"Udah nggak usah sok suci, kayak lu masih bocah perawan ajah. Harusnya lu udah periksa kan? Lagian gue nggak segampang itu buat tidur sama cewek."

Fathir pun melepas cengkramannya, dia kembali duduk di kursinya, sementara itu Riska terlihat mengeluarkan sesuatu dari dompetnya, lembaran uang yang ia terima sebagai tips itu, ia lemparkan begitu saja tepat di muka si pemiliknya yang tampak sedikit heran.

"Gue nggak butuh duit lu!"

Tok-Tok!

"Permisi."

Seorang petugas keamanan yang di kenali Riska bernama pak Dadang masuk, dia terlihat bingung, sambil memandang berkeliling-mungkin memastikan ada orang lain lagi di sana atau tidak.

"Seret dia keluar Pak!" perintah Fathir menunjuk ke arah Riska.

Pak Dadang masih kebingungan. Ia melangkah ragu-ragu ke depan namun, tiba-tiba dia di kagetkan oleh teriakan Riska.

"Gue bisa keluar sendiri!"

Riska keluar sambil membanting pintu dengan keras.

Kenapa duitnya gue lempar ya? Padahal kan tuh duit nggak salah apa-apa. Duh nyesel kan sekarang, mana lumayan lagi...

Riska berjalan dengan tenang melewati deretan meja kubikel, melihat sekilas beberapa rekan kerjanya yang tampak memberi isyarat 'ntar gue hubungin' atau 'ntar aja gosipnya' Mereka terlihat masih tegang selepas dari rapat barusan. Mungkin hanya segelintir yang memperlihatkan raut penasaran tak terkecuali si manusia serba ingin tahu-Sitha Rahayuningtyas.

"Sst Ris, Lu beneran dipecat?"
tanya Sitha dari balik meja Mini yang digunakannya untuk menyembunyikan diri.

"Hmmm, gue cabut duluan," sahut Riska acuh tak acuh sembari mencangklong tasnya dengan malas.

"Eh, tunggu bentar."
Sitha bangkit dari persembunyiannya sambil celingukan-memastikan seseorang yang tidak diharapkanya akan tiba-tiba keluar dari pintu yang baru saja mengeluarkan Riska dengan tampang kusut.

"Lu beneran dipecat?"
Mini ikut bangkit dari duduknya.

Riska tak menghiraukannya, ia terus melangkah tanpa menoleh sedikit pun, ia bisa mendengar teman-teman di belakangnya berbisik penasaran.

Ketika ia mencapai pintu lift, pak Dadang-si satpam yang tadi, tampak berjalan mengikutinya.

"Eh, Mbak Riska kenapa mengundurkan diri?" tanya pak Dadang, entah dia pura-pura tidak tahu setelah insiden di ruangan tadi atau dia yang memang telmi.

"Saya di pecat Pak."

"Ha!" pekiknya. "Jadi yang barusan?"

"Iya Pak," sahut Riska dengan malas.

"Ya ampun Mbak." pak Dadang geleng-geleng. "Udah nggak ada yang ngajak saya join bikin kopi lagi dong." kalimatnya terdengar penuh kekecewaan bukan simpati yang seharusnya diucapkan meski cuma basa-basi.

"Kan ada pakcik yang saban hari demen bikin kopi," sahut Riska agak sebal juga, rupanya pak Dadang cuma tidak rela Riska bukan lagi menjadi 'anggota tetap penyumbang kopi' setelah ini.

"Kalo mas Imam pelit Mbak, saya malahan yang sering beliin dia kopi. 'pake duit lu dulu.' dia bilang gitu, eh ujung-ujungnya lupa."

"Hmmm," sahut Riska sambil menekan tombol turun.

"Eh, Mbak kopi yang dulu pernah Mbak bawain yang katanya dari barista handal itu mau dong Mbak, tolong dibawain sekali-kali kalo lagi mampir ke sini."

"Eh, buset Pak! belasungkawa dikit napah, dah tau saya dipecat.
Iya kapan-kapan saya bawain kalo nggak lupa!"

Riska buru-buru masuk ketika lift terbuka, meninggalkan pak Dadang yang masih berdiri nyengir di sana.

Dunia RiskaOnde histórias criam vida. Descubra agora