Eighteen : Hati Melemah

Start from the beginning
                                    

"Karena aku suka kamu Dinanti,"

Aku tersedak. Mataku reflek melebar, mulutku perlahan terperangah mendengar pengakuan Arga yang penuh ketiba-tibaan ini. 

"Perlakuan sama perkataan aku kurang jelaskah sampai detik ini?" Tanya Arga membuat kali  ini benar-benar dibuat mati kutu.

Tunggu... apa yang sebenarnya terjadi. Apa aku sedang menghkhayal? Atau ternyata aku belum juga bangun dari mimpiku? Apa Arga diam-diam memasang kamera dan mengerjaiku? Si cabe Afrika ini bicara apa?!

"Ga lo kayaknya sekarang udah ketempelan lebih dari satu jenis jin deh, mulut lo makin ngelantur."

"Aku serius Dinanti,"

Aku meneguk ludah getir. Kucoba telisik, aku memang melihat tidak ada tanda-tanda ketidak seriusan di wajah Arga. Arga benar-benar menatapku lurus dengan suara tegasnya. Tapi seorang Arga? Laki-laki dengan mulut tajam yang pernah sampai melukaiku dengan kalimatnya? Dia? Si cabe Afrika??

"Aku benar-benar suka sama kamu Dinanti. Dari awal hati ini maunya sama kamu." Ulangnya membuatku tersadar. Sadar bahwa Arga kali ini benar tidak main-main.

"Sejak kapan? Sejak kita ketemu di Bali dan bilang ini semua takdir. Gak usah bercanda." Kataku masih berusaha mengelak.

Arga mengubah posisi duduknya. Menghadap padaku dengan ekspresi wajah yang kubilang ganteng itu. "Selama lebih dari 7 tahun," katanya persis seperti apa yang dibilang kak Gyuma tempo hari itu.

"Listen me well..." Arga mengunci pandanganku. Membuat mataku seolah tak bisa berpaling padanya.

"Aku suka sama Dinanti. Awalnya aku pikir semuanya bakal berubah setelah tujuh tahun berlalu. Saat tuhan sepertinya memang gak izinin aku buat ketemu lagi sama kamu. Tapi rencana tuhan memang gak pernah terduga," kalimatnya terhenti. Diiringi angin lembut yang tiba-tiba saja bertiup pada kami, membuat rambut-rambutku berterbangan.

"Kamu tiba-tiba aja muncul dihadapanku. Disaat aku sudah hampir menyerah. Sudah hampir mengikhlaskan. Tuhan justru mendatangkan kamu sendiri ke aku." Aku merinding. Merasakan getaran pertama kali didada yang terasa nyata. Hatiku berdebar. Dan yang paling ganjil adalah semua ini disebabkan karena Arga.

"Ga... tell me you're not serious right?"

Arga merapatkan bibir. Tubuhnya bergerak mencodong maju. Membuat jarak wajahnya dan wajahku hanya tinggal sejengkal. "Apa aku kelihatan bercanda Dinanti?"

Mataku berkedut. Hampir saja menangis kalau Arga tidak sedang dihadapanku sekarang.

Kalau sudah begini. Bagaimana bisa aku kabur balik ke Jakarta?!!!



**



"Lo kenapa sih Sya... ngelamun mulu ih dari tadi." Tanya Kak Irene setelah aku berdiam diri memandangi kolam renang dari dalam kamar hotel hampir satu jam sendiri.

"Udah ngaca belom sih lo? Kenapa balik-balik lo jadi berantakan gini. Abis ada adegan berantem lo sama Nyonya muda Nuswan tadi?" Tanya Miya juga penasaran. Walau matanya masih fokus membaca buku diatas tempat tidur.

Aku melengos pelan. Mendongak melihat langit yang kini tertutup awan mendung juga hujan. Sepertinya kali ini semesta tau aku sedang berkabung.

"Besok malam gue mau balik ke Jakarta," beritaku membuat Miya dan Kak Irene memekik hebih sekaligus kaget. "Gue mau liburan sama Nyonya Anita aja. Shopping di Amrik," kataku.

"Kok jadi ke Amerika? Lo mau menghancurkan ritual liburan antar sepupu kita?" Miya bertanya belagak kecewa. Padahal aku yakin dia tau maksudku.

"Kenapa sih? Arga ngapain lo lagi sekarang?" Tanya kak Irene lebih lembut. Duduk diambal karpet berhadapan denganku.

Aku mendesah pelan. Memijat pelipis kepala merasakan denyutan pelan kembali hadir saat mendengar nama itu disebut.

"Arga kurang hajar." Umpat ku sebal. "Harusnya dari awal gue emang gak ikut ke Bali. Harusnya dari awal gue denger kata mamah aja yang ngajak shopping ke Amrik. Kenapa gue harus ketemu si cabe Afrika lagi!!" Kesalku sudah ke ubun-ubun.

"Kenapa sih Sya? Gue tuh beneran gak nemu loh letak kebencian lo sama Arga dimana. Arga tuh cowok baik-baik, dan dia kelihatan naksir sama lo, terus masalahnya dimana?" Kak Irene menatapku bingung. Jelas dia tidak tau bagaimana sejarah ku dulu dengan Arga.

"Ah kalo ini gue nyimak aja deh. Gak ikut-ikutan," Miya menyingkir, kembali meraih buku novelnya agak menjauh dari kami.

Aku mengusap ujung hidung. Masih merasakan denyutan kecil dikepala yang membuatku pusing. Kini kepalaku bersandar pada pintu kaca balkon kamar.

"Justru karena dia naksir gue semua jadi makin runyem. Kenapa dia gak kaya dulu aja sih? Senior dengan kalimat pedasnya yang biasa caci maki gue sesuka hati?" Kataku setengah mengomel. "Kenapa dia mendadak berubah jadi sok manis gini. Pake segala ngakuin kalau hatinya buat aku. Berlagak so gentleman in front of me. No you're not!" Lanjutku mengomel didepan kak Irene. Entah kenapa aku didepan Arga tadi malah mendadak kelu tak bisa bicara sudah seperti patung. Ini semua pasti karena mata coklatnya.

"Tunggu tunggu... lo bilang apa? Caci maki? Arga pernah caci maki lo? Dia?" Kak Irene memandang ku tak percaya.

Ya, memang benar. Siapa yang percaya lelaki tampan juga berperilaku such as gentleman itu nyatanya pernah mengataiku dengan sebutan 'murahan'.

"Kak Irene gak tau kan gimana Arga pernah ngatain dan fitnah aku dulu? Sampai disini masih membekas," aku menyentuh dadaku. "Arga bahkan narik dan caci maki aku didepan banyak teman-teman sekolahku,"

Kak Irene menggeleng tak percaya. "Are you kidding me? Arga yang punya good manners itu?"

Aku mengangguk. Membuat wajah Kak Irene shock bukan main.

"Lo harus cerita sama gue," kak Irene memajukan diri siap mendengar cerita masa kelamku dengan Arga.





♡♡♡



a/n:


ASIK SEPERTINYA HABIS INI ADA NOSTALGIA LAGI.

Huhuhu mau end dwongs?










Karena Piknik Kilat  ✔ (SELESAI)Where stories live. Discover now