Note: Sudah siap menemani perjalanan bab 23 dengan jejak vote dan komentar kalian? Yukksss kita lanjut ^ ^
^Happy Reading^
.
.
Utara keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Keenan bilang, dia ada urusan mendadak malam Minggu kemarin, makanya diganti jadi hari Minggu sore.
Tidak seperti kebanyakan cewek yang kalau mau jalan, apalagi bertemu gebetan, memakai dress, rok, atau sejenisnya. Utara malah memakai kemeja kotak-kotak merah dengan dalaman kaus putih, dipadukan dengan celana jeans. Jangan lupakan rambutnya yang dikucir ekor kuda dan beberapa helai dibiarkan membingkai tipis di wajahnya.
"Mau ke mana lo?" tanya Selatan yang rebahan di sofa sambil mencamili kuaci.
"Kepo!"
"Dih, orang cuma nanya juga. Mau ke mana?"
"Bukan urusan lo."
"Bukan urusan gue begimane, lo aja sekarang jadi tanggung jawab gue. Kalau terjadi sesuatu di luar sana gimana? Kan, berabe, apalagi lo itu ceroboh. Gue juga udah janji sama Mama buat jagain lo, jadi gue harus tau lo mau ngelayap ke mana."
Utara berdecak sebal. "Dasar cerewet! Lebay amat. Gue bukan bocah. sok-sokan ngomong tanggung jawab. Orang jomlo nggak boleh tau."
"Ngaca, woi, ngaca!"
"Sori, nih, ya, sebentar lagi gue bakal melepas status jomlo dari embrio."
Oh, sekarang Selatan tahu ke mana Utara akan pergi. Jawabannya adalah Keenan. Ini Utara yang kelewat polos atau sudah dibutakan oleh cinta? Jelas-jelas kalau dia sedang dibodohi. Sudah berapa kali Selatan memberi kode, tapi sepertinya otak Utara memang “lola”.
"Nggak usah berharap, Uta. Ntar, nggak sesuai ekspektasi, mewek-mewek lo ke gue. Kan buat susah gue aja karena harus ngehajar orang yang buat lo nangis."
Utara jadi teringat saat Neo, tetangga sekaligus teman main mereka, sering berbuat nakal pada Utara. Bahkan Utara selalu menangis dibuatnya.
Awalnya Selatan tertawa, tapi saat gadis itu tidak kunjung mendongakkan kepalanya, Selatan jadi berhenti tertawa. "Kamu kenapa menangis?" Selatan kecil berubah menjadi mode perhatian.
Bocah kecil yang ingin beranjak tujuh tahun itu ikut berjongkok, menyetarakan tubuhnya dengan seorang gadis yang menekuk wajahnya di antara dua lutut. Suara isakan kecil terdengar.
"Ada yang nakal, ya?" Ia kembali bertanya, dan memilih duduk bersila di atas rerumputan di bawah pohon cemara. Selatan kecil menolehkan kepalanya lebih dalam, memperhatikan Utara yang masih setia pada posisinya.
"Uta," panggil Selatan pelan sambil menoel-noel pundak Utara.
Utara kecil mendongak, matanya terlihat sembab. "N-Neo a-ambil permen aku," ucapnya sesegukan. Utara juga menunjukan sikutnya yang berdarah.
Bocah laki-laki itu melotot, terkejut melihat sikut kiri Utara yang terluka. "Kamu didorong lagi sama dia?"
Utara yang memakai kuncir rambut kepala kelinci itu mengangguk, masih menangis, kemudian mengusap pipinya sendiri.
"Iiih! Kan, Cuma aku aja yang boleh nakal sama kamu! Nanti aku tendang Neo." Tangan kecil bocah laki-laki itu memukul geram rumputan.
Selatan bangkit dari duduknya, menepuk singkat bokongnya yang sempat ditempeli daunan kecil. Anak laki-laki itu berlari, membuka pagar rumah Utara sambil berjinjit. Ia terus berlari, menuju rumah Neo berjarak tiga rumah dari rumah Selatan. Dari depan rumah Neo, Selatan dapat melihat kalau anak laki-laki itu tengah duduk bermain video game dengan setangkai permen lolipop di tangan kanannya. Selatan meninju tangannya ke telapak tangan kiri, geram.
"Neo!" teriaknya cempreng. "Ini, kan, punya teman aku! Kenapa kamu yang ambil?!" Selatan merebut paksa permen di tanagn kanan Neo, membuat bocah itu berdiri dengan raut kesal.
"Kenapa kamu nakal sama Uta?! Kan, cuma aku yang boleh nakal sama dia!" Selatan kecil marah, langsung mendorong tubuh Neo hingga membuat bocah lelaki itu terjatuh dengan bokong yang menghantam rerumputan di depan rumahnya.
"Aku nggak mau, ya, ada orang yang buat dia nangis selain aku!" Selatan mulai mencakar Neo, pun sebaliknya.
"Kan, aku cuma mau permennya, Uta aja yang pelit!" Neo balas mendorong Selatan hingga terjatuh.
"Kamu, ya!" Selatan bangkit, mendorong geram tubuh Neo sampai terjatuh sepenuhnya. Selatan tertawa mengejek Neo karena terjatuh dan menangis.
Neo yang merasa kesal, melempar batu yang ada di sisinya hingga tepat mengenai pelipis Selatan. Pelipisnya terluka dengan darah yang mulai keluar. Selatan kecil menangis dibuatnya, tapi anak lelaki itu tidak mau kalah. Ia maju, meninju perut Neo hingga anak itu kembali menangis.
"Kamu yang duluan!" seru Neo, mendorong Selatan.
"Kamu yang nakal duluan! Nggak boleh nakal sama Uta, kecuali aku! Aku!" Selatan menarik rambut Neo.
"Ya Allah, Selatan! Neo!" Ibu Neo terkejut, meletakan nampan berisi piring makan untuk Neo itu di atas tanah. Ia langsung bergegas menghampiri dan menghentikan pertikaian kedua anak kecil itu. Kecil-kecil tapi membuat ibunya Neo kewalahan untuk melerai.
"Udah ... Neo, udah!" lerai ibunya Neo. "Ata! Udah!"
"Dia duluan, Ma!" seru Neo.
"Dia duluan! Dia yang duluan nakal sama Uta, dorong Uta sampai sikunya berdarah!" adu Selatan ke Ibu Neo.
"Astagfirullah ...."
***
"Ata, Bunda nggak pernah ngajarin Ata buat kelahi kayak tadi." Bunda duduk di sebelah Selatan, mengobati pelipis putranya yang terluka.
"Bunda, dia duluan yang nakal. Dia dorong Uta, terus ambil permennya Uta," sahut Selatan membela diri.
"Iya, tapi Ata nggak boleh nakal kayak gitu."
Selatan menggeleng, "Ata nggak nakal Bunda."
Bunda menghela napas kecil, menatap penuh wajah putra kecilnya. "Tetap aja sayang, kamu nggak boleh mukul orang kayak tadi," ujarnya mengusap lembut pipi Selatan.
"Tapi Ata nggak nakal, Bunda," Selatan merengek.
"Iya, Ata nggak nakal, besok minta maaf, ya sama Neo," kata bunda sambil menempelkan plaster perban di pelipis kanan Selatan.
Namun, cepat Selatan menggeleng, "Nggak mau. Dia juga nggak minta maaf sama Uta, ngapain Ata minta maaf sama dia," sahut Selatan bersedekap.
Bunda tersenyum, mencubit gemas hidung putranya, "Besok kalian sama-sama minta maaf. Oke?"
"Nggak mau kalau Neo nggak minta maaf duluan ke Uta."
"Ata..." panggil bunda pelan
Selatan tetap menggeleng, "Nggak mau kalau nggak Neo duluan."
"Ata... Lihat Bunda," kata bunda meraih dagunya. "Kita minta maaf duluan, bukan berarti kita yang salah, sayang. Kita minta maaf duluan, berarti kita super hero karena berani."
Selatan berdiri. "Ata super hero, dong, Bunda?" tanyanya girang.
Bunda terkekeh sambil mengangguk.
"Oke, deh. Tapi Bunda ambilin topi spiderman Ata, biar Ata berubah jadi super hero! Yuhuu! Yeay!"
Utara jadi terkekeh sendiri mengingat momen itu. Andai saja Neo tidak pergi duluan menghadap Tuhan karena penyakit yang ia derita, Utara yakin, mereka bertiga akan menjadi teman yang menyenangkan dan sering berkelahi, seperti dirinya dan Selatan.
“Kenapa lo ketawa-ketawa? Kesambet dedemit?”
"Aduh!" Utara memegang perutnya yang tiba-tiba terasa mules. Ia langsung berlarian menuju toilet kamarnya.
"Kenapa lagi tuh anak?" Selatan mengedikan bahu, melanjutkan nonton sambil mencamil.
Ting nung! Ting nung!
Selatan berdecak malas, siapa yang mencet bel kayak orang udik baru pernah liat bel, sih?!
"Ata, buka pintu!" teriak Bunda dari dapur.
Mendengkus malas, Selatan bangun dari rebahan cantiknya. "Iya, Bunda." Ia menggerutu pada orang yang memencet bel semakin brutal. "Nyusahin aja." Selatan membuka pintu.
"Lah, kok malah lo yang buka?" Kedua netra cowok itu terbelalak terkejut. Sedangkan Selatan hanya menatapnya datar. Benar dugaannya.
"Rumah gue," jawab Selatan singkat.
"Hah?" Wajah cowok itu semakin melongo seperti mendapat berita kalau ada pesawat alien yang menabrak bumi. "R-rumah lo? Nggak salah lo?"
"Nggak."
"Hah?"
"Hah hoh hah hoh, mau ngapain lo ke rumah gue?"
Keenan mengerjap. "Tunggu, gue nggak mungkin salah alamat. Waktu gue ngantar Tara pulang semalam, rumah dia di sini."
"Ini bukan rumah dia, ini rumah gue. Oke?" Selatan ingin menutup pintu, tapi Keenan menahannya.
"Tunggu, terus ngapain dia masuk rumah ini kemarin?"
"Maling empang," jawab Selatan ngawur. "Nanya lagi lo."
"Serius, woi!"
"Ini gue serius."
"Keenan? Udah lama, ya?" Tidak hanya Keenan, tapi Selatan juga langsung menoleh ke asal suara, mendapati Utara yang menyembul dari dalam. "Kok tamunya nggak di suruh masuk?" tanya Utara pada Selatan.
"Bukan tamu gue, ngapain disuruh masuk. Ini, kan, rumah gue, jadi suka-suka gue dong."
Utara melotot pada Selatan, lalu menatap Keenan dengan mimik tak enak. "Maaf, ya, Keen, dia anaknya emang nggak beradab. Ayo, langsung berangkat aja."
"Enak aja nggak beradab, lo aja kali."
"Lo-lah! Mana ada orang yang nerima tamu kayak gini?"
"Dia bukan tamu gue."
"Tapi, kan, sama saja. Bunda juga nggak pernah ngajarin gitu."
"Oh, mau jadi guruin ceritanya?"
"Tau, ah, lo, rese banget sumpah!" Utara bersedekap dan membuang muka.
Apa ini? Keenan seperti hantu Casper yang melayang, memperhatikan perkelahian rumah tangga antara Utara dan Selatan. Keenan seperti orang bego yang plonga-plongo tidak tahu apa-apa.
Keenan memberanikan diri menyela dengan berdeham singkat. "Berangkat sekarang?"
"Kenapa nggak dari tadi," gumam Selatan pelan, tapi masih bisa Utara dengar jelas.
"Ayo, Keen." Utara menarik tangan Keenan.
"Iyi, Kiin," ejek Selatan, lalu mencebikan bibir dan menutup pintu secara kasar.
"Gue kenapa?" Selatan garuk-garuk kepala yang sama sekali tidak gatal. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Selatan hanya merasa tidak suka kalau Utara dekat-dekat sama Keenan.
Seperti ada yang panas tapi bukan api.
Beralih itu, Selatan memilih menuju kamarnya. Ia berhenti di depan poster peraturan saat hendak menaiki tangga kamarnya. Selatan membaca lekat-lekat semua peraturan yang tertera. "Nomor tujuh, nggak mungkin bisa dilanggar oleh dua pihak," kata Selatan menyentil angka tujuh itu, kemudian melanjutkan langkah ke kamarnya
.
.
To be continue
Yapzzz Semoga kalian suka hehehehe Luvvv kaliannn yang udah baca ^
Aku juga akan sennag jika kalian memberikan jejak pada bab ini. Hum, dengan vote atau komentar semisalnya
Gimana? Next? Next? Next?