SEQUEL HAIFA ON PROCESS

Bởi ariskakhurnia

5.1M 350K 15.4K

ADA SEQUEL HAIFA BACA YUK! [TELAH TERSEDIA DI GRAMEDIA DAN TOKO BUKU LAINNYA] BLURB VERSI WATTPAD Di balik bu... Xem Thêm

Prolog
Haifa Saqeenarava
Akbar Arvinio Rajendra
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Sembilan
Sepuluh
Chatting
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Preview | Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Tiga
GIVEAWAY ARESHA
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Sumber Rujukan
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima (A)
Empat Puluh Lima (B) - END
Epilog
HAIFA Versi Cetak
Extra Chapter
Novel HAIFA Awal Maret
HAIFA Segera Terbit
VOTE COVER
PRE ORDER HAIFA
PRE ORDER Halal Bersama Arselia
SEQUEL HAIFA HADIR!
01. Delapan Tahun Denganmu
02. Dinner Impian
03. Cerita Hafshah

Delapan

95.4K 7.4K 283
Bởi ariskakhurnia

Info yaa, cerita ini alurnya maju mundur. Jadi, jangan pada bingung ehe

Saat laki-laki jatuh cinta, tidak perlu memberi harapan yang tidak kunjung ada kepastian, cukup langsung datang melamar megikatnya dalam kehidupan pernikahan.

***

Suara-suara yang bersahutan di sekeliling Arvin sama sekali tidak membuatnya terselamatkan dari suasana canggung saat ini. Ia hanya tersenyum kaku menatap Haifa yang hanya menunduk. Meskipun Arvin tidak bisa melihat dengan persis ekspresi perempuan itu, ia bisa mengetahui kalau Haifa tengah tersenyum malu-malu dari matanya.

"Emm." Haifa membuka suaranya.

Arvin tersenyum kecil menatap Haifa yang mulai mendongakkan kepalanya, hanya menatapnya sekilas kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Emm ini—" Haifa menggantungkan ucapannya.

"Ya?" Arvin dengan sabar menunggu kelanjutan ucapan Haifa.

"Yaudah.. Iya," cicit Haifa.

Dengan canggung Arvin mengusap lengannya entah dengan tujuan apa. "Iya," ucapnya tidak jelas.

"Kalau begitu, ini aku bawa?" tanya Haifa memastikan.

"Iya." Arvin mengangguk. "Nanti kamu bikin proposal kayak gitu juga ya kasihkan aku."

"Iya." Haifa mengangguk kecil. "Emm, ada yang mau diomongin lagi?

Arvin menggeleng dengan cepat. Sedetik kemudian ia merutuki tindakannya itu karena mungkin akan terlihat memalukan.

"Kalau begitu aku duluan deh. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelahnya Haifa berdiri dari duduknya, berlalu pergi dari hadapan Arvin. Sedangkan Arvin hanya bisa menahan jeritannya yang tiba-tiba meluap.

"Hahh.. Tarik nafas keluarkan hahh." Arvin bergumam pada dirinya sendiri. Ia tidak mempedulikan orang-orang yang mungkin sedang memperhatikannya serta menganggapnya aneh.

Arvin lebih memilih untuk pergi juga dari tempat itu, dan berlalu menuju ruang BEM untuk menjernihkan pikirannya kembali. Jangan disangka ia tidak mengalami kegugupan sama sekali saat menyerahkan proposal ta'aruf pada Haifa, karena pada kenyataannya, entah sudah berapa lama Arvin berdebat dengan pikirannya karena keberanian yang sudah ia kumpulkan selama beberapa hari menghilang entah kemana.

Semua bermula pada kejadian beberapa hari lalu saat bertemu Haifa di rumah makannya, lebih tepatnya kejadian lima hari yang lalu. Meskipun saat itu Arvin tidak begitu serius dalam bercerita yang membuat Arvan justru merasa kesal padanya, tetapi ia benar-benar merenung mengenai perasaanya.

Hal itu membuat Arvin menggedor pintu kamar Arvan di malam harinya karena ia benar-benar butuh teman cerita. Arvin perlu pencerahan dari kembarannya itu, bagaimanapun Arvan sudah mempunyai pengalaman dengan seorang perempuan meskipun tidak berakhir sesuai yang direncanakan.

"Van," ucap Arvin lesuh. Ia membanting tubuhnya ke kasur Arvan.

Arvan yang memang sedang tidak melakukan apapun, dan hanya memainkan ponselnya bosan, menanggapi Arvin dengan santai. "Kenapa?"

"Gue mau cerita," celetuk Arvin.

"Kalau lo gak niat cerita kayak tadi, mending gak perlu dimulai," timpal Arvan. Ia memang sedikit kesal dengan ulah Arvin, tetapi biar bagaimanapun mereka tetap anak kembar yang bisa merasakan suasana hati masing-masing meskipun tidak terlalu.

"Yah gitu, kayak tadi." Arvin memulai curhatannya dengan kalimat tidak jelas.

Mendengar ucapan Arvin yang setengah-setengah, Arvan kembali fokus pada ponselnya karena malas menanggapi kembarannya itu.

"Dengerin gue dong! Gue belum selesai cerita," keluh Arvin.

"Hahh.." Arvan menghela napas. "Gimana mau selesai, kalau mulai aja belum lo."

"Aduh!" Arvin bangun dari tidurnya, duduk bersila di atas tempat tidur dan memegang dadanya pura-pura terluka, "Baper gue."

Arvan berdecak, "Kalau lo gak serius, mending lo keluar."

"Iya, iya. Santai dikit kenapa sih?" cibir Avin.

Kemudian suasana menghening untuk beberapa detik. Arvin sedang memikirkan harus mulai dari mana ia bercerita. Bahkan Arvin menata kalimat yang akan diucapkannya karena terlalu malu berbagi mengenai perasaanya.

"Yang cewek di rumah makan tadi, Haifa." Arvin menjeda ucapannya. "Kayaknya gue suka dia deh."

Arvan terdiam, tidak berniat memotong ucapan Arvin.

"Kalau gue ngerasa kayak gitu, gue harus gimana?" tanya Arvin pelan. Entah karena ia mengungkit nama Haifa atau memang karena ini pengalaman pertamanya bercerita mengenai perasaannya pada seorang perempuan, Arvin merasakan debaran di jantungnya yang semakin kencang.

"Kalian udah kenal sebelumnya?"

Arvin menggeleng, "Nggak yakin sih gue, tapi yang lebih pastinya baru kenal beberapa hari lalu waktu disuruh bu Tia nyamperin Haifa."

"Emm." Arvan berdehem dan menganggukkan kepalanya mengerti. "Yaudah, kalau lo emang serius, ajak dia ta'aruf dulu."

"Gitu ya?" Arvin tidak yakin.

"Iyalah."

Saat seorang laki-laki menyadari dirinya jatuh cinta, alangkah baiknya jika ia memuliakannya dengan ikatan, dan jika merasa belum siap, lebih baik menjauh dan mencintainya dalam diam, meminta Allah menjaganya melalui setiap doa yang dipanjatkan.

Bukan dengan menebar janji romantis yang justru tidak terlihat kepastiannya.

"Tidaklah memuliakan wanita, kecuali lelaki mulia. Dan yang menghinakan wanita, pastlahi lelaki hina." (HR. Tarmidzi)

"Tapi gue masih ragu," jawab Arvin.

"Shalat istikharah dulu," saran Arvan.

Arvin mengangguk mengiyakan. "Kalau nanti ternyata gue udah yakin, menurut lo gimana kalau gue sama Haifa?"

"Ditanyain dulu dianya mau gak sama lo," celetuk Arvan seenaknya.

"Kok lo malah kesannya rendahin gue sih." Arvin tidak terima.

"Bukan gitu," sangkal Arvan. "Emang maksud pertanyaan lo gimana?"

"Maksudnya yah tanggapan lo kalau gue ngajak ta'aruf Haifa nanti gimana?" Arvin sedikit bingung dengan perkatannya sendiri.

"Gak masalah sih," tangaap Arvan seadanya.

"Tapi kalau nanti gak berhasil gimana?" Arvin mulai ketakutan.

"Lo nyindir gue?"

Arvin gelagapan, "Enggak, enggak, bukan gitu maksud gue. Maksudnya gue itu takut terkesan terburu-buru dan malah jadi gak karuan gitu."

"Lo jangan jadiin gue sebagai acuan tentang ta'aruf karena gue pernah gagal. Lagipula itu 'kan udah biasa, berarti memang jalannya sampai di situ aja, Allah udah mempersiapkan orang lain yang lebih baik buat kita," jelas Arvan panjang lebar.

"Terharu banget gue denger lo ngomong panjang begini, seharusnya gue rekam dulu biar jadi bukti sejarah," timpal Arvin.

"Nyesel gue dengerin ocehan lo," decak Arvan.

"Hahaha." Arvin tertawa terbahak-bahak.

Sedangkan Arvan hanya diam saja, dan melirik sekilas Arvan dari sudut matanya dengan pandangan sinis.

"Tapi gue belum kenal sama Haifa," ungkap Arvin. Ia meredakan tawanya dan mencoba fokus kembali pada permasalahannya.

"Yaudah, makanya ta'aruf dulu," jawab Arvan ogah-ogahan.

"Gitu ya?" tanya Arvin memastikan.

"Hem." Arvan berdehem membenarkan. "Jangan lupa, bilang abi sama umi dulu!"

Arvin merebahkan tubuhnya kemudian berguling di kasur berulang kali membuat sprei Arvan tidak jelas lagi bentuknya. "Harus banget ya? Ah.. tapi gue malu."

"Pergi lo!" Arvan berdiri dari duduknya yang sedari tadi duduk di kursi panjang yang ada di kamarnya, kemudian menghampiri Arvin dan menendang kaki kembarannya itu. "Keluar gak lo dari kamar gue!"

"Adoh!" jerit Arvin. "Ini yang tadi masih sakit lo pukul lagi."

"Bodo."

Arvin menggeleng-gelengkan kepalanya sembari terkekeh kecil ketika mengingat pergulatannya dengan Arvan setelah aksi curhatannya itu. Jangan berpikir mereka hanya bertengkar dengan main-main, karena pada kenyatannya, keduanya memang benar-benar saling melemparkan tendangan yang menyakirkan.

Bahkan setelah Arvin kembali ke kamarnya, ia harus mengompres betis dan pahanya yang membiru dengan es batu. Mungkin Arvan juga tengah melakukan hal yang sama sepertinya pada saat itu.

"Kenapa lo ketawa sendiri?"

Arvin menatap sengit pada Rifqi yang baru saja memasuki ruang BEM. Sedangkan Rifqi yang mendapati tatapan tidak mengenakkan dari Arvin hanya mengernyitkan keningnya tidak mengerti.

"Kenapa?" tanya Rifqi. Ia menggerakkan mulutnya tanpa suara.

"Gak," jawab Arvin ketus. "Udah ah, jadi buyar 'kan konsentrasi gue," lanjutnya. Kemudian Arvin berlalu pergi meninggalkan Rifqi di ruang BEM sendirian.

"Kenapa tuh anak?" gumam Rifqi.

***

Haifa Saqeenarava

Assalamu'alaikum. Arvin, aku mau ngasih proposal aku.

Arvin yang baru mematikan mesin motornya dan mendapati pesan dari Haifa, hanya tersenyum-senyum sembari membalas pesan tersebut. Jadi, ia membuat sebuah group WhatsApp yang berisikan dirinya, Haifa, Arvan sebagai walinya, serta Ulya –kakak perempuan Haifa– sebagai wali perempuan itu.

Group tersebut baru dibuat kemarin malam, dan masih belum ada yang dibahas di sana, hanya sekedar perkenalan singkat. Dan hanya seperti itu saja, Arvin sudah ketar-ketir menahan kegugupannya.

"Vin!"

Arvin mengedarkan pandangannya saat merasa ada seseorang yang memanggilnya. Dan seseorang yang berjalan ke arahnya dengan senyuman lebarnya inilah dalang di balik kenapa ia terkesan terburu-buru mengajak Haifa ta'aruf. Farzan, mahasiswa jurusan Fisika yang satu tahun lebih tua darinya.

"Assalamu'alaikum," sapa Farzan. Ia mengajak Arvin untuk bersalaman dengan gayanya seperti biasa yang disambut Arvin dengan santai.

"Wa'alaikumussalam. Mau kelas?" tanya Arvin.

Farzan mengangguk. "Harusnya sih begitu, tapi gue baru buka group angkatan waktu udah nyampe kampus, dan ternyata kelas diliburkan. Kesel banget 'kan?"

"Hahaha. Serius? Sabar ya," kekeh Arvin.

"Sabar banget gue, udah biasa diPHP." Farzan ikut terkekeh kecil. "Lo gak kelas?"

"Iya, ini mau kelas." Entah kenapa Arvin sekarang jadi sedikit merasa tidak nyaman jika mengobrol dengan Farzah. Jika biasanya ia selalu melontarkan guyonan, sekarang hanya berbicara seperlunya.

"Oh, yaudah gue balik dulu ya!"

"Iya, hati-hati."

Satu hari setelah kejadian Arvin meminta saran pada Arvan, ia bertemu dengan Farzan di rumah makannya. Sebelumnya Arvin dan Farzan saling mengenal karena mereka berada dalam satu kajian yang sama di akhir pekan. Tetapi itu tidak setiap saat karena Arvin terkadang berpindah-pindah sesuai ajakan Abram, abinya.

"Seinget gue, dulu gak seramai ini tempatnya," ucap Farzan saat itu. Ia memulai pembicaraan setelah Arvin bergabung di mejanya.

"Alhamdulillah, emang kalau rezeki gak kemana," jawab Arvin terkekeh. "Tumben lo kesini, biasanya gak mau kesini karena jualan gue udah banyak pembelinya.

"Iyalah, ngapain gue beli di lo kalau pembeli lo aja berdatangan tiap menitnya," timpal Farzan bercanda. "Mending gue beli sama orang yang emang lagi butuh aja.

Arvin terbahak. "Iya, terserah lo aja. Yang penting lo bahagia dah."

"Emang. Ngomong-ngomong lo kesini tiap hari ya?" tanya Farzah.

"Enggak juga, saat tertentu doang," jawab Arvin

Farzan menganggukkan kepalanya mengerti. "Yaudah, bentar deh gue ke toilet dulu," pamitnya.

Arvin mengangguk mempersilahkan, kemudian memainkan ponselnya sembari menunggu Farzan. Namun, satu menit kemudian, ponsel Farzan yang diletakkan di atas meja bergetar. Arvin sama sekali tidak berniat untuk mengintip, tetapi ponsel Farzan langsung menyala dan menampilkan sebuah chatroom.

Karena merasa penasaran, Arvin sedikit mencondongkan tubuhnya melihat ponsel Farzan.

Hazlam Abbasy

Gue udah undang Haifa sesuai permintaan lo.

Muhammad Farzan Anshar

Asik, thanks bro.

Hazlam Abbasy

Masih aja lo suka, buruan resmiin lah sebelum keduluan yang lain.

Arvin benar-benar tidak bisa menahan rasa penasarannya, napasnya tiba-tiba memburu karena terkejut. Ini Haifa yang dimaksud apa sama dengan Haifa yang ia kenal?

Dengan tidak memikirkan konsekuensi, Arvin menengokkan kepalanya ke kanan dan kiri, setelah memastikan belum ada tanda-tanda Farzan kembali, ia menggerakkan tangannya menggeser chatroom tersebut supaya bisa membaca pesan sebelumnya.

Muhammad Farzan Anshar

Motivatornya Haifa lagi ya?

Hazlam Abbasy

Haifa anak FIA?

Muhammad Farzan Anshar

Iya, angkatan 2016, yang pakai cadar.

Arvin menegakkan kembali duduknya setelah mendapatkan jawaban yang ia cari. Ternyata memang benar, Haifa yang dimasud Farzan, dan yang sedang disukai oleh laki-laki itu adalah orang yang sama dengan yang ia kenal.

Meskipun perasaannya yang masih abu-abu tidak jelas, tetap saja Arvin merasakan perasaan tidak rela menyadari ada orang lain yang menyimpan nama Haifa di hati atau justru dalam doanya. Bahkan, baru saja kemarin ia meminta saran dari Arvan. Tetapi melalui kejadian hari ini, Arvin merasa sudah mendapatkan jawaban atas shalat istikharahnya.

"Kenapa muka lo tegang banget?" tanya Farzan. Ia baru kembali dari toilet.

"Hah?" Arvin terlonjak.

"Ada masalah?" Farzan bertanya karena menyadari raut Arvin yang terlihat tidak biasa.

Arvin menggeleng spontan. "Enggak kok," jawabnya terkekeh canggung.

Sedangkan Farzan hanya menganggukkan kepalanya tidak ingin ikut campur, kemudian terfokus pada ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana.

Arvin masih mengingat dengan jelas kejadian beberapa hari yang lalu itu. Ia bahkan langsung meminta izin untuk mengajak Haifa ta'aruf pada orangtuanya. Padahal hari sebelumnya, Arvin harus mondar-mandir di depan kamar orangtuanya itu karena malu mengutarakan hal tersebut.

Yah, meskipun Arvin baru berani mengatakan pada Haifa tiga hari setelahnya.

"Ini." Haifa menyodorkan sebuah map ke arah Arvin dengan malu-malu.

"Iya, terima kasih," jawab Arvin. Sebenarnya ia bukan tipikal orang yang gampang gugup, tetapi ketika berhadapan dengan Haifa, entah kenapa Arvin merasakan kembali kegugupan yang sudah lama tidak ia rasakan itu.

Kemudian untuk beberapa saat keduanya hanya berdiri dengan canggung tidak tahu harus melakukan apa.

"Ehm." Arvin berdehem. "Nanti kalau kamu mau nanya-nanya, tanya di group yang kemarin aja ya?"

Haifa mengangguk kecil.

"Kalau misalkan kamu gak nyaman, nanti aku kasih kontak umi aku atau adekku yang cewek," lanjut Arvin.

Haifa mengangguk sekali lagi.

"Jangan ngangguk-ngangguk doang, dilaksanakan juga," ucap Arvin. Ia merasa geli dengan tingkah Haifa di hadapannya. Perempuan itu benar-benar tidak pernah menatap wajahnya lebih dari tiga detik. Apa Arvin tidak terlihat menarik di mata Haifa?

"Iya, iya," cicit Haifa malu-malu.

"Yaudah, aku balik ya mau ada kelas lagi. Assalamu'alaikum."

"Iya, wa'alaikumussalam."

Dan tanpa direncanakan, Arvin dan Haifa kompak memunggungi masing-masing dan langsung berlalu pergi dengan berlawan arah.

Namun, sedetik kemudian, Arvin kembali membalikkan badannya dan melewati Haifa dengan langkah lebarnya karena baru menyadari kalau fakultasnya berada di arah yang sama dengan jalan yang dilewati Haifa.

*FIA : Fakultas Ilmu Administrasi (fakultasnya Haifa dan Arvin)

-HAIFA-

Malang, 12 Mei 2018

Kalau ada typo, tandai bagiannya yaa?

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

2.3K 235 23
Kisah ini berawal dari TK hingga menduduki bangku SMA..... "ajinamoto, micin perusak otak, huuuu" "marina uv white, mencerahkan kulit dari dalam" "le...
1.6M 175K 42
WARNING!!! BAPER STORY ⚠ Romance - Comedy WISTARA FAMILY Hafizh Ananda Wistara *** Kamu sukanya dia?! Tapi, kalau Tuhan maunya kamu sama aku, kamu bi...
111K 13.1K 56
The Second Story of Cinta Sendirian | Romance 25% Spiritual 50% Komedi 25% Sasya Assyifa Jika wanita dinikahi karena empat perkara dan pilihlah wanit...
23.2K 2.6K 46
Follow dulu sebelum baca! Azima Faza. Nama yang melekat pada dirinya di usia 16 tahun. Identitas baru yang tak seorang pun tahu, bahkan kedua orang t...