35. Menyerah?

16.9K 969 20
                                    

Pak Fadli naik pitam saat Zahra menceritakan masalahnya dengan Revan. Bisa-bisanya, pria itu menyakiti anak semata wayangnya lagi. Pak Fadli menolak dan mengusir Revan saat pria itu berkunjung ke rumahnya, namun ia tidak bisa menolak saat menyangkut Meira---cucu kesayangannya. Bagaimanapun juga, Revan papanya, dia ada hak untuk bertemu buah hatinya.

Zahra masih belum pulang juga, padahal langit sudah berubah menjadi gelap. Revan pun masih setia menemani Meira bermain. Pak Fadli sampai terheran, apakah pria itu tidak ada pekerjaan? Pak Fadli tau betul, pekerjaan Revan itu banyak. Pria itu meninggalkan pekerjaannya demi mencari perhatiannya.

"Assalamualaikum."

Suara khas dari Zahra terdengar. Pak Fadli buru-buru beranjak dari kamar, menyambut kedatangan Zahra. Pak Fadli tak mau sampai Revan ada kesempatan untuk mendekati Zahra lagi. Sudah tidak ada kesempatan bagi pria itu. Kepercayaannya terhadap Revan sudah hilang.

"Wa'alaikumsalam. Baru pulang, Nak? Pasien banyak, ya, hari ini?" Pak Fadli menuntun Zahra agar duduk di sebelahnya.

"Iya, Pa." Matanya melirik mantan suaminya yang sedang memperhatikannya.

"Dia ada di sini dari kapan, Pa?" tanya Zahra.

"Dari siang tadi. Mau Papa usir kok, ya, dia itu Papanya Meira. Heran. Dia udah jadi pengangguran, ya?" jawab Pak Fadli, gibahin mantan menantu.

"Maybe. Dahlah, Pa. Zahra mau ke atas dulu." Zahra beranjak dari sofa, kemudian menapaki anak tangga sesekali melirik aktivitas mantan suaminya itu.

Zahra dan Meira pindah ke rumah Pak Fadli. Sengaja agar Revan tidak seenaknya bisa menemui dirinya. Pasti kalau ada Pak Fadli Revan agak sungkan.

Revan juga tidak mencoba menjelaskan apa-apa. Membuat Zahra berpikir kalau apa yang dikatakan oleh Karina tempo hari itu benar adanya. Kebungkaman Revan juga membuat Zahra semakin mantap dengan keputusannya untuk tidak jadi rujuk dengan Revan.

Pak Fadli berjalan mendekati Revan setelah Meira pergi menghampiri mamanya. Revan sedikit tersentak dengan kedatangan Pak Fadli.

"Revan!" panggil Pak Fadli tegas.

Revan meneguk ludahnya kasar. Sepertinya, Pak Fadli memang sangat marah dengannya. Revan tidak tau harus menjelaskannya dari mana dulu.

"Iya, Pa?" jawab Revan berusaha menetralkan ekspresi wajahnya.

"Kalau kamu tidak sungguh-sungguh dengan ucapanmu, jangan pernah menjanjikan apa-apa pada anak saya! Ucapan bualanmu itu membuat anak saya kecewa dan sakit hati!" Pak Fadli menatap Revan dengan sorot mata tegasnya.

"Dua kali, Revan! Dua kali kamu sudah menghancurkan harapan anak saya! Setelah ini, saya tidak akan membiarkan Zahra mempercayai ucapanmu lagi!" tambah Pak Fadli seraya berdiri.

"Pergilah! Sudah malam. Nanti biar saya yang ngomong sama Meira!" titah Pak Fadli.

Revan tidak bisa berucap apa-apa. Ucapan Pak Fadli benar-benar membuatnya bungkam. Kini Revan merasa sudah tidak ada kesempatan lagi untuknya. Bolehkah ia menyerah?

Fitnah Karina telah menghancurkan semuanya. Tidak ada bukti apapun untuk membuktikan bahwa ucapan wanita itu tidak benar. Kecuali, jika Karina sendiri mengakui kalau dia sudah berbohong. Tapi, mana mungkin wanita selicik Karina mau mengakui kebohongannya?

Pak Fadli menyadari ada yang salah dari Revan. Dia sedikit ragu jika Revan benar-benar melakukan kesalahan.

***
Revan duduk di kursi taman dengan tatapan kosong. Dia sedang menunggu kedatangan seseorang. Yang pasti seseorang yang bisa menjadi tempatnya berkeluh-kesah.

Revan tersentak karena sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahunya sangat keras. Revan menatapnya tajam. Dia hanya terkekeh dan duduk di sebelah Revan.

"Kusut amat! Udah diterima Zahra masih aja melow-melow. Ada apa, Sahabat? Cerita sama kawanmu ini," gurau Hendra.

Revan menghela nafas kasar. Ia meraup wajahnya frustasi. Hendra yang melihat itu merasa yakin kalau Revan ada masalah. Padahal, minggu lalu Revan baru cerita jika Zahra menerimanya lagi.

"Semuanya hancur, Dra! Gua gak tau lagi harus apa! Di satu sisi, gue pengen Zahra kembali. Tapi, di sisi lain gue capek!" keluh Revan.

"Semesta gak adil sama gue," lirih Revan.

"Kenapa? Ada masalah? Lo bikin kesalahan?"

"Ada cewek yang fitnah gue. Zahra percaya, dan seketika semuanya hancur! Zahra gak jadi rujuk sama gue, Papanya juga udah gak percaya sama gue lagi," jawab Revan.

Hendra hanya bisa menatap Revan iba. Jalan Revan untuk mendapatkan Zahra memang tidak semudah dulu. Menyangkut soal hati dan perasaan memang rumit.

"Dan lo nyerah gitu aja?" tanya Hendra.

"Gue gak tau."

"Emang cewek itu fitnah gimana? Dan siapa dia?"

"Dia bilang kalau gue dan dia tidur bareng pas di Surabaya. Gue juga gak kenal sama dia. Ketemu aja baru dua kali," jawab Revan.

"Sumpah! Gue gak pernah ngelakuin hal hina kayak gitu! Sebejat-bejatnya gua, gua gak bakal ngelakuin hal kayak gitu sama perempuan yang belum jadi istri gua!"

Hendra meletakkan tangan kirinya di pundak Revan seraya menatap pria itu sendu.

"Kali ini, gue yang bakal turun tangan!"

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang