52. Bertandang ke apartemen Fathir

4.5K 211 5
                                    


......

"Lumayan keren." Riska berdecak kagum sambil mengelilingi ruangan.
Rantang yang ia bawa langsung tahu ke mana akan singgah-sebuah dapur tanpa partisi dengan meja bar kecil di depannya. Ia langsung menghambur ke sana dan mengamati berbagai koleksi minuman yang mengisi sepanjang rak kayu, di sebelahnya berdiri lemari kecil berpintu kaca yang juga menyimpan aneka botol miras.

"Pantesan lu kagak mau pulang ke rumah. Biar nggak besar-besar amat di sini kayaknya lebih tenang." Riska manggut-manggut masih mengamati sekelilingnya.

"Bukannya lu lagi di Depok?" Fathir akhirnya buka suara.

"Barusan balik terus di suruh mami nganterin ini," tunjuk Riska pada rantang yang kini terongok di depannya. "Hehehe udah kayak tahanan ajah macam dikirim makan segala," tambahnya cengengesan.

"Lu makan ajah, gue udah kenyang," timpal Fathir yang kini menyelonjorkan diri di sofa lalu menonton saluran favoritnya.

"Beneran? Wah Rendang!" pekiknya. "Gue udah nebak nih dari awal."

"Demen lu ma Rendang?"

"Favorit gue," jelas Riska sembari menyiapkan piring.

"Jap. Sumpah ini enak banget."

"Iyah, masakan mami emang enak." jawab Fathir terdengar ogah-ogahan.

"Jap?"

"Apaan sih?"

"Lu di kulkas kagak ada apa pencuci mulut gitu? Masak isinya bir doang."

"Gue nggak suka ngemil."

"Yeh beda, gue tanya pencuci mulut, kan nggak harus cemilan," sebut Riska tak terima dengan kondisi lemari es di depannya. Ternyata ia baru sadar kenapa maminya sampai menyuruh mengantar makanan.

Riska mengambil piringnya lalu menghampiri Fathir yang merebahkan diri sambil menopang sisi wajahnya menatap layar televisi. Ia menyenggol kaki pria itu agar bergeser.
"Kenapa sih nggak pulang?"

"Oh jadi lu ke sini emang sengaja. Balik sono, bilang sama mami, gue ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal." Fathir bangun kemudian mendorong punggungnya.

"Nggak mau. Kalo lu nggak balik, gue mau tidur di sini ajah."
Riska teringat perkataan mami yang menegaskan dirinya untuk tidak usah pulang kalau tidak bisa membawa Fathir kembali.

"Enak ajah lu." Fathir bangkit menuju lemari es, membuka sekaleng bir kemudian menyesapnya.

Riska mengekornya. "Jap, semalem ajah gue nginep sini. Lu kan udah pernah gue ijinin nginep di kosan gue."

Fathir berbalik tampak menimbang-nimbang perkataan Riska. "Hmmm." akhirnya ia mengangguk.

"Tenang ajah gue nggak bakal ganggu lu, gue bisa tidur di sofa." Riska sudah membayangkan berleha-leha sembari menonton tv di sana dan mengisi deposit akun-akun judinya. Wah betapa hidup ini indah.

"Nggak, lu tidur sama gue di dalem." pungkas Fathir beralih ke televisi dan mematikannya.

"Kenapa?" tanya Riska hati-hati.

"Pokoknya lu tidur sama gue."

"Gue ngorok Jap."

"Kalo lu ngorok gue bekep ama mulut."

Riska pasrah lagi mengikuti kemauan bosnya.

......
Kamar yang dimaksud Fathir lumayan besar dengan ranjang modern berkelas hotel bintang lima. Di atas ranjang terpampang sebuah lukisan mozaik sepasang wajah lelaki dan perempuan, Riska tak bisa memastikan dengan jelas wajah si perempuan-mungkin pacar Fathir, batinnya. Ia beranjak ke gorden yang setengah terbuka memerlihatkan balkon kecil dengan meja kursi membelakanginya. "Wah enak ya di sini anginnya seger, sepi lagi."
"Jap, sebenernya gue nggak nyalahin juga sih kalo lu betah di sini, kadang emang kita butuh waktu sendiri biar nggak-" Riska menoleh karena tak mendengar pergerakan apapun.

"Japa?!" teriak Riska.

"Hmmm," sahutnya dari dalam kamar mandi.

Riska beralih ke tempat tidur, dan duduk di sana sembari tetap memandangi sekitarnya. Lama-lama ia sadar bahwa ada yang berbeda, Fathir mendominasi kamarnya dengan warna hijau, sprei dan dekorasi seakan ikut terpulas dengan dindingnya yang juga berwarna senada namun, ia cukup pintar dengan bermain gradasi warna sehingga tak terlalu mencolok dari ruangan utama yang bernuansa monokrom.

Riska menggosok kasur yang ia duduki, terasa lebih lembut dari yang di rumah, dan baunya seperti lain, ia lebih suka bau kasur Fathir yang di rumah, baunya lebih kuat, yang di sini baunya seperti sudah membaur dengan bau lain-bau feminin. Mata Riska tak sengaja mendarat pada nakas di sebelah lampu dinding, di atasnya tertata rapi kosmetik dan alat make up cewek, sebuah bando kain dan kacamata hitam lebar. Ia lalu berdiri, sadar bahwa di sebelah nakas ada sebuah koper yang ditidurkan. Semua itu tampaknya milik seorang perempuan.

"Apaan?" tanya Fathir begitu ia keluar dari kamar mandi.

"Punya pacar lu?" tunjuk Riska pada koper dan barang-barang diatas nakas.

"Hum. Barusan pulang," jawabnya santai.

"Wah malam yang panas rupanya, pantesan kemarin milih balik ke sini." Kedua lengan Riska merentang seiring dengan tubuhnya yang mendarat telentang di tengah-tengah kasur.

"Sok tau lu." Fathir mendorongnya, agar memberinya tempat.

"Jap. Jangan lupa transfer ya?"

Fathir tak menjawab, ia tampak mengendus-endus tubuhnya. "Lu mandi sana."

"Bau banget ya?" Riska mengangkat sebelah lengan dan membaui ketiaknya. "Nggak bau."

"Buruan mandi sana, atau gue yang mandiin."

"Iyah," gerutu Riska sembari menggeret kakinya ke kamar mandi.

Sesuatu yang tergeletak di atas wastafel sedikit mengecohnya. Beberapa strip obat dan satu botol bening berisi kapsul. Ia amati lekat-lekat sambil berpikir, sakit apa Fathir? Apa jangan-jangan ini obat rangsangan agar dia berdiri? Atau ini malah milik pacarnya? Riska geleng-geleng dan memilih mengabaikannya.
Begitu ia selesai mandi dan membuka pintu, lampu sudah dimatikan, ruangan itu hanya disokong dua lentera tidur yang menyala temaram. Sementara Fathir sudah terlelap tak berselimut, kimono tidurnya sedikit terbuka memperlihatkan setengah dada telanjangnya yang bergerak naik turun.
"Kalo udah bangun ngeselin banget." gumam Riska.

" gumam Riska

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

....

•Please drop comment, vote or just say hi before the next chapter 😉

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang