. Apa yang harus ia lakukan?

"Gue mau bikin kesepakatan. Lepasin gue. Gue bisa ngasih lu berapapun."

"Lu pikir Gue percaya?"
Dimas dan dua orang lainnya berdiri, ia lirik ke belakang mungkin mengira komplotan mereka namun, sayangnya tidak.

"Edwin?!" pekik Riska tak percaya melihat kemunculan Edwin dan seorang pria yang ia kenal. " Ngapain lu bawa dia ke sini?"

"Dia nyariin Mbak tadi di warung."

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang