10. Kembali Ke Indonesia

24.6K 1.7K 17
                                    

Happy Reading ❤️

                               *****

"Aku mau pulang ke Indonesia." Joffy langsung mengalihkan pandangannya ke arah Zahra.

Ia meletakkan boneka barbie milik Meira dan duduk di sofa. Ia menatap Zahra lekat. Zahra menghela napas pelan sembari menundukkan kepalanya, lalu sedetik kemudian mengangkat kepalanya kembali dan menatap mata cokelat Joffy.

"Papah sakit, Jop. Aku harus pulang, di sana nggak ada siapa-siapa. Ada Hendra, sih. Tapi 'kan, dia nggak bisa 24 jam selalu jagain Papah," ucap Zahra sembari menatap Joffy sendu.

"Aku ikut." Zahra menatap Joffy dengan tatapan tak percaya.

"Kamu harus ngajar, Jop," balas Zahra.

"Aku bisa cuti, Zahra. Kamu perempuan, aku nggak mau kamu kenapa-napa. Memangnya, kamu mau berapa lama di Indonesia?" Joffy menatap Zahra seolah-olah menyakinkan wanita itu.

Zahra mengangguk pertanda setuju. "Aku nggak tau, Jop. Ya, sampai Papah sembuh lah, baru aku bisa kembali ke sini," jawab Zahra.

"Aku cuma temani kamu tiga hari aja. Setelah itu, aku kembali lagi ke sini," ucap Joffy dibalas anggukan oleh Zahra.

Zahra beralih menatap Meira yang sibuk dengan mainannya. Ia menghampiri anak gadisnya itu. Meira menatap mamahnya yang sedang mengusap rambutnya. 

"Lusa kita pulang ke Indonesia. Jenguk Opa. Tapi, nanti setelah Opa sembuh, kita kembali lagi ke sini," ucap Zahra memberi pengertian kepada anak gadis semata wayangnya itu.

Meira harus diberi pengertian dulu. Kalau tidak, ia takkan mau diajak ke Jerman lagi. Zahra tidak mau hal itu terjadi. Hak asuh Meira sudah jatuh ke tangannya. Zahra pun juga tidak mau jauh dari anaknya.

"Meira bakal ketemu Papah, dong?" tanya Meira dengan mata berbinar.

"Iya. Tapi ingat, kita nanti bakal ke sini lagi," peringat Zahra.

"Iya, Mah."

"Kamu seneng bakal ketemu sama Revan?"

***
Hendra berdecak kesal. Ia tidak suka dengan kabar yang telah ia dengar. Zahra dan Meira akan pulang. Itu kabar buruk bagi Hendra. Hendra masih mau melihat penderitaan Revan. Tapi, ia juga tidak bisa menghentikan Zahra. Pak Fadli membutuhkan Zahra. Ia juga tidak bisa selalu menjaga Pak Fadli.

Ceklek!

Revan masuk ke ruangan Hendra seraya membawa dua berkas penting. Revan mengernyitkan dahinya saat melihat Hendra sedang melamun.

"Woy!"

Hendra terlonjak kaget. Ia menatap Revan kesal. "Apa?" tanya Hendra ketus.

"Tanda tangan. Ada masalah?" Hendra menggeleng sembari membuka berkas yang dibawa Revan, lalu menandatanganinya.

"Gue izin pulang. Ibu lagi sakit, keponakan gue masih sekolah. Ibu sendirian, gak ada yang jagain," ucap Revan penuh harap. Hendra hanya mengangguk dan matanya tetap fokus pada komputernya.

'Pasti ada masalah,' batin Revan.

Revan tidak mau memaksa Hendra untuk cerita. Mungkin, bosnya itu tidak ingin cerita karena menyangkut urusan pribadi yang bersifat privasi. Revan menghargai privasi Revan. Meski, ia dan Hendra berteman, tapi tetap saja Hendra adalah atasannya.

Revan pun membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya. Lalu, memasukkan ponsel dan beberapa berkas di tas kantornya. Ia pun berjalan menuju parkiran. Setelah itu, menjalankan kuda besinya dengan kecepatan sedang.

Mobil harta satu-satunya yang masih ia pertahankan. Karena bagaimanapun juga, kendaraan itu penting. Dan yang paling penting, ia bisa berhemat. Revan tak langsung pulang, ia mampir ke supermarket untuk membelikan ibunya buah jeruk. Buah kesukaan ibunya.

"Mas Revan, ya?" Revan yang merasa namanya dipanggil pun seketika menoleh.

"Eh, Bibi. Lagi belanja, ya? Papah sehat?" tanyanya hanya sekedar basa-basi.

Wanita yang memanggilnya itu adalah asisten rumah tangga di rumah papahnya Zahra. Revan dan bibi memang sudah akrab. Namun, wanita paruh baya itu sedikit lupa dengan Revan karena sudah lama tak bertemu.

"Bapak sakit, Mas," jawab Bibi dengan nada lesu.

"Lho, sakit apa? Mana nggak ada Zahra lagi," tanya Revan dengan nada khawatir.

"Jantungnya kumat, Mas. Mbak Zahra besok pulang, Mas. Tadi ngabarin saya," balas Bibi.

"Zahra pulang?" Mata Revan berbinar mendengar kabar menyenangkan itu.

"Kalau gitu, saya duluan, ya, Mas. Bapak di rumah sendirian, soalnya," pamit Bibi. Revan hanya tersenyum, lalu mengangguk.

"Kesempatan buat gue," gumamnya dengan senyuman tipis.

                            ****
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang