Dara

By nindybelarosa

1.2M 120K 7.1K

Hidup Dara terlalu biasa ... sampai akhirnya dia bertemu dengan Danu. Dalam sekejap, semua berubah dan menemp... More

1. Danu
2. Tawaran sesat
3. Dunia Danu
4. Dusta Pembawa Petaka
6. Down Payment
7. Cicilan Transaksi
8. Menginap
Menginap Part 2
9. Perjalanan "Dinas"
10
11. Terkurung seharian
12. Pendamping
13. Salah tingkah
14. pelajaran pertama
15. Pertemuan terakhir
16
17.
18. Pernikahan kilat
Bab 19. Pernikahan kilat 2
20. Pernikahan Kilat 3
21. Pernikahan kilat 4--last
22. Julia 1
23. Julia 2
24. Julia (3)
25. Mencoba meraih Danu
26. Mencoba meraih Danu (2)
27. Mencoba meraih Danu (3)
28. Resepsi 1
29. Resepsi 2
30. Resepsi 3
31. Resepsi (4)
32. Virgo_Girl?
33. Milikku. Artinya ... hanya milikku.
34. Menjijikkan!!!
35. Tidak seindah itu (1)
36. Tidak seindah itu (2)
37. Ulah Danu
38. Sayang kamu
39. Sabarnya Dara
40.
41.
42
43.
44.
45. Cara kerja Danu
46. Cara kerja Danu (2)
47. Cara Kerja Danu (3)
48.
49. Tidak ada Vicky, hanya Laras
50. Drama meja makan
51.
52. Keberpihakan abu abu
53.
54.
55
56
57
Bab Tak Berjudul 59
Part 59 yang sesungguhnya

5. Petaka Ganda

24.9K 2.2K 63
By nindybelarosa

Aku memang sesinting ini. Selalu on fire di cerita baru, cenderung susah ngelanjutin cerita lama. Maafkan aku. Yang mulai kepancing masih Singu-Sada, soalnya. Mohon bantuan support-nya, yaaaa. 

Selamat membaca.


Aku sayang kalian ....


***


Seharian Dara tidak fokus dalam bekerja. Ponselnya disita karena terpergok beberapa kali mengabaikan pembeli yang hendak membayar dan sibuk dengan ponsel itu. Dia menunggu kabar dari Lucy. Dan akibat rasa was-wasnya itu, delapan jam kerja terasa seperti berbulan-bulan. Begitu lama.

"Kenapa sih?" tanya Seno menegur saat Dara kembali melirik jam dinding.

Dara menoleh pada lelaki itu dan menggelengkan kepalanya lemah. Malas menjelaskan, juga tidak pandai berpura-pura tidak terbebani akan sesuatu. Seno masih berdiri di depan kasir, di etalase kue yang letaknya di dekat kasir, berpura-pura merapikan roti-roti di sana.

"Lo ada masalah, Ra? Tadi datangnya telat, terus muka lo agak pucat. Mau izin?"

Gelengan kepala Dara semakin kuat. Ide yang ditawarkan Seno hanya akan menambah masalahnya saja. "Apaan! Nggak ada apa-apa, kok. Bad mood pra mens doang!"

"Kayaknya ini bukan jadwal lo deh!"

Dan Dara memaki akan betapa telitinya lelaki di depannya itu. Seno terlalu tahu akan dirinya. Entah mengapa, lelaki itu dianugrahi akan kekepoan dan ingatan yang tajam. Hal yang sangat mengganggu di saat seperti ini.

"Sotoy!" Dara pun memutuskan akses Seno berbicara dengannya dengan berjalan ke samping, ke etalase yang memajang kue ulang tahun. Sama seperti Seno, berpura-pura merapikan. 

Embusan napas panjang lolos begitu jam pulang kerja pun tiba. Dara buru-buru menghampiri sang manajer, berucap maaf sekali lagi sambil memberikan alasan fiktif dan langsung membuka ponselnya dengan segera begitu diserahkan kembali. 

Mata Dara membesar. Begitu banyak panggilan tidak terjawab dan pesan baik di pesan biasa maupun aplikasi. Beberapa pesan dari Adam yang menanyakan keberadaan Lucy, dan beberapa dari ibu Dara yang tidak dibuka wanita itu karena takut akan dicecar jawaban setelah centang dua berubah warna--menjadi biru--di seberang sana. Prioritasnya adalah Dara dan nomor telepon yang besar kemungkinan adalah nomor telepon hotel sudah beberapa kali menghubunginya. Baru saja hendak menghubungi kembali nomor telepon itu, panggilan pun masuk, dari ibunya.

"Kenapa tidak dibalas? Kamu di mana? Kenapa dari tadi telepon Ibu tidak dijawab???"

Nada bicara ibunya begitu keras. Tidak biasanya. Dara pun langsung dicekam ketakutan. "Kenapa, Buk? Tadi hp Dara ditahan sama bos karena ada ... pemantauan. Ada masalah?"

"Ck! Ibu tadi bingung! Ibu hampir mau mati saking bingungnya dan kamu nggak bisa dihubungi! Mampus kita, Nak! Mampus! Adik kamu habis nabrak orang. Nabrak mobil orang kaya dan mobil itu rusak. Orangnya juga sampai di opname. Ini adik kamu masih di kantor polisi. Aduh, Dara ...."

Dara kehilangan kata-kata. Mendadak, pendengarannya mati. Jantungnya mencelos. Darahnya dingin. Dia kehilangan kemampuan untuk berkata-kata.

Satu masalah belum selesai dan masalah lain pun datang, dan terjadi pada orang-orang yang dia sayangi. Dara menangis. Reaksi bodoh yang ingin membuatnya memukul kepalanya sendiri, tetapi dia terlalu bingung. Dia mendengar ibunya berteriak-teriak, tetapi dia tidak mampu menjawab. Tubuhnya terduduk dengan kaki menekuk. Dilipatnya tangan dan menempelkan wajah di sana. 

"Astagaaa ... " Hanya itu yang bisa dia ucapkan lalu tangisnya pun menderas.

"Ra" Suara itu menginterupsi. Si manusia kepo--Seno. "Dara?"

Dara mengangkat kepalanya dan menoleh pada Seno. "No ... " adunya. "Seno, gue mesti gimana, Seno???" Isaknya kembali menderas. Dia menangis seperti anak kecil.

Seno menghampiri Dara, berjongkok di sebelah wanita itu. Tangannya menempel di pundak Dara, mengusapnya lembut. "Hey, lo bilang tadi nggak kenapa-napa. Kok, malah nangis gini? Di depan loker lagi. Lo mau jadi tontonan anak-anak?"

Dara menggelengkan kepalanya sambil mengusap air mata yang membanjiri wajahnya. "Gue ... tadi Ibu nelepon, No. Katanya adek gue yang cowok nabrak orang dan orangnya di opname. Mobil yang ditabrak mewah ... dan hancur."

"Buset! Gimana bisa adek lo yang bawa motor nabrak mobil dan mobilnya yang hancur terus orang yang bawa mobil malah opname?"

Dara menggelengkan kepalanya karena dia sendiri tidak paham. Yang jelas, ibunya tidak akan berbohong. 

"Terus, adek lo sekarang di mana?"

"Kantor polisi."

"Di?"

Tangis Dara terhenti dan dia seakan baru tersadar akan sesuatu. Dara menghubungi ibunya dan bertanya. 

"Kamu itu! Kayak nggak peduli banget sama adeknya! Kami sudah di perjalanan pulang. Ibu sudah damai dengan keluarga korban. Kamu pulang. Segera! Kita harus cari solusi untuk mencari dana sesuai yang Ibu janjikan!"

"I ... iya, Bu."

Panggilan diakhiri. Seno yang mendekatkan telinganya ke ponsel, menguping dengan terang-terangan, pun tahu kalau Dara tidak lagi perlu cemas dengan adiknya. Melainkan, pada dana yang sudah pasti tidak sedikit, yang harus dikumpulkan untuk membuat keluarga si pengendara mobil cukup puas hingga tidak akan menuntut kembali.

"Lo ... bisa pulang sendiri? Atau mau gua anterin? Atau gue pesenin ojek?" 

"Nggak. Makasih, No. Gue bisa sendiri kok." Dara menarik napas panjang lalu segera beranjak. Dia tahu, dia tidak akan menuju rumah. Untuk masalah uang, biasanya Lucy menjadi malaikat. Dia bisa melihat keadaan sahabatnya itu sekaligus mengajaknya berbicara serius jika kondisi memungkinkan. Meski untuk membayar ganti rugi pada Danu, Lucy tidak mampu, mungkin untuk ganti rugi kecelakaan ini wanita itu masih bisa.

Tak henti-henti Dara merapal doa dalam hati. Dia berjalan cepat menuju kamar tempat Lucy menginap karena mendapat kabar dari petugas hotel bahwa kondisi Lucy memang sudah membaik. Hanya saja, saat dia membuka pintu kamar tempat Lucy menginap dengan kartu slot yang dia pegang, dia menyadari masalah lain pun menunggu. Baru saja pintu itu terbuka, dia dihadapkan pada seorang pria asing dengan wajah tidak bersahabat sedang duduk di kursi tunggal, menghadap ke arah ranjang. 

Dara menenggak ludah, mematung. Hendak lari, tidak akan mungkin karena orang itu sudah melihatnya. Hendak masuk, dia takut. Lututnya sudah bergetar dan dadanya terasa sesak. Rasa ngeri membuat tubuhnya meremang saat membayangkan apa yang terjadi pada Lucy di balik tembok yang tak terlihat matanya.

"Silakan masuk, Nona. Sepertinya Anda adalah Nona Dara yang sedari tadi Nyonya Lucy agung-agungkan," ucap orang itu sarkas, dia berjalan menghampiri Dara dan menarik tangan Dara hingga maju beberapa langkah dan menutup pintu.

"Ini dia, Bos."

Dan wajah Dara seperti dikerubungi ribuan semut saat melihat Danu duduk di sebelah Dara. Wajahnya keras. Tampak penuh amarah. Di sebelah Danu, duduk pria lain yang tak kalah menyeramkan. Dara tidak paham apa yang terjadi pada Lucy. Hanya saja, wanita itu memeluk tubuhnya sambil menangis. Dia menatap Dara dengan ekspresi terluka serta meminta tolong.

Danu kemudian menyeringai pada Dara, menatap dalam ... dan lama. Membuat Dara kehilangan keberanian untuk melakukan apa pun, termasuk menarik napas. Dia tersihir pada tatapan tajam dan gelap itu. Sesaat, dia memasuki dimensi lain yang membuatnya lupa pada rasa takut dan ngerinya. 

"Jadi, gadis manis dan lugu ini sudah benar-benar sepakat?" Danu masih menatap Dara, tetapi Dara paham pertanyaan itu ditujukan ke Lucy.

"Be ... benar. Dia sudah setuju. Iya kan, Dara. Kamu--"

"Shhh!!!" Danu mendesis dengan tangan terangkat, seakan menyuruh Lucy berhenti bicara dan diam di tempat. Tatapan pria itu kini ke Lucy dan Dara pun mengambil kesempatan itu untuk bernapas dengan baik. 

"Kita tidak berniat memperlebar masalah ini, bukan?" Danu tertawa kecil lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Dara. "Jadi," Kali ini dia tampak benar-benar bertanya pada Dara, "kamu benar-benar akan menebus semua kesalahan sahabatmu ini padaku?" 

Alis Danu terangkat sebelah. Senyumnya miring, seakan mengejek. Dara yang sudah berniat membantu pun ragu. Beranikah dia terlibat lebih jauh? Dan ... bisakah dia berkata tidak padahal Lucy tampak seakan ingin mati di bawah penindasan Danu?

Dara menoleh pada Lucy yang kini mengatupkan tangannya, mengucapkan permohonan tanpa suara. Air mata wanita itu terus mengalir dan wajahnya tampak benar-benar ketakutan. Satu yang kemudian Dara sadari, sudut bibir Lucy berdarah, pun lehernya yang berbercak. Entah baru akan atau memang sudah, sahabatnya itu dilecehkan. 

Dara mengalihkan pandangan pada pria di sebelah Danu dan pria itu membalas tatapannya sambil menyeringai menggelikan. Ingin bertanya, dia tidak berani. Tetapi, dia merasa ngilu pada kemungkinan-kemungkinan yang terbayang di kepalanya.

"Aku ... aku setuju," ucapnya ragu. Suaranya bergetar. Dia tidak berani menjawab sambil menatap Danu.

"Suaramu tidak jelas, Manis. Tidak terdengar. Kalian mendengarnya?" Danu menatap kedua pria lain itu bergantian. Mereka menggelengkan kepala sembari tertawa. Membuat Dara semakin merasa terintimidasi.

"Aku setuju!" Dara kali ini berteriak ... hanya saja dengan mata tertutup. Kembali, para lelaki itu tertawa. Dara membuka matanya perlahan dan mendapati Danu kini sudah berdiri tepat di depannya.

"Ucapkan dengan sungguh-sungguh," Dia meletakkan tangan di pinggang Dara dan menarik dengan hentakan kuat hingga tubuh mereka menempel dan Dara memekik, "Sayang," ucapnya dengan penuh penekanan.

Dara menenggak ludah--lagi. Dia tidak terbiasa dengan interaksi semacam ini. Tubuh menempel erat dengan lelaki, tanpa jarak, dengan aura kelelakian yang amat terasa. Bahkan, dia bisa merasakan napas Danu yang panas menerpa wajahnya. Pria itu membuatnya ciut. Gugup. Tubuhnya men-jelly tetapi dia menahan sekuat tenaga untuk berdiri karena takut Danu akan bertambah marah pada mereka--dirinya dan Lucy.

Kepala Dara menunduk dan Danu menarik dagunya hingga mereka kembali bertatapan. 

"Ucapkan," perintah pria itu pelan. 

"A ... aku setuju," ulang Dara, mati-matian menahan agar pandangannya masih tertuju pada Danu. Meski takut, dia ingin semua ini segera berlalu.

"Setuju untuk apa? Katakan dengan jelas dan lengkap, agar tidak ada salah paham di antara kita."

"A ... setuju untuk ... menjadi penebus kesalahan Lucy."

Kini, Danu tersenyum geli. Menunjukkan ketidak puasannya pada jawaban Dara.

"Tolong, Tuan ...." Dara mulai menangis. "Aku tidak terlibat, tetapi aku bersedia membantu Lucy menebus kesalahannya. Aku tidak terbiasa pada hal seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Aku tidak mengerti bagaimana cara membuat kalian merasa puas akan jawabanku. Aku ... tidak tahu ...." 

Dara sudah bersiap pada amukan Danu karena dia bersikap kekanakan dan tidak sesuai yang pria itu harapkan. Tetapi tidak. Danu tertawa terbahak-bahak, membuat Dara menghentikan tangisnya dan menunggu reaksi Danu berikutnya dengan perasaan cemas. 

"Jangan menangis." Danu kini menghapus air mata Dara dengan kedua tangannya, lalu menggariskan telunjuknya dari mata hingga ke leher Dara. Mencengkram leher wanita itu dengan ibu jari yang bergerak seperti mengelus. Pandangan matanya berfokus di sana seperti drakula yang sedang menatap sumber makanan. "Anggap kita sudah sepakat. Kuberi waktu untuk mempersiapkan diri ... tiga hari ... setelah itu kita akan bersenang-senang." 

Pria itu kembali tersenyum miring dan mengangkat tangannya, memberi kode kepada dua lelaki tadi untuk mengikutinya melangkah keluar kamar. 

"Pastikan selaput dara itu ada saat aku memasukimu, Manis," ucap Danu yang tadinya Dara pikir sudah pergi. Ucapan terakhir sebelum pintu itu kemudian tertutup, menyisakan Dara dan Lucy. Ucapan yang membuat tubuh Dara luruh dengan perasaan yang luluh lantak.

Apa yang baru saja kusepakati?

Apa yang akan terjadi padaku?

Kenapa aku harus berususan dengan lelaki seperti itu???



NB

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
3M 152K 62
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
501K 2.8K 24
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
1M 1.9K 17
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...