Arabella 17

8.7K 812 43
                                    

Memiliki gelar sebagai seorang ketua OSIS, datang pagi adalah salah satu tugas yang wajib dilaksanakan. Sama seperti yang dilakukan Rey pagi ini, ia harus melaksanakan tugasnya memastikan bahwa tidak ada siswa yang melanggar aturan sekolah. Setelah selesai memarkirkan mobilnya, Rey segera berjalan menuju kelasnya dengan keadaan sekolah yang terbilang masih cukup sepi.

Saat ini Rey tengah celingak-celinguk mencari keberadaan Ara di dalam kelasnya, bisanya gadis itu selalu datang pagi namun nihil ia tidak menemukannya pagi ini, mungkin dia belum datang. Entah kenapa, hari tanpa melihat keberadaan Ara seperti ada yang kurang. Dimana dia? Batinnya bertanya.

Sepertinya lelaki ini melupakan sesuatu. Ia lupa kalau hari ini adalah hari pertama Ara menjalankan hukumannya. Rey segera menepuk jidatnya. Tapi tunggu, kenapa ia harus memikirkan Ara. Seharusnya ia bersyukur, tanpa kehadiran Ara di sekolah, tidak akan ada masalah yang terjadi.

Rey menghempaskan bokongnya di bangkunya, ia mengeluarkan beberapa jurnal tugas yang belum selesai ia kerjakan tadi malam.

"Rey, kok kamu ninggalin aku, sih?" tanya seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam kelas. Gadis itu segera berjalan mendekati Rey.

Rey yang tengah sibuk berkutik dengan pulpennya, beralih menatap wajah gadisnya itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Naya, Naya lah yang masuk ke dalam kelas. Ia kesal karena Rey tidak menjemputnya, dan lebih memilih berangkat sendiri daripada bersama Naya.

Rey menghela napasnya. "Tadi aku buru-buru, jadi nggak sempet buat jemput kamu."

Naya berusaha untuk tersenyum, meskipun dalam hati gadis itu ia terus saja mengumpat. Naya segera duduk di bangku yang ada di samping Rey, lalu menyenderkan kepalanya di bahu Rey dan tangannya memeluk mesra tangan kekar Rey. "Udah dong Rey, kan aku di sini. Kok kamu malah ngacangin aku sih? Aku nggak suka deh!"

Beruntung saat ini kelas masih sepi, jadi tidak ada yang melihat tindakan Naya. Apalagi Rey adalah seorang ketua OSIS, apa jadinya kalau ada yang melihatnya sedang berpacaran di sekolah. "Nay jangan kayak gitu! Ingat ini sekolah, nggak enak diliat yang lain. Lebih baik kamu pergi ke kelas kamu aja! Aku lagi sibuk, ngerjain tugas yang dikasih Pak Guntur."

Terkejut. Naya sangat terkejut akan respon yang diberikan Rey. Tanpa sepengetahuan Rey gadis itu memberikan sorotan tajam untuknya. Naya segera bangkit dari bangku yang ia tempati tadi, ia menampilkan wajah kecewa dan sengaja ia mengeluarkan air matanya. "Yaudah deh. Aku ke kelas, ya. Makasih udah diusir!" lirih Naya.

"Bukan gitu, aku nggak bermaksud buat ngusir kamu. Tapi tugas ini harus aku selesain hari ini," ucap Rey merasala bersalah. Tangannya bergerak menghapus jejak air mata di pipi Naya.

Naya segera menggeleng dan kembali tersenyum. "Iya aku ngerti kok. Semangat, ya ngerjain tugasnya. Aku balik dulu ke kelas, nanti istirahat aku ke sini lagi!" Naya segera berjalan meninggalkan kelas.

Rey menghela napas dan kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti tadi. Entah mengapa akhir-akhir ini, ia tidak merasa nyaman berada di sisi Naya.

Sepanjang koridor sekolah, meskipun mulutnya terlihat terus saja menampilkan senyuman, di hati Naya ia terus mengumpat. Ia merasa ada yang berbeda dengan perilaku Rey akhir-akhir ini, lebih tepatnya sejak kedatangan Ara. "Nggak akan gue biarin siapapun rebut Rey dari gue! Entah itu Ara, ataupun cewek lain!"

                        -ARABELLA-

Ara sejak tadi hanya duduk sambil terus menatap kosong, karena selama tiga hari ke depan ia tidak akan pergi ke sekolah. Tanpa teman rasanya kehidupannya sangat sepi. Bolehkah ia meminta tanpa harus di ambil kembali, sayangnya itu mustahil. Ara hanya berharap bahwa seluruh keluarganya bisa berkumpul, dan menjalani kehidupan normal pada umumnya. Kadang ia berpikir keras, kisah apa yang sedang di siapkan semesta untuknya. Apakah menjadi seorang sadgirl yang hidup sebatang kara, atau kisah tentang seorang psycopath girl, yang hidup dengan tujuan membalaskan dendam atas kematian kedua orangtuanya. Apapun itu, kenyataannya hanya satu. Sendiri dan kesepian, itu adalah takdir.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu, sesuatu yang masih menjadi misteri hingga saat ini. "Pak Arga pernah bilang, kalau hama itu punya anak gadis yang satu sekolah sama gue, siapa dia?" gumam Ara bermonolog.

Langsung saja Ara bangkit dari duduknya, ia tidak boleh bermalas-malasan ia harus secepatnya menyelesaikan dan memenangkan permainan ini. Ara berjalan ke arah ruang kerja Pak Arga, yang letaknya tidak begitu jauh dari kamarnya.

Ara yang melihat pintu ruangan Pak Arga tidak tertutup, gadis itu langsung masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Pak Arga yang sedang berbicara melalui telepon, langsung memutuskan sambungannya saat melihat kedatangan Ara. "Ada apa, nona? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya Pak Arga bingung.

Ara mendudukkan dirinya di salah satu kursi yang ada di ruangan itu. "Saya mau tanya sesuatu sama Pak Arga."

Pak Arga mengerutkan dahinya. "Apa yang ingin nona tanyakan?"

"Sebelumnya Pak Arga pernah bilang, kalau otak dari pembunuhan keluarga saya memiliki seorang anak gadis dan gadis itu bersekolah di sekolah yang sama dengan saya. Bagaimana mungkin pak Arga tau kalau anak gadisnya bersekolah di sekolah yang sama dengan saya, tapi tidak tau namanya."

"Begini Nona, ingat pak Arya? Dia yang telah membocorkan rahasia itu, saya berjanji untuk tidak membunuh dia, jika dia memberi informasi tentang orang yang menjadi dalang dari pembunuhan keluarga Nona. Ia hanya memberikan informasi itu saja tanpa mau menggungkap nama dan alamat mereka," jelas pak Arga.

"Jadi itu sebabnya dia dibunuh? Hanya itu saja informasi yang berhasil terkuak?" tanya Ara lagi.

"Ada satu lagi Nona. Sebelum Nona datang Arya sempat tertawa dan berkata, jika kita sedang berhadapan dengan banyak orang bukan hanya dua orang. Maka dari itu Nona harus pintar-pintar untuk menyembunyikan identitas Nona," seru Arga.

"Sial berarti secara tidak langsung dia telah memberikan informasi salah."

"Bisa dikatakan begitu Nona, dan ya ... jangan lupakan tentang kalung itu Nona, Siapa tau kalung itu bisa membantu."

Ara menepuk jidatnya sendiri. "Saya lupa tentang kalung itu," jawab Ara lalu berlalu dari hadapan Arga.

Ara berlari menuju kamarnya. Bagaimana ia bisa lupa tentang teka-teki keluarganya. Yah ... Sebuah kalung yang pernah diberikan oleh ibunya tepat usianya sepuluh tahun. Ia harus menggunakan kunci itu, untuk mengetahui rahasia apa yang disembunyikan keluarganya selama ini.

Sesampainya di kamar, Ara langsung berlari mendekati nakas tempat ia menyimpan kalung pemberian ibunya. "Gue harus nemuin itu, mungkin dengan itu gue bisa lebih muda memenangkan permainan ini."

Tanpa basa-basi lagi, Ara segera membuka satu persatu laci tersebut.  Gadis itu menghembuskan napasnya lega, akhirnya dari sekian banyak laci yang telah ia buka, di laci yang terakhir ia bisa menemukan kalungnya. Ara mengangkat kalung itu, memandang lekat hadiah terakhir yang diberikan ibunya. "Semoga ini bisa membantu!" ucapnya, lalu bergegas pergi ke kamar kedua orangtuanya.

To Be Continue....

Sorry for typo 🙏

The Mission  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang