61. Pergi

5.1K 214 9
                                    


Riska bangun dan memakai pakaiannya kembali. Menunduk sesaat untuk membelai wajah yang kini terlelap dengan tenang.
"Jap, mungkin setelah malam ini gue nggak bisa ketemu lu lagi. Makasih buat semuanya. Dan--"
Riska menciumnya sekilas. "Dan lu tau, gue selalu kalah dalam permainan gue sendiri. Gue sayang sama lu. Gue…cinta." Riska membisiknya kemudian melangkah pergi.

Dalam kekalutan Riska berjalan cukup jauh hingga kedua kakinya lelah dan memilih menaiki sembarang angkot. Ia turun di terminal karena sudah tak tahu ke mana lagi yang akan dituju. Begitu ia ingin menghubungi seseorang dirinya terhenyak sesaat, merogoh tas dan saku celananya, tapi tak menemukan apa-apa. Ponselnya raib entah di mana.
Riska terduduk lemas di bawah tiang lampu.

"Mau kemana neng?" begitulah serentet pertanyaan yang menghinggapinya namun, Riska hanya menggeleng.
Di saat seperti ini ia ingin pulang dan berlari ke seseorang yang siap menyambutnya, seseorang yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Zaki….

"Jap…" Riska tersekat begitu nama Fathir yang meluncur dari mulutnya. Serta merta pilu mengiris ulu hatinya. Baru saja ia pergi meninggalkan pria itu, tapi kenapa dadanya begitu sesak. Dicekam kerinduan tanpa alasan.
Ingin rasanya berada dalam pelukannya, merasa aman dan nyaman. Riska menengadah menahan genangan sudut matanya yang siap meluruh tiba-tiba.

Jap lu jahat banget sama gue, kenapa gue harus cinta sama elu sih.

Riska bangkit menghapus air matanya, lalu menaiki bus ke sembarang arah.
Selama duduk diam ia melihat berbagai pemandangan yang melintas berkelebat, sampai kendaraan tersebut berhenti sesaat di lampu merah. Riska menatap ke depan ke arah lampu lalu lintas yang di sebelahnya berdiri plang penunjuk arah. Semangat dan keberanian membanjirinya tiba-tiba. Petunjuk arah tersebut langsung mengingatkannya pada janji terakhirnya. Pertemuan dengan Mahesa yang rencananya malam ini berlangsung di pabrik baja. Riska memantapkan diri, melihat jam digital di atasnya kemudian memejam sampai perhentian terakhir.

Di keremangan cahaya bulan yang menimpa bangunan-bangunan kosong di sekelilingnya, Riska berjalan dalam diam. Setelah memeriksa sekali lagi bahwa tempat yang ia masuki tak salah, Riska mengedarkan pandang mencari di mana tepatnya pabrik baja tersebut. Suara motor yang melaju kencang di belakangnya sontak mengagetkannya tiba-tiba. Ia menepi begitu si pengendara turun.

"Lu dateng juga rupanya." Pria tersebut menghampiri Riska, dari sorot mata yang bersembunyi dalam helm dan penutup mulutnya, Riska langsung mengenalinya.

"Roni."

"Inget gue lu."

"Gue nggak punya urusan sama lu."

"Esa sama gue di pihak yang sama, kalo bukan karena si karina sialan itu, mungkin kita masih bisa icip duit-duit yang lu bawa. Tapi gue beneran nggak nyangka lu masih mau dateng ke sini."

Roni mendekatinya, membiarkan mesin motornya tetap menyala.
"Bareng gue nemuin Esa atau lu jalan kaki terserah."

Riska mengangguk tanpa jawaban sepatah pun dari mulutnya.

Dalam sebuah ruangan yang mirip gudang bawah tanah Riska masuk bersama Roni yang berjalan di depannya. Di sana ada dua kelompok manusia yang mengatasnakaman diri mereka penjudi sejati kelas teri. Kelompok Mahesa yang terdiri dari pria-pria buncit tua dan kelompok Roni yang berisi pemuda-pemuda dengan mulut tak beradabnya.

"Wah, bawa cewek cuma satu. Kasian dia digilir berapa orang ntar nih." teriak seorang cowok di kelompok Roni yang berambut keriting kumal.

"Gue mau make dia duluan Ron."

"Buset, blasteran mukanya. Buat gue dulu Ron."

Begitulah kalimat-kalimat yang berdengung di sekitar Riska. Ia sadar keputusannya menemui Mahesa kali ini penuh risiko, tak ada Karina yang mungkin bisa ia andalkan sebagai jalan keluar satu-satunya. Semua sepertinya akan berpesta pora. Mungkin ini hari terakhirnya. Riska mengedarkan pandang mencari sosok yang paling penting saat ini.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang