32. Kerjasama Dengan Karina

13.9K 803 13
                                    

Happy Reading ❤️

Jawaban dari Zahra kemarin nyatanya tidak membuat status mereka berubah. Revan tak juga memberikan kepastian. Mau dibawa kemana hubungan mereka? Revan dan Zahra sama-sama sibuk dengan pekerjaannya.

Pasien Zahra setiap harinya semakin banyak. Revan juga mau membuka cabang baru lagi di luar kota. Kemarin dia berangkat, diantar Zahra dan anak gadisnya.

Meira dititipkan sama Hendra kalau habis pulang sekolah. Hendra dan calon istrinya bahagia-bahagia saja dititipin anak kecil. Meira gak nakal dan gemesin, siapa yang bisa nolak?

"Om, Meira mau ke pantai!" seru Meira yang sedari tadi cuma bengong liatin Hendra yang sibuk dengan komputernya.

Hendra melirik arlojinya yang melingkar di pergelangan tangan. Masih jam kantor. Kerjaannya juga masih banyak. Mau manggil calon istri, tapi sepertinya dia juga sibuk.

"Ayo!" Akhirnya, Hendra mengiyakan permintaan keponakannya. Kalau ditolak, nanti Meira bisa sedih. Hendra kan jadi gak tega.

Sebelum itu, Hendra mampir ke ruangan calon istrinya terlebih dahulu. Mau pamit, sekalian nawarin.

"Sayang, aku sama Meira mau ke pantai. Mau ikut, nggak?"

Adela mendongak, menatap calon suaminya yang sedang menggandeng tangan Meira. Adela terdiam sejenak, sembari melirik kertas-kertas penting di mejanya.

"Nggak deh, Mas. Kerjaanku masih banyak. Emang kerjaan kamu udah kelar?" jawab Adela lesu.

"Belum, sih. Demi keponakan gakpapa, dah, kerjaan kagak kelar," kekeh Hendra.

Adela mendegus. "Yaudah, biar aku aja yang kerjain," ucap Adela.

"Eh? Gak usah. Itu kan, kerjaan aku. Nanti kamu kecapekan lagi," tolak Hendra.

"Gakpapa, Mas. Entar kalo kerjaan kamu gak kelar, kapan kita ke rumah Papa-nya? Ditunda mulu perasaan," gerutu Adela.

Pernikahan Hendra dan Adela memang diundur karena papanya Adela sakit. Dan hari ini rencananya mereka akan membicarakan soal acara pernikahan yang akan digelar satu bulan lagi.

"Yaudah, deh."

"Om, ayo!" rengek Meira. Sedari tadi dia diabaikan mulu.

"Eh, iya, ayo!"

"Yaudah, Sayang. Aku pergi dulu, ya!" pamit Hendra.

Adela tersenyum.

"Udah cocok jadi Papa," gumamnya.

***
Zahra dan Aron sedang makan siang di restoran milik Revan. Setelah menangani beberapa pasien, akhirnya mereka bisa mengistirahatkan tubuh. Lelah dan lapar menyerang Zahra saat melakukan pekerjaannya. Zahra makan siangnya agak telat. Hari ini pasien yang harus ia tangani lumayan banyak.

Zahra sebenarnya tidak mau mengajak Aron. Takut nanti Revan salah paham. Tapi, dia tidak punya alasan untuk menolak permintaan Aron. Dan bagaimanapun juga, Aron adalah temannya. Hanya Aron yang dekat dengannya.

"Kak Revan kemana? Gak kelihatan," tanya Aron sembari celingukan.

"Dia lagi di luar kota. Peresmian cabang baru," jawab Zahra cuek.

"Pebisnis yang sukses dia."

Zahra tak menjawab. Dia kembali memanggil pelayan untuk memesan makanan lagi. Mumpung masih ada waktu, makannya dipuas-puasin.

"Kamu mau pesen lagi?" tanya Zahra yang pandangannya tetap tertuju pada buku menu.

"Enggak," jawab Aron singkat.

"Zahra, apa sedikitpun kamu gak ada rasa sama aku?"

***
Revan sebenarnya tidak terlalu sibuk. Dia hanya memantau para pekerja yang sedang menghiasi restoran barunya untuk acara peresmian nanti. Tadi juga sempat vidio call dengan Hendra. Revan lega karena Meira tidak rewel. Tadi sempat kepikiran.

Revan pergi ke Coffee Shop. Matanya menatap fokus layar ponselnya. Dia sedang chatting dengan Zahra, Hendra, dan beberapa rekannya.

"Hai," sapa seorang wanita.

Revan mendongak. Dia melebarkan matanya saat mengetahui siapa wanita itu. Ternyata, wanita yang itu lagi. Seperti sebelumnya, Karina duduk di sebelahnya tanpa izin.

Ini Surabaya, bukan Jakarta. Kenapa wanita itu selalu ada di manapun dia berada? Mungkin, hanya kebetulan saja. Karina juga seorang pebisnis. Mungkin, lagi ada urusan bisnis di sini.

"Mbak, tolong yang sopan! Mbak duduk di sebelah gue gitu aja. Itu buat gue gak nyaman, Mbak!" sarkas Revan.

"Maaf, Mas. Tapi, gak ada meja yang kosong," balas Karina.

Revan memperhatikan sekitar. Benar saja. Semua meja penuh. Revan menghela nafas. Merasa kalah, Revan hanya diam, tak menyahuti ucapan Karina lagi.

Karina tersenyum penuh kemenangan. "Mas, boleh gak minta nomor teleponnya?" tanya Karina.

"Buat?"

"Nambah temen," jawab Karina.

"Kalo cuma urusan pribadi, gue gak mau ngasih. Beda lagi kalo urusan bisnis," sahut Revan datar.

Karina menahan kekesalannya. Lagi, lagi Revan menolaknya dan bersikap dingin. Menurutnya, Revan ini beda dari cowok lain. Dia seperti punya sifat yang setia. Karina belum tau aja apa yang pernah Revan lakukan.

"Bisnis? Sepertinya, menarik. Aku punya bisnis properti. Mau kerjasama?"

Tawaran yang menarik, batin Revan. Dia bisa membuka cabang baru lagi. Cabang-cabang restorannya hanya ada di Pulau Jawa. Revan berencana untuk membuka cabang di luar Jawa kalau sudah ada biaya. Di Kalimantan, misalnya.

"Gue mau buka cabang baru di Kalimantan. Gue butuh dana," ucap Revan.

"Usaha apa?"

"Restoran."

"Oke, aku bakal investasi," jawab Karina tanpa pikir panjang.

Revan mengeluarkan sesuatu di dalam dompetnya. Lalu, menyodorkannya ke arah Karina. Karina menerimanya dengan mata berbinar. Akhirnya, dia bisa mendapatkan nomor telepon Revan.

"Mas! Kamu nginep di hotel mana?!"


                              ***
Jangan lupa vote and comment!

EX HUSBAND (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang