33. Nostalgia

12K 775 15
                                    

           Happy Reading ❤️

Bukan hanya ucapan saja, tapi memang niat berubah. Revan langsung membatalkan kerjasamanya dengan Karina. Setelah ia pikir-pikir, Karina cukup berbahaya untuk hubungannya dengan Zahra. Dia bisa menjadi racun yang kapan saja bisa menghancurkan apa yang sudah dia perjuangkan selama dua tahun belakangan ini.

Wanita itu sangat tidak sopan. Menanyakan hotel tempatnya menginap, memangnya mau apa dia? Setelah itu, Revan langsung membatalkan kerjasama begitu saja, lalu pergi tanpa sepatah kata.

Hari ini Revan akan pulang ke Jakarta. Dia akan berangkat jam satu siang nanti. Kegiatan kemarin cukup melelahkan. Sesudah selesai acara peresmiannya, Revan turut membantu membersihkan restorannya.

"Hari ini gue pulang ke Jakarta. Gue serahin resto ke elo," ucapnya pada manager yang baru saja ia rekrut.

"Siap, Pak Bos!" jawab pria yang baru beranjak dewasa itu.

"Oh, ya. Kemarin setelah Pak Bos pergi dari resto, ada cewek cantik dateng nanyain Pak Bos," lapor pria yang bernama Chandra itu.

"Siapa?" tanya Revan, hanya sekedar basa-basi. Revan itu cewek itu adalah Karina.

"Gak tau. Dia langsung pergi waktu saya bilang Pak Bos gak ada," jawab Chandra.

Revan hanya mengangguk, ia menyesap teh hangat yang sedari tadi belum dia minum. Kemudian, kembali melihat ponselnya. Mengabari Zahra agar nanti menjemputnya di Bandara.

"Naik kereta, Pak Bos?" tanya Chandra memecah keheningan.

"Nggak."

"Terus?"

"Pesawat."

"Surabaya - Jakarta naik pesawat? Emang Sultan, nih, Pak Bos," ucap Chandra takjub.

"Hm." Revan hanya berdehem.

Chandra menyengir. Pak bosnya ini emang orangnya cuek dan pendiam. Berungkali diajak ngobrol, jawabnya selalu singkat, dan malah tidak memperhatikan. Sebenarnya, Chandra belum sepenuhnya memahami sifat bosnya. Kenal saja baru seminggu. Yang hanya dia tau, pak bosnya itu duda beranak satu.

"Chan, kalo nanti cewek itu dateng lagi, bilang aja gue gak ada. Kalo dia maksa, usir dengan cara paksaan juga. Gue mau tidur di ruangan lu," ucap Revan sembari mengantongi ponselnya.

"Siap, Pak Bos!"

"Emang siapa cewek itu, ya? Jangan-jangan mantan istrinya Pak Bos? Waduh! Kemarin sempet gua godain lagi. Eh tapi, gak ada masalah juga. Cuma mantan kan?"

***
Zahra dan Meira akhirnya punya waktu untuk liburan bersama. Hanya berdua, seperti dulu. Hari ini Zahra pulang lebih awal, kebetulan hari ini pasien hanya beberapa. Zahra bahagia bisa melihat Meira bisa tertawa bahagia. Ternyata, bahagia Meira sesederhana itu.

Sepulang dari liburan, Zahra mampir ke rumah papanya. Kemarin Pak Fadli sudah pulang dari dinas. Pengen ketemu cucu kesayangan, katanya.

"Pa." Zahra mencium punggung tangan Pak Fadli.

"Cucu kesayangan, Opa. Sini, Nak!" panggil Pak Fadli pada Meira.

Meira langsung berhambur memeluk opa-nya. Zahra meletakkan paper bag yang berisi kue kesukaan Pak Fadli di meja.

Zahra rasa, ia harus mengatakan perihal keputusannya pada sang papa. Meminta pendapat, apa keputusannya itu baik atau tidak. Zahra akan mengikuti semua saran papanya. Dia tidak mau menyesal lagi karena telah menentang paman dan bibinya dulu.

"Pa," panggil Zahra pelan.

Pak Fadli menatap putrinya. Menyadari ada sesuatu penting yang akan Zahra katakan, ia pun menyuruh Meira bermain di taman belakang dengan di temani bibi.

"Ada apa, Nak?" tanya Pak Fadli memposisikan dirinya menghadap ke arah putrinya.

"Zahra sama Mas Revan ...." Zahra menggantung ucapannya, menatap Pak Fadli ragu.

"Kenapa?" Kening Pak Fadli mengernyit.

"Zahra sama Mas Revan udah balikan," ucap Zahra dengan kepala menunduk.

Pak Fadli tersenyum. Ia meraih tangan Zahra.  Keputusan tersebut memang yang terbaik. Revan sudah berubah, jadi apa yang perlu diragukan?

"Bagus dong. Kok kayaknya, Zahra gak bahagia? Itu pure keputusan kamu, atau ada yang memaksa?" tanya Pak Fadli penuh selidik.

Pak Fadli memang setuju-setuju saja kalau seandainya Zahra dan Revan balikan. Toh, Revan selama ini sudah menunjukkan perubahannya. Tapi, kalau ada unsur paksaan, justru Pak Fadli malah menentangnya. Pak Fadli tidak suka kalau anaknya dipaksa-paksa memutuskan sesuatu yang memang Zahra tidak inginkan.

"Ini keputusan Zahra sendiri, Pa. Demi kebahagiaan Meira. Tapi, yang bikin Zahra ragu itu keseriusan Mas Revan. Sampai saat ini hubungan kita masih menggantung. Mas Revan belum memberikan kepastian," jawabnya.

"Suruh Revan menghadap Papa!" titah Pak Fadli tegas.

"Mas Revan lagi ada di luar kota. Mungkin, besok pulangnya."

"Dia semakin sukses. Bakal sibuk terus. Pikirkan matang-matang!"

Seketika Pak Fadli jadi ragu dengan Revan. Takut kejadian dulu terulang kembali. Meski, Revan sudah berubah, tidak menutup kemungkinan kalau dia mengulangi kesalahannya lagi, bukan?

"Demi kebahagiaan Meira, Pa." Zahra kembali memperjelas, alasannya menerima Revan kembali adalah demi kebahagiaan putrinya.

Pak Fadli tersenyum. "Kamu persis seperti Mamamu."

"Laki-laki asal Jawa yang jatuh cinta dengan perempuan berdarah Jerman. Laki-laki yang rela manjat tembok setinggi empat meter demi bertemu dengan sang pujaan hati. Sampai-sampai jatuh, dan sampai gak bisa jalan selama tiga bulan."

Zahra menceritakan kisah cinta papa dan mamanya. Membuat Pak Fadli bernostalgia. Pak Fadli senyum-senyum sendiri mengingatnya. Gadis asal Jerman yang berhasil memikat hati seorang Fadli Bagaskara. 

"Perempuan yang membuat Pak Fadli Bagaskara gak bisa move on sampai sekarang."

Pak Fadli semakin berbunga-bunga.

   
                                 ***
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang