18. Berniat Merebut Kembali

17.7K 1K 52
                                    

                Happy Reading ❤️

"Kamu ke sini sama siapa?" tanya wanita itu.

Revan masih sibuk mengambil beberapa barang di bagasi. Mengabaikan pertanyaan dari wanita itu. Wanita yang ia anggap sebagai penghancur hidupnya. Wanita yang selalu ia salahkan atas hancurnya rumah tangganya dengan Zahra. Amel.

"Mas Revan?" Pria berusia 30 tahun itu menghela napas jengah, lalu menatap Amel tajam.

"Bukan urusan lo!" Hati Amel mencelos mendengar jawaban dari Revan. Ternyata, pria yang dulu memperlakukannya dengan manis sekarang malah membencinya.

Kejadian dulu bukan sepenuhnya salahnya, bukan? Revan juga ikut andil. Andai saja hati Revan terkunci rapat, dan tidak akan membiarkan siapapun masuk, pasti perselingkuhan itu tidak terjadi. Amel merasa Revan sangat egois. Menyalahkan dirinya tanpa introspeksi diri.

'Zahra udah melepaskan kamu, Mas Revan. Apa aku salah kalau mencoba masuk lagi di kehidupan kamu?' batinnya.

Di sisi lain. Zahra dan Meira menikmati pemandangan indah dari ujung pantai. Sembari menunggu Revan yang membawa pakaian renang Meira. Yang berenang hanyalah Revan dan Meira. Zahra hanya duduk sembari makan saja.

"Ayo, ganti baju dulu," ajak Revan pada Meira sembari meletakkan tas-tas yang ia bawa di samping Zahra.

Wanita itu pun mulai menggelar tikar, lalu mengeluarkan beberapa snack. Kemudian, memakannya. Matanya memincing saat melihat ada seorang pria yang mendekat ke arahnya. Pria itu tersenyum manis.

"Hai, Mesya!" Zahra menatap pria di depannya itu bingung. Sok akrab sekali. Kenal saja tidak. Eh, tapi tunggu---

"Rion?" tanya Zahra ragu. Takut salah manggil gitu.

"Tepat sekali!"

Zahra membulatkan matanya. Benarkah itu Rion? Tetangganya dulu. Zahra dan Rion dulu sering main bersama waktu kecil. Sayangnya, Rion harus pindah ke luar negeri. Zahra sangat sedih waktu itu. Karena Rion lah satu-satunya temen cowoknya waktu kecil.

"Ini kamu? Ya ampun! Kamu apa kabar?" Rion hanya tersenyum.

Hendak memeluk Zahra, namun Zahra dengan cepat mengindar. "Bukan muhrim." Rion meringis.

"Kamu pindah ke Indonesia lagi atau cuma nengok keluarga?" tanya Zahra sembari menyodorkan minuman ke arah Rion.

"Makasih. Aku udah pindah ke Indonesia hampir empat tahun-an lah. Cuma aku tinggalnya Semarang, gak di Jakarta. Ke Jakarta buat ngelamar pacarku," jawab Rion.

"Wah! Semoga cepet-cepet ke pelaminan, ya!" Rion mengangguk, lalu tersenyum.

"Kalau kamu? Udah nikah atau masih sendiri?" tanya Rion sembari melirik jari manis Zahra.

"Aku udah pisah," ucap Zahra sembari tersenyum kecut.

"Oh, maaf." Zahra tersenyum.

Tak lama kemudian, Revan dan Zahra sudah kembali dari kamar mandi. Kening Revan mengernyit ketika melihat Rion sedang becanda dengan Zahra. Tak ayal, ia merasa cemburu.

Keempat mata itu menatap ke arah dua orang yang berjalan menuju ke arah mereka sembari menenteng tas. Meira berlari kecil, lalu memeluk mamahnya. 

"Kenalin ini Om Rion," ucap Zahra. Meira hanya menatap Rion datar.

"Ini siapa?" tanya Rion.

"Anak Mamah sama Papah." Bukan Zahra yang menjawab, tapi Meira.

"Cantik, namanya siapa?" tanya Rion.

"Meira," jawab Revan datar.

Rion baru sadar kalau ada Revan. Ia menatap Zahra. "Mantan suami." Bukan Zahra lagi yang menjawab, melainkan Revan.

Rion merasa heran, sudah pisah tapi liburan bersama? Rion juga merasakan perubahan wajah Zahra saat melihat kedatangan Revan. Tersirat luka di dalamnya. Rion tidak tau ada masalah apa Zahra dengan mantan suaminya. Tapi Rion tau, Zahra sedang merasa tidak baik-baik saja. Dan itu karena Revan.

***
Pulang dari pantai, Revan langsung bergegas pulang ke rumah bersama Meira. Ibunya sudah mendesaknya agar Meira cepat-cepat dibawa pulang. Namun sebelum itu, seperti biasa Revan harus membelikan obat untuk keponakannya yang sedang sakit kanker.

Itu sebabnya Revan sangat khawatir saat dirinya dipecat. Siapa nanti yang akan membayar biaya pengobatan keponakannya? Ayah mereka saja tidak peduli dan entah di mana keberadaannya sekarang. Kedua keponakannya itu sama-sama memiliki penyakit. Yang memiliki penyakit kanker namanya Andini---keponakanya yang paling besar. Dan Reza yang memiliki penyakit asma.

"Nenek!" teriak Meira dengan berlari kecil sambil menenteng kantong plastik yang berisi makanan.

"Cuci Nenek!" Ibunya Revan langsung memeluk cucunya sangat erat.

"Nenek, tadi Meira sama Papah beli lele bakar, lho! Ayo, Nek. Kita makan!" cerocos Meira.

"Iya, ayo! Kakak-kakakmu juga udah nunggu kedatangan kamu.

Revan tersenyum tipis. Melihat binar kebahagiaan di mata mereka membuat Revan juga ikut bahagia. Kini ia mulai memikirkan bagaimana caranya mendapatkan hati Zahra kembali. Revan tak mau siapapun untuk menemaninya di masa tua nanti, kecuali Zahra. Hanya wanita itu yang tergambar jelas di pikirannya.

"Buk, Revan mau ke rumah Hendra dulu. Ada kerjaan yang belum Revan selesaikan," pamit Revan sembari mencium punggung tangan Ibunya.

"Iya, Nak. Hati-hati."

"Papah mau pergi?" Revan menghampiri anak semata wayangnya itu. Lalu, mengusap rambut Meira yang panjangnya sudah sampai punggung.

"Iya. Cuma sebentar kok. Meira nanti boboknya di kamar Nenek atau di kamar Papah aja, ya? Di kamar Kakak udah gak muat, oke?" Meira hanya mengangguk.

Cup!

Setelah berpamitan dengan ibu dan Meira, Revan pun menjalankan mobilnya menuju ke rumah Hendra. Atasannya itu sedari tadi menghubunginya terus-menerus. Pasti ada kerjaan yang belum Revan selesaikan. Mengingat tadi kemarin ia buru-buru pulang dan tak begitu memperhatikan kerjaannya.

                              ***
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang