🍒ꦿꯧRιnтιн pιlυ◍ཻꢀ᮪⸱ᨗᨗᨗ﹆
"Di sudut ruang sunyi, aku tengah menulis sebuah cerita dengan kamu yang menjadi pemerannya. Kini aku mencoba memahami, sehingga segala atensiku terpusat padamu. Pemilik senyum yang menciptakan debar layaknya racau ombak dipantai lepas, dengan iris mata indah bak lukisan jingga yang
mengabstrak di atas langit."
-esterspy
"Kak?"
Selang sepuluh detik setelah Zayara yang masih di luar bertanya, Kiana melihat ke kanan, ke arah Sagara.
"Oke..," jawab Sagara.
"Ya." Sagara membuka pintu lewat salah satu tombol yang tertempel di pintu mobil pengemudi.
Zayara menerbitkan senyum. "Beneren, Kak? Makasih, yaaa." Zayara mendudukkan badannya ke kursi mobil belakang tempat penumpang.
Tak ada lagi yang mencipta suara, benar-benar berhenti sejak Zayara mengucapkan kalimat terima kasih.
Zayara menggulung rambutnya tinggi, Sagara fokus mengemudi, Kiana tak ada kerjaan hingga menghapali plat mobil, kereta, bahkan becak
"Eum ... kak?" Zayara memanggil, ia memunculkan kepala dari belakang ke depan di antara Kiana dan Sagara.
"Iya."
"Kenapa?"
Zayara menolehkan kepalanya ke kanan, ia tersenyum lebih manis. Kiana juga menoleh ke kanan yang di mana tatapan Zayara tertuju.
Kiana takjub, adik kelasnya ini benar-benar cantik. Zayara manis juga. Kiana kemudian membuka cermin yang memang ada di atap dalam mobil. Gerakan tanpa sadar Kiana untuk berkaca terlihat oleh Sagara.
"Bukan ka Kianaa, tapi ... kak Saga."
Zayara memanggil sahabat masa kecilnya dengan panggilan 'Saga'. Ya, emangnya kenapa?
Dengan panggilan Saga.
Panggilan Saga.
Saga.
"Oh, maaf, yaa." Kiana melanjutkan aktivitas bercerminnya. Sebelumnya Kiana belum pernah setidak pede seperti sekarang. Dari hal ini Kiana tahu bahwa kecantikan Zayara benar nyata adanya. Apalagi Kiana sedang berada dalam masa break out sekarang.
Tangan kanan Sagara mengitari setir mobil. Cowok itu kemudian menoleh ke kiri. "Kenapa?"
"Gak papa, di muka gue kayaknya ada jeraw--" Kalimat Kiana terpotong.
"Kalo mau tanya soal ini boleh gak, Kak?"
Kedua suara itu tidak bersahutan, sebab waktu dan detiknya bersamaan keluar dari mulut Kiana dan Zayara.
"Boleh, soal apa?" Sagara menjawab.
Zayara membuat mengembangkan sudut bibir. "Gu--aku cuma minta pendapat, kak. Tukar pikiran, hehehe, bukan apa-apa kok," ucap Zayara. "Kalau analisis data kualitatif yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang informasi yang gak perlu, mengorganisasi data hingga akhirnya ditarik kesimpulan yang kemudian diverifikasi. Menurut kakak hasil atau jawabannya?"
Sagara berpikir seraya mengendalikan mobil. Alisnya seperti tertaut tanda memutar otak. Ini soal ranah IPS dan Sagara tidak terlalu minat.
"Emm.. ada kegiatan yang dilakukan dalam proses analisis data kualitatif. Contohnya kegiatan reduksi data, dilakukan selama proses pengumpulan data. Gue ga yakin, tapi kalau ada di ujian gue bakal jawab ini sih. Coba browsing." Sagara menjawab. Sebagai seseorang yang setahun lebih duduk di bangku SMA dari cewek di kursi penumpang bernama Zayara itu. Normal.
Kiana diam. Ia kira dirinya yang ditanya Sagara sebab bercermin. Cewek itu sedari tadi melihat ke kiri, ke arah jendela yang menampakkan kendaraan berlalu lalang dan pohon yang tampak berlari mundur.
Zayara tersenyum di belakang tanpa ada yang tahu. Ia begitu suka dengan manusia berwawasan luas seperti Sagara.
"Argument. Gue nanya sekarang." Sagara menghentikan mobil ketika lampu lalu lintas berubah merah. "Kalau cahaya bintang yang mahkluk bumi lihat malam hari, itu menunjukkan kalau bintang ada di dekat dengan Bumi. Menurut lo, correct? False?"
Dari belakang Zayara mengetuk-ngetuk pahanya menggunakan kuku kanannya, kebiasaan jika Zayara sedang berpikir soal penalaran sekaligus ketika mengorek ilmu di otaknya.
"False. Bintang paling besar dan paling dekat ke bumi itu matahari." Zayara bersuara. Sagara dan Zayara sama-sama berkutat pikiran dengan jawaban masing-masing. "Kalau mahkluk hidup lagi lihat cahaya bintang, artinya kita lagi lihat masa lalu alam semesta."
Kiana merutuki diri sendiri sebab ia merasa tertekan. Padahal Sagara maupun Zayara tidak melakukan hal salah apa pun. Yang salah di sini adalah Kiana, ia tidak dapat menimpali atau memberi pendapat atas pembicaraan Zayara dan Sagara karena Kiana tidak mengerti.
Dalam situasi ini, Kiana tidak layak atau memiliki hak untuk tertekan. Sedikit pun.
Kiana tak mau menoleh ke arah Sagara dan Zayara yang tengah berpikir. Kiana tak tahu harus apa. Kiana malu. Ia jauh tertinggal dari anak kelas sepuluh IPA yang baru masuk SMA beberapa bulan lalu.
"Lalu?" Sagara ingin mendengar penjelasan Zayara. Ia suka dengan materi Ilmu Pengetahuan Alam seperti ini.
"First, correct me if i wrong, ya kak." Ia meletakkan tangan di dagu. "Cahaya bintang yang kita lihat malam hari adalah kejadian jutaan bahkan miliaran tahun yang lalu. Kecepatan cahaya 300.000 km per detik, right? Artinya, cahaya akibat ledakan bintang di masa lalu baru bisa dilihat di masa sekarang, karena rambat cahaya pun membutuhkan waktu."
Sagara melihat layar ponsel yang Zayara sodorkan ke depan. Menunjukkan lokasi rumah siswi kelas X IPA 1 itu.
Sagara bertanya meminta pendapat Zayara, "Contohnya, ledakan bintang yang terjadi 1 juta tahun silam berarti cahaya ledakannya baru bisa dilihat dari Bumi sekarang? 1 juta tahun setelah bintang itu meledak? Ini artinya, bintang itu jaraknya 1 juta tahun cahaya dari Bumi, dan itu jauh, impossible ditempuh teknologi manusia. Right atau..?"
"Awesome!" jawab Zayara yakin. Sagara benar-benar waw bagi Zayara.
"..."
Suasana ini asing bagi Kiana. Jika yang bertanya jawab dengan Sagara adalah orang lain bukan Zayara, Kiana tidak pernah seperti ini.
Jika kalian menganggap ini adalah hal biasa, kalian berarti belum merasakannya. Pertanyaan dan jawab Zayara membuat Kiana merasa dipukul, tidak ada yang tahu maksud Zayara untuk memberitahu Kiana bahwa Kiana bodoh atau maksud hanya untuk bertanya biasa dengan Sagara.
Kiana tahu Zayara tidak bersalah. Kiana tidak memiliki banyak teman hingga membuatnya curiga akan orang lain seperti Zayara. Kiana tahu masalah itu ada di dalam dirinya, namun Kiana tak mengerti cara menentang pikirannya sendiri.
Kiana jarang insecure dengan fisik, Kiana akan merasa tidak pede dengan otak. Apalagi dengan adik kelas seperti Zayara yang jauh lebih pintar darinya, Kiana bisa susah bernapas dan sulit bicara karena merasa otaknya sangat rendah.
"Kak Kiana ikut olimpiade, 'kan ya? Aku juga ikut, disuruh Pak Tio, hehe," tanya sekaligus nyata Zayara.
Kiana tak mau saat ini tampak tak bisa. Kepalanya berat padahal ia tidak ditanya hal sukar. Hal negatif menyerang kepala dan hati Kiana.
"Iya, emangnya kenapa?!" Nada suara Kiana datar dengan akhiran tinggi. Zayara tersentak dan Sagara mendadak menoleh penuh ke arah Kiana.
"Na?" Sagara bertanya tak paham akan reaksi berlebih Kiana atas pertanyaan Zayara.
"..."
Zayara diam. Kiana diam. Sagara juga diam. Tak ada yang membuka suara, tidak ada yang mengeluarkan reaksi lagi.
"Kak turun di sini aja," ucap Zayara, setelahnya membuka pintu ketika roda mobil berhenti di depan gerbang perumahan bertulis Royal Prima. "Makasih kak." Setelah Zayara ucapan terima kasih, ia melihat Kiana dan memegang bahu Kiana lalu berbisik di telinga Kiana pelan. "Kakak gak suka lihat aku, ya?"
Zayara keluar ketika Kiana menepis tangannya.
"Kiana lo kenapa, sih?" Sagara kembali menjalankan mobil. Tinggal mereka berdua.
"..."
Kiana tak berani mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Cewek itu hanya melihat ke depan dengan tatapan kosong.
"Na, you ok?"
Kiana menatap penuh ke arah Sagara. "Enggak! Zara nanya pertanyaan yang dia tau jawabannya supaya gue nampak bodoh di hadapan kalian! Kita gatau sifat orang, Saga. Zayara itu jahat!"
"Na," panggil Sagara pelan, matanya terus menatap ke depan.
"Lo ngacangin gue karna kalian asik sendiri, gue ada di sini, Sagara. Zara itu licik!"
"Enough, Ana."
"Lo udah lebih dari tau kalo gue bakal gak baik-baik aja kalau ada anak kelas sepuluh yang nunjukin kepintaran mereka sama lo di depan gue." Air luruh dari mata Kiana. Napasnya mengajak agar Kiana berhenti bicara sebab udara terasa sedikit di pernapasannya. "Tapi lo gak lakuin itu tadi Saga, lo terus jawab pertanyaan Zara!"
"Kiana." Suara Sagara begitu rendah. Ia meredam amarah.
"Lo suka sama Zara?"
Hingga pertanyaan itu keluar. "Kiana!" Sagara menghentikan mobil di kiri jalan. Ini diluar batas.
Suara Sagara meninggi, membuat mulut Kiana terkunci. Detik setelahnya Sagara tersadar, tangannya ingin meraih bahu Kiana namun Kiana menjauh dengan menyampingkan tubuh dan kepalanya ke arah jendela.
Air mata Kiana mengucur lebih deras.
яєωяιтє му нєαят
± 3 weeks gak update, im sorry.
butuh effort banget di sela ujian
hahaha
enjoyed.
follow Instagram;
@esterspy
@wattpadester
@mayoree.id
@kianasharettaa
@sagara.aiden
TikTok: @esterspy_ (follow kalau mau, soalnya ada cerita2, pov, oneshoot yg aku buat waktu gabut juga. jadi dari orang gabut, untuk orang gabut)
—esterspy