41. Pada akhirnya ... [END]

62.2K 1.4K 52
                                    

"Papa! Mama! Lihat! Meira ranking satu lagi!" Seorang gadis dengan bangganya menunjukkan hasil dari kerja kerasnya. Gadis itu kembali menatap raport miliknya dengan mata berbinar.

Kedua orang yang dipanggil papa dan mama oleh gadis kecil itu memberikan selamat dan apresiasi kepada pencapaian anak mereka. Lulus dengan nilai yang memuaskan. Gadis kecil yang enam tahun lalu Zahra pakaikan seragam sekolah merah putih tersebut sebentar lagi akan memakai seragam putih biru.

Gadis kecil yang mereka sayangi sudah beranjak remaja. Meira tumbuh menjadi gadis yang cantik dan pintar. Kecantikannya mewarisi paras mamanya dan kepintaran seperti sang papa.

Tetesan air mata kebahagiaan membasahi pelupuk mata Zahra. Ia memeluk anaknya sangat erat.

"Anak Mama hebat!" puji Zahra pada putrinya.

"Sesuai janji Papa, kalau Meira berhasil dapat nilai yang bagus, Papa akan kasih Meira laptop," ucap Revan.

"Ye, ye, ye, ye! Makasih, Papa!"

Umurnya yang hanya bertambah, tapi sikapnya masih seperti Meira yang dulu. Gadis kecil yang polos dan sangat aktif. Meira masuk ke dalam kamarnya dengan rasa bangga dan bahagia.

Revan melihat mantan istrinya itu menunduk dengan raut wajah sedih. Revan menghampiri Zahra dan bertanya, "Ada apa? Kamu gak seneng Meira dapat nilai bagus?"

Zahra mendengus kesal. "Mana mungkin aku gak seneng! Van, aku ... aku. Ini terlalu cepat, Van."

"Apanya yang terlalu cepet?" tanya Revan. Sebenarnya, dia tau apa yang mantan istrinya itu pikirkan.

"Meira. Cepet banget gedenya. Tiga tahun lagi udah SMA. Rasanya, baru kemarin aku ngajarin dia berjalan," jawab Zahra.

Revan menghela nafas. Waktu berjalan dengan cepat. Dan dia bersyukur bisa menemani tumbuh kembang anaknya. Dia bisa mengajari anaknya banyak hal. Dia bisa meluangkan waktu bersama. Tapi, dia juga sama seperti Zahra yang belum siap melihat anaknya tambah dewasa.

"Dia masih gadis kecil. Lihat tingkahnya," ucap Revan sembari menatap pintu kamar anaknya.

"Tinggi badannya buat dia jadi kayak udah anak SMA. Nurun kamu, tuh," timpal Zahra disertai kekehan kecil.

"Kan, anak aku."

Hening menyelimuti mereka. Kemudian, mereka saling menatap, lalu tersenyum. Revan menyerahkan paper bag motif bunga mawar ke arah Zahra. Zahra menatapnya sebentar, kemudian menerimanya.

"Ini apa?" tanyanya sembari mengintip isinya.

"Buka aja."

Zahra membukanya. Sebuah gamis motif batik dan jilbab pashmina dengan warna senada dihias sedemikian rupa. Zahra tersenyum tipis. Ulang tahunnya sudah kelewat tiga hari yang lalu, tapi pria itu baru memberinya kado.

"Telat," dengusnya.

"Lebih baik telat, daripada nggak sama sekali," celetuk Revan.

"Dipakai buat acara besok," lanjut Revan.

Zahra mengernyitkan keningnya. Acara besok? Perasaan besok tidak ada acara apa-apa. Acara apa yang Revan maksud? Apa pria itu akan mengajaknya liburan?

"Acara apaan?"

"Lihat aja besok. Aku jemput kamu jam tujuh malam," ucapnya sebelum melenggang pergi.

***
Revan membawanya ke acara formal. Tiga tahun lalu, Revan membangun sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Ia membangun perusahaan itu bekerja sama dengan Hendra dan Aron.

Ya, mereka sudah berdamai dengan Aron. Pria itu juga sudah menikah satu tahun yang lalu dengan Amel. Dunia memang sempit. Sekarang Amel sedang mengandung dan sebentar lagi akan lahiran. Jodoh tidak ada yang tau. Sama halnya dengan, Revan, Zahra, Aron, dan Amel.

Zahra mencuri banyak perhatian tamu undangan.  Tidak hanya penampilannya, tapi juga pria yang berjalan di sampingnya. Bagaimana tidak, Revan sudah terkenal di dunia bisnis. Banyak orang yang tau tentang dirinya. Tak hanya parasnya yang rupawan, tapi juga keberhasilannya membangun perusahaan besar.

"Kenapa mereka lihatin aku, ya? Ada yang salah dari penampilanku?" tanya Zahra sembari meneliti penampilannya.

"Karena kamu cantik," jawab Revan.

"Gombal."

Revan terkekeh. "Beneran. Malam ini kamu cantik banget. Gak rela aku jadinya."

"Kenapa?"

"Gak rela kecantikan kamu dilihat banyak pria," jawabnya.

Zahra tersipu, sedangkan Revan tertawa kecil. Zahra terlihat menggemaskan jika sedang tersipu malu. Revan berjalan menuju ke segerombolan pria yang sedang asyik berbincang. Entah tentang wanita, tempat hiburan, ataupun bisnis.

"Hai, Bro," sapa Revan.

"Hei, Bro! Bawa siapa, nih? Istri apa masih calon?" goda salah satu diantara mereka.

"Cepetan dihalalin, Om. Keburu diambil orang. Noh, si Pak Devan nglirik mulu," celetuknya.

"Iya, Van. Devan kayaknya demen sama Zahra," sahutnya.

"Gak mungkin. Dia gak akan milih siapapun," jawab Revan dengan dengusan kesal.

Untung saja Zahra sedang mengobrol dengan istri Hendra. Kalau sampai mendengarnya, wanita itu tidak akan mau diajak ke tempat seperti ini lagi. Bisa gawat. Akan banyak perempuan yang mendekatinya.

"Kalian aneh. Sering bareng-bareng, bahkan hampir tiap hari. Tapi, hubungan kalian gak jelas,"  timpal Hendra.

"Siapa bilang gak jelas? Kita partner," balas Revan.

Baik Zahra, maupun Revan sudah berdamai dengan masa lalu. Mereka memutuskan untuk membesarkan Meira bersama-sama tanpa melibatkan perasaan. Menjadi sosok orangtua yang baik untuk Meira.  Mereka melupakan kejadian di masa lalu. Membuka lembaran baru untuk kehidupan yang lebih baik.

Mereka sering mendapatkan pertanyaan yang serupa. Mengapa tidak bersama saja? Itu memang sudah keputusan bersama. Bersama untuk membesarkan dan mendidik Meira, namun hidup di jalan masing-masing.

"Kenapa kamu gak nikah lagi?"

"Kenapa kamu gak nikah lagi?"

Pertanyaan yang sama terlontar.  Kemudian, terkekeh bersama. Pertanyaan yang sudah sering kali terlontar dan sudah mendapatkan jawabannya. Tetap saja masih menanyakannya.

"Jawabannya masih sama. Aku mau fokus sama Meira," jawab Zahra.

"Jawabanku juga masih sama. Gak ada wanita manapun yang sanggup menggantikan kamu."

"Pasangan aneh."

Zahra dan Revan memutuskan untuk tidak kembali bersama dalam artian menikah lagi, tapi mereka akan bersama dalam menjaga Meira. Mereka bukan pasangan, tapi partner.

Pak Fadli, maupun Hendra menerima keputusan mereka. Toh, yang menjalani juga mereka. Yang penting itu baik untuk bersama dan tidak melukai siapapun.

Zahra dan Revan sudah selesai. Benar-benar selesai. Perkara siapa yang salah dalam cerita ini tidak usah dipermasalahkan lagi. Mereka sudah berdamai, saling memaafkan, dan berteman baik. Hargai keputusan mereka, karena yang sudah mereka tetapkan sudah dipikirkan matang-matang.

Perpisahan yang buruk tidak selamanya menimbulkan kebencian. Saling memaafkan dan mengikhlaskan adalah kunci agar silaturahmi tetap terjaga. Tidak usah saling membenci dan menyalahkan. Allah punya rencana yang baik untuk hamba-Nya.

END.

                             ***
Author mengucapkan banyak terimakasih yang sudah mau baca dan vote cerita ini. Maaf kalo mungkin endingnya gak sesuai sama ekspetasi kalian. Author sudah berusaha memberikan yang menarik. Kalau pun gak menarik, ya, Mon maap.
Mungkin, untuk sequel masih lama. Gue mau nyelesein cerita #KAILA dulu baru mikir sequel.
Sekian dan terima gaji.

EX HUSBAND (END)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ