24. Usaha Zahra Dan Revan

13.5K 827 9
                                    

                  Happy Reading ❤️

Sejak kembalinya ke Jerman satu bulan yang lalu, kehidupan Zahra dan Meira terlihat baik-baik saja. Kini Zahra sudah membuka usaha busana. Modalnya dari uang sendiri dan ada sedikit tambahan dari Ansel. Sekarang Zahra benar-benar sibuk. Menjawab telepon Revan saja sampai tak bisa. Hanya bisa berkirim pesan. Itu lebih baik, daripada sama sekali tidak bertukar kabar.

Bisa dibilang, hubungan Revan dan Zahra kini mulai membaik. Perlahan, Zahra membuka hatinya untuk memaafkan Revan sepenuhnya. Hanya maaf? Ya. Untuk menerima Revan masuk kembali ke kehidupannya itu masih sulit.

Tidak dengan anak gadisnya itu, bahkan setiap hari ia selalu video call dengan papahnya. Tentu saja dengan ponselnya sendiri.

"Jangan terlalu memforsir diri. Nanti kamu sakit, kasihan Meira," ucap Joffy yang khawatir melihat Zahra tampak letih, tapi memaksakan untuk bekerja.

"Sebentar lagi. Nanggung," jawab Zahra masih sibuk dengan pembukuan.

Seperti biasa, jika ada waktu senggang Joffy pasti berkunjung ke rumah Zahra. Sekedar bermain dengan Meira ataupun berbincang dengan Zahra. Namun, kali ini Zahra tidak bisaa diajak ngobrol. Wanita itu sangat sibuk.

"Mamah, Meira pengen es krim," pinta Meira.

"Beli sama Daddy dulu, ya? Mamah lagi sibuk banget, Sayang," balas Zahra.

"Gak mau, Mamah! Maunya sama Mamah," tolak Meira.

Huft ....

"Oke, Meira pakai jaketnya dulu," final Zahra.

Kalau tidak dituruti, Meira akan rewel dan Zahra tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya. Mereka hanya pergi berdua, karena tadi Joffy pamit pulang.

Sesampainya di Minimarket, Zahra menggandeng tangan mungil Meira sambil berjalan memasuki Minimarket. Meira langsung menarik tangan mamahnya ketika melihat sesuatu yang dia inginkan.

"Cuma itu aja?" tanya Zahra yang melihat anaknya mengambil tiga buah es krim.

Meira menggeleng. "Apa lagi?" Meira menunjuk rak yang berisi berbagai makanan ringan.

Tanpa berkata apapun, Zahra menarik tangan  anaknya. "Banyak-banyak boleh kan, Mah?" tanya Meira dengan tatapan penuh harap.

Zahra mengangguk.

Bruk!

"Es tut uns leid," ucap Zahra ketika tak sengaja menabrak seseorang. (Maaf.)

"Zahra?"

"Lho, Arthur? Maaf, ya! Aku beneran gak sengaja nabrak kamu."

"Es ist okay." (Tidak apa-apa.)

Arthur pun mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Meira. Lalu, mengacak rambut anak itu. Meira mengerucutkan bibirnya, membuat Arthur dan Zahra terkekeh.

"Hei, Gadis Kecil! Kau mau membeli apa?" tanya Arthur yang dibalas lirikan sinis oleh Meira.

"Om, kepo!" jawab Meira ketus.

"Meira, gak boleh gitu, Sayang," tegur Zahra.

"It's okey, Zahra."

***
Hari ini Revan resmi resign dari kantor Hendra. Alasannya cuma satu, mau fokus sama bisnis kulinernya. Hendra mengerti. Lagipula, dia sudah memiliki pengganti untuk menggantikan posisi Revan. Yang tak lain adalah kekasihnya sendiri, Adela.

Revan sudah menjadi bos sekarang. Waktunya lebih luang. Lebih sering telponan dengan anaknya daripada mengurus restoran. Karena kondisi restoran miliknya sekarang nampak biasa. Kadang sepi, kadang ramai.

Yang Revan inginkan sekarang hanyalah waktu Zahra. Karena semenjak membuka usaha busana, Zahra jarang sekali punya waktu untuknya. Tak seperti awal-awal setelah kembalinya Zahra dan Meira ke Jerman.

"Kusut amat tuh muka," cibir Hendra.

Semenjak Revan punya restoran, pria yang sebentar lagi menyandang status suami itu lebih sering nongkrong di restoran Revan. Kata dia, sih, buat nenangin pikirannya karena stres dengan masalah kantornya dan menghadapi sifat cemburuan kekasihnya.

"Adela gak ngamuk lo di sini terus?" tanya Revan.

"Gak. Malah dia yang handle kerjaan gue. Ada untungnya juga, sih, ngangkat Adela jadi sekretaris gue," jawab Hendra sambil mencomot kentang goreng milik Revan.

"Katanya, pusing sama tingkahnya Adela."

"Iye. Dia rese pas gue gak sengaja deket sama perempuan lain aja. Selain itu mah aman-aman aja," balas Hendra.

"Lo sendiri, gimana? Zahra belum bisa ditelpon? Lagian, kan pas telpon Meira juga ada Zahra. Ya, walaupun Zahra sibuk sama Butik-nya, sih," imbuh Hendra, mencomot kentang goreng lagi.

"Biarin ajalah. Takut gangu gue," jawab Revan pasrah.

Hendra hanya mengangguk-angguk. Tak mau terlalu ikut campur dengan masalah mereka. Lagipula, masalahnya juga cukup rumit. Adela yang cemburuan dan mamahnya yang tak suka dengan calon istrinya itu.

"Dra, kalau restoran ini maju dan bisa buka cabang, gua bakal nyusul Zahra ke Jerman. Gue harus tau kehidupan dia di sana kayak apa. Kalo bisa, gue mau tinggal sama kerja di sana aja," ucap Revan membuat Hendra menghentikan aktivitas makannya.

"Lo yakin? Kalo cuma ke sana buat nengok, sih, gak masalah. Tapi, ini tinggal di sana, Bro! Gak mudah tinggal di Negara orang. Budaya, bahasa, makanan di sana beda," balas Hendra sedikit ngegas. Cuma sedikit kok.

"Gue bisa belajar sama Zahra. Gue juga pengen tau tentang Negara kelahiran calon istri gue," ujar Revan.

"Dih, pe-de bener lo! Emang yakin bisa dapetin hatinya Zahra lagi?" tanya Hendra meremehkan.

Tak!

"ANJIR! SINI LO, VAN!"


                            ***
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang