54. Penyelidikan

Mulai dari awal
                                    

Opa menengadah, tampak kilatan di matanya.
"Lu suruh Febri ngurusin ini sampe tuntas. Gua masih curiga hubungan dia sama si Japa. Gua cuma pengen mastiin. Usut semua ampe gak sisa!"

Seakan titah sang ayah bersambut dengan pemikirannya, abi langsung mengiyakannya.
"Soal Zadokh yang kita cari, Apa Papa sekarang udah yakin anak itu yang kita cari."

"Lu pikir gua langsung percaya? Meski kakek buyut dia sama namanya kayak yang keluarga kita cari, tapi masih ada satu surat buat bukti kuatnya."

"Surat?!" kedua sorot mata abi seketika membulat di balik kacamatanya yang melorot. "Kenapa baru denger aku."

"Tapi sekarang soal surat itu gua kagak peduli lagi, umur gua nggak panjang. Gua nggak peduli si Nonik itu Zadokh yang kita cari apa kagak, gua pengen dia nemenin gua di hari terakhir gua gitu ajah."

"Loh jadi ini berhenti lagi?" abinya langsung lemas.

"Gua nggak bilang berhenti. Tetep suruh si Febri nyari tau masalah apa yang diadepin Nonik."

Mereka tak tahu bahwa ada sepasang telinga yang mendengar pembicaraan mereka sejak awal masuk ke ruang kerja.

…..

Berbekal imbalan berupa transferan yang sudah ia terima dari jasa yang cukup membuatnya menegang ketika memikirkannya kembali, Riska meninggalkan kamar apartemen  itu sebelum si pemilik bangun, menuju kampung mangga tempat kosannya yang sudah lama ia tinggali. Di sanalah di dekat gerbang kosannya, Karina sudah menunggu.

"Langsung berangkat kita?" tanya si Karina di atas motornya begitu Riska menghampiri.

"Iyah, kalo ternyata gue dapat petunjuk di mana mbah, gue udahan maen sama Esa."

Karina diam, ia meraih helm di cantolan depan lalu mengulurkan ke arah Riska.

Hari itu menjadi pencarian terkonyol selama hidupnya. Memutari dan memilah-milah tiap rumah seperti petugas sensus penduduk hanya untuk menemukan orang bernama Jamal yang tidak memilik identitas jelas kecuali reputasinya yang buruk—sebagai bandar judi. Dua orang perempuan itu akhirnya menyerah saat matahari mulai menyingsing ke barat.

Karina menepi lalu melepas helmnya "Ris, kayaknya kita udah muterin gang ini 5 kali deh."

"Gue tau bakal kayak gini."

"Masih ada satu pertemuan lagi Ris di bekas pabrik baja."

"Jauh banget?" tanya Riska mengernyit ikut melepas helmnya.

"Iyah, itu kayaknya kesempatan lu satu-satunya, tapi dia minta taruhan besar. Kalo bang Esa nggak ngasih tau, gue bisa minta tolong suami gue."

"Nggak. Nggak perlu." potong Riska , ia tak mau semua terlihat begitu mudah dan pada akhirnya ia cuma ditipu. "Minta nomer rekening lu." lanjutnya sembari meraih ponsel di saku celana.

"Eh. Buat?" ragu-ragu Karina merogoh tas kecil yang melintang di tubuhnya.

"Buruan, sebelum gue berubah pikiran."

"Iyah."

Sejumlah uang sudah masuk ke rekening bank milik Karina. Ia beberapa saat tampak terkejut. "Ini beneran? Lu nggak becanda kan?"

"Yah beneran lah, tuh dah masuk. Sekarang anterin gue balik."

"Thanks ya Ris!" serunya memeluk Riska.

"Iya-iyah."

"Ngomong-ngomong lu tinggal di mana sekarang? Kenapa pindah kos sih?"

"Tinggal ama sodara," jawabnya singkat. "Ntar lu turunin gue di pertigaan apotek kosan ya."

"Lah ngapain, gue anterin sampe rumah."

"Nggak usah!" tandas Riska tak bisa dibantah. Ia langsung menepuk bahu Karina agar segera melajukan motornya persis seperti tukang ojek.

"Ris. Gue janji bakal bantu lu." ucapan Karina tak digubrisnya. Begitu turun dari motor yang ditumpanginya Riska menepi untuk memesan ojek online semata-mata agar kondisinya saat ini yang sedang berada di rumah konglomerat tak bisa dilacak. Ia jadi teringat Dimas, dan bersyukur hari dimana Fathir menyelamatkannya menjadi hari terakhir ia berurusan dengan gerombolannya.

 Ia jadi teringat Dimas, dan bersyukur hari dimana Fathir menyelamatkannya menjadi hari terakhir ia berurusan dengan gerombolannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---------
Makasih udah baca😊

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang