EL JUGADOR

By Hanraaa

2.9M 255K 50.3K

TELAH DIBUKUKAN "Ini perasaan gue yang pacarnya, kenapa berasa jadi selingkuhan dah?" -Obelia Andara (End) Pu... More

New Story
⚠️WARNING⚠️
Cast
00 : Prolog
01 : El Jugador
02 : El Jugador
03 : El Jugador
04 : El Jugador
05 : El Jugador
06 : El Jugador
07 : El Jugador
08 : El Jugador
09 : El Jugador
10 : El Jugador
11 : El Jugador
12 : El Jugador
13 : El Jugador
14 : El Jugador
15 : El Jugador
16 : El Jugador
17 : El Jugador
18 : El Jugador
19 : El Jugador
20 : El Jugador
21 : El Jugador
22 : El Jugador
23 : El Jugador
24 : El Jugador
25 : El Jugador
26 : El Jugador
27 : El Jugador
28 : El Jugador
29 : El Jugador
30 : El Jugador
31 : El Jugador
32 : El Jugador
33 : El Jugador
34 : El Jugador
35 : El Jugador
36 : El Jugador
37 : El Jugador
38 : El Jugador
39 : El Jugador
40 : El Jugador
41 : El Jugador
42 : El Jugador
43 : El Jugador
44 : El Jugador
45 : El Jugador
46 : El Jugador
47 : El Jugador
48 El Jugador
50 El Jugador
51 : El Jugador
52 : El Jugador
53 : El Jugador
54 : El Jugador
55 : El Jugador
56 : El Jugador
57 : Epilog
Info Harga + Spoiler novel El Jugador
PO EL JUGADOR
43-44 : El Jugador (What If)
43-44 (2) : El Jugador (What If)
43-44 (3) : El Jugador (What If)
RAJA SPECIAL CHAPTER : 01
RAJA SPECIAL CHAPTER : 02
RAJA SPECIAL CHAPTER : 03

49 El Jugador

39.7K 3.6K 834
By Hanraaa

Maaf ya, minggu ini aku lagi sakit. Jadi updatenya lumayan telat. Alhamdulillah kemarin udah jauh enakan. Terimakasih buat yang ngirimin dm dan doain aku biar sembuh. Maaf ya karena dm-nya belum sempat dibalas satu-satu. Untungnya minggu ini ada update, jadi ga gantung-gantung amat lah ya wkwk.







Happy Reading!!!




Kedua mata tajam yang akhir-akhir ini terlihat redup perlahan terpejam beriringan dengan suara helaan napas keluar begitu samar, nyaris tak terdengar karena tersapu oleh semilir angin. Bersamaan dengan itu pula, asap menyerupai kabut keluar dari bibir pucatnya yang terasa dingin, bercampur dengan semilir angin yang perlahan membawa asap tersebut pergi.

Sekarang Sadewa paham kenapa dulu gadis itu sering pergi ke atas rooftop. Karena tempat itu memang pantas dijadikan tempat pelarian. Tidak ada satupun orang di atas sana karena tempatnya yang lumayan tak terawat.

Satu tangan Sadewa berada di dalam saku jaket, sementara yang satunya lagi sibuk memegang putung rokok terakhir miliknya yang tersisa sedikit. Sadewa tak pernah lagi berkumpul dengan yang lain. Lelaki itu selalu menghilang setelah jam mata kuliah berakhir. Seperti sengaja memisahkan diri dari yang lain.

Yang ia lakukan ketika pulang ke rumah hanyalah tidur. Pola makannya pun menjadi buruk, Sadewa hanya mengisi perutnya ketika lambungnya sudah terasa begitu sakit. Pernah beberapa kali Sadewa jatuh sakit, namun ia tak menghiraukannya sampai sakit di tubuhnya hilang sendiri. Satu pemikiran yang terus berputar di dalam kepala lelaki itu sampai-sampai dia tak sadar sedang menyiksa dirinya sendiri. Rasa sakitnya masih tidak ada apa-apanya dengan apa yang Obelia rasakan.

Sadewa kira air matanya akan mengering karena terlalu banyak menangis. Nyatanya bulir bening itu kembali menetes, hanya karena batinnya tak sengaja menyebut nama gadis itu di dalam hati.

Perasaan Sadewa campur aduk, benar-benar terasa tidak nyaman. Yang paling mendominasi adalah rasa penyesalan yang kini bercampur menjadi satu dengan rasa rindu yang tak terbendung.

Sadewa menghembuskan asap nikotin itu lagi. Setelah membuang putung rokoknya, Sadewa merogoh saku celana, mengeluarkan ponselnya dengan baterai yang tersisa sepuluh persen. Kemudian menatap ke arah tanggal yang tertera di atas layarnya.

Bulan kelima sudah terlalui tanpa sosok Obelia yang seolah hilang ditelan bumi. Rasanya sangat berat untuk Sadewa karena hari-harinya berubah drastis.

Indera pengecap lelaki itu bisa merasakan asin karena air matanya yang terus mengalir hingga mengenai bibirnya. Obelia benar-benar menghilang. Benar-benar tidak bisa dihubungi. Rumah gadis itu kosong, bahkan kini halamannya ditumbuhi oleh rerumputan liar.

Sadewa kira meskipun mereka akan menjadi orang asing dan tak lagi bertegur sapa, dia masih bisa melihat Obelia yang berlalu-lalang di koridor kampus. Melihat gadis itu sembuh, dan kembali beraktivitas seperti biasa. Sadewa tak masalah jika harus kembali memperhatikan gadis itu dari jauh. Nyatanya Obelia tak lagi berkuliah di sana.

Sadewa sempat nekat mencari informasi keluarga Obelia di Bandung melewati asisten ayahnya. Tapi ia tak mendapat info apapun. Mega pun sempat mendatanginya, menanyai keberadaan Obelia yang berakhir dengan kalimat penuh amarah karena Sadewa tidak bisa memberikan informasi apapun.

Lelaki itu merasa putus asa. Sadewa mengusap rambutnya ke belakang, merematnya sembari memejamkan mata dengan dahinya yang berkedut karena berusaha menangis tanpa suara, ia terlalu lelah karena harus menyembunyikan rasa sakit dan sedihnya seolah tak terjadi apa-apa.

Sadewa tahu ia tidak pantas jika memohon agar Obelia kembali. Bahkan di tempatnya berdiri sekarang, Sadewa masih ingat ketika ia mendorong Obelia dan merutuk dengan kata-kata yang menyakiti hati gadis itu ketika dia berusaha menolong Karin.

Tapi Sadewa hanya menginginkan Obelia, hanya perempuan itu yang ia butuhkan saat ini.

Sepasang kaki lelaki itu melangkah bergantian, tak kuat berlama-lama di sana karena memori menyakitkan yang terus terbayang tanpa bisa dihentikan. Sadewa tidak tahu harus sampai kapan ia akan terus seperti ini.

Lelaki itu menuruni tangga sembari menutup kepalanya dengan tudung jaket, menyeka air matanya kasar seraya berjalan cepat dengan langkah lebar.

"Sadewa."

Langkah lelaki itu spontan terhenti. Kepalanya menoleh, kemudian Sadewa memutar tubuhnya, menatap tanpa ekspresi ke arah seseorang yang berdiri di lorong kampus, lalu melangkah mendekat ke arahnya.

Tanpa berkata apa-apa, orang tersebut menyodorkan selembar sapu tangan yang terlipat rapi ke arah Sadewa. Sedangkan Sadewa hanya diam sembari memerhatikan gelagat gugup yang begitu kentara dari orang itu.

"Masih berani lo ngikutin gue?" Suara dingin Sadewa menyeruak. Membuat Karin menarik uluran tangannya secara perlahan.

Gadis itu menggeleng pelan, menatap takut-takut ke arah Sadewa yang kini terasa begitu asing, tak lagi sama seperti dulu.

"G-gue nggak sengaja liat lo—"

"Jangan bohong," sergah Sadewa. "Mau sampai kapan lo ngikutin gue terus?"

Karin hanya bisa terdiam. Padahal ia tidak berdusta. Walaupun gadis itu baru berhenti mengikuti Sadewa sekitar satu bulan yang lalu. Itupun ia lakukan karena merasa khawatir, bukan hal yang lain.

Kedua atensi Karin menurun, menghindari kontak mata dengan Sadewa. Kedua tangannya memilin ujung sapu tangan miliknya, tanda ia benar-benar gugup.

"Gue minta maaf," ucapnya pelan, beriringan dengan pangkal hidungnya yang terasa perih, menahan tangis.

Sadewa tak langsung menjawab, lelaki itu hanya diam tanpa melepaskan pandangannya pada Karin. "Harusnya lo ngucapin itu sebelum gue hancur. Sekarang ucapan lo nggak ada gunanya karena nggak ada lagi yang bisa dibaikin."

Kedua manik nanar Karin spontan menatap Sadewa. "Please, jangan kaya gini terus. Gue khawatir sama lo, Sadewa. Biarpun lo nggak ngganggap gue sebagai teman sekalipun, bagi gue lo masih sama, lo teman gue." Gadis itu menangis, mengambil jeda untuk meredakan sesak di dadanya. Kemudian ia mengusap air matanya kasar.

"Gue minta maaf, tolong maafin gue. Gue sadar gue salah. Gue janji buat bantu baikin hubungan lo sama Obelia."

Sadewa mendengus remeh, tersenyum getir. "Semudah itu lo ngomong? Ngurus diri lo sendiri aja lo nggak bisa Karin. Apa yang bisa lo baikin?"

"Gue bisa. Gue bisa bantu lo, tapi plis, tolong lo maafin gue." Karin menangis dengan wajahnya yang memerah. "Plis Wa. Gue bakal lakuin apapun asal lo mau maafin gue. Sekalipun lo minta gue ngejauh, gue bakal lakuin itu. Tapi tolong maafin gue."

Untuk beberapa saat, kedua orang itu menghening. Sadewa tak kunjung membalas ucapan Karin. Hanya suara napas gadis itu yang terdengar putus-putus karena tangisannya.

Karin tertunduk. Akhir-akhir ini gadis itu melalui situasi yang berat. Di mana ia harus menanggung beban tersebut seorang diri. Kalau dulu, mungkin Sadewa yang akan membantunya. Tapi sekarang, berbicara padanya saja Sadewa terlihat sangat enggan.

"Gue muak. Ngeliat lo kaya gini gue muak, Karin. Dengar suara lo aja gue rasanya bener-bener muak," ujar Sadewa menahan amarah, seraya menunjuk telinganya sendiri. Kemudian ia kembali berucap, "lo pikir gue peduli? Mau lo ngejauh, mau lo ngelakuin ini, ngelakuin itu, gue nggak peduli. Demi Tuhan, gue nggak mau ngeliat muka lo lagi."

Tepat setelah Sadewa berucap, ia melangkah pergi dari sana. Meninggalkan Karin yang masih nekat berdiri, berharap lelaki itu akan memaafkannya. Karena Karin tidak yakin ia bisa bertemu dengan Sadewa lagi setelah ini.



⭑*•̩̩͙⊱••••✩••••̩̩͙⊰•*⭑




"Lo nggak mau nambah?" tanya Bara pada Sadewa yang baru saja menghabiskan semangkuk bakso sebagai makan siangnya.

Sadewa menggeleng sebagai jawaban tanpa menatap sedikitpun kepada Bara. Lelaki itu menegak air mineral di depannya sebanyak satu tegukan, kemudian meletakkannya kembali di atas meja.

Akhir-akhir ini Sadewa tidak pernah lagi berkumpul bersama mereka. Jadi saat melihat temannya itu ada di kantin seorang diri, Bara yang hendak pergi selepas membeli minum mengurungkan niatnya dan langsung duduk di depan Sadewa tanpa izin. Untungnya Sadewa tidak marah, namun tidak juga merespon apa-apa.

"Loh Wa. Langsung mau pergi?" tanya Bara bingung melihat Sadewa yang hendak beranjak dari tempatnya.

Sadewa tak menggubris. Namun tubuh lelaki itu seketika kembali terduduk di atas kursi saat seseorang merangkul pundaknya.

"Weh Wa! Kemana aja lo buset? Gue kangen anjing!"

Bara mengernyit jijik menatap Raka yang datang dari arah belakang tiba-tiba merangkul Sadewa, disusul oleh teman-temannya yang lain.

"Padahal masih satu kampus, cuma beda jurusan. Belum juga lulus udah main misah aja lo Wa." Lingga menyeletuk, menarik kursi di sebelah Bara.

"Laksewara mana?" tanya Bara pada Raka.

Lelaki itu hanya mengedikkan kedua bahu sebagai jawaban. Sibuk mengajak Sadewa berbicara sembari berusaha merangkul pundak temannya itu karena tangannya berkali-kali disingkirkan oleh sang empu.

"Sama Rossy ga sih tadi? Apa gue salah liat?" ujar Vanessa sembari mendudukkan dirinya di atas kursi.

"Ho'oh. Sama Rossy. Katanya mau nemenin Rossy kemana gitu, gak tau deh gue."

Bibir Bara mencebik mendengar ucapan Rachel. "Perasaan akhir-akhir ini tuh anak dua ngilang mulu. Mana muncul-muncul nempel kaya perangko."

"Hiperbola lo anjir. Perangko ndasmu! Ya masa perginya bareng baliknya sendirian." Rachel melempar gulungan tisu bekas sapuan keringatnya hingga mengenai dahi Bara.

"Dih. Gue seriusan. Ga asik banget kalau satu circle ada yang cinlok." Suara Bara memelan di akhir kalimat.

Sadewa perlahan melirik ke arah Bara setelah mendengar temannya itu berucap. Sepertinya ia melewatkan banyak hal sampai-sampai tidak tahu apa-apa.

Sementara itu Vanessa pura-pura tidak mendengar. Tanpa sadar kedua retinanya sudah menuju ke arah Lingga. Lelaki itu tampak sesekali mengajak Sadewa berbicara walaupun hanya dijawab sekenanya. Vanessa tahu temannya itu merindukan Sadewa.

Saat hanya ada Vanessa dan Lingga, lelaki itu entah sadar atau tidak, dia selalu bercerita bahwa ia merasa menyesal karena sudah memperburuk suasana malam itu. Ya, diam-diam Lingga menyalahkan dirinya.

Vanessa pun sama. Semua merindukan Sadewa. Tapi tak ada satupun dari mereka yang protes ataupun memaksa Sadewa untuk berkumpul lagi. Mereka berusaha mengerti. Mau seburuk apapun, status Sadewa sebagai teman tidak akan bisa hilang.

"Lepas bego. Lo keliatan kaya cowok belok nempelin Sadewa mulu." Lingga menarik baju lengan Raka, berusaha memisahkannya dari Sadewa yang terlihat risih.

Lingga tidak tahu saja kalau Sadewa sebenarnya hanya gengsi. Dan agaknya lelaki itu merasa canggung karena sudah lama tidak saling menegur.

"Nggak mau." Raka semakin mengeratkan tangannya. "Ini anak pasti bakal pergi kalau nggak dipegangin."

Tak lama, Rossy datang dari arah jarum jam tiga disusul oleh Laksewara yang tak jauh berada di belakangnya. Gadis itu baru saja mengambil makalah kelompoknya yang tertinggal di rumah, padahal hari ini akan dipresentasikan.

"Loh, ada Sadewa juga?" Laksewara bersuara, lelaki itu tersenyum tipis melihat temannya duduk bersama yang lain. Akhirnya lelaki itu ikut bergabung, duduk di sebelah Bara.

"Kenapa?" tanya Rachel pada Rossy yang duduk di sebelahnya, menyadari ada yang berbeda dari raut wajah gadis itu.

Rossy diam sejenak, ingin mengatakan sesuatu, namun terlihat ragu.

"Lo masih ingat rumor kampus yang akhir-akhir ini lagi dibicarain?"

"Tuh rumor udah dari dua minggu yang lalu ga sih? Masih belum ketemu siapa orangnya?" Bara menyeletuk, membuat yang lain seketika menghening.

Lagi-lagi Sadewa tak bisa ikut menanggapi karena tidak tahu apa-apa.

Lantas Rossy menjawab, "udah, tapi sengaja dirahasiain sama pihak kampus. Katanya udah dikeluarin dan beasiswanya juga dicabut."

"Serius? Jadi di kampus kita beneran ada yang makai?" Raka terlihat terkejut.

Lingga mendengus miris. "Jadi rumornya bener ya? Ga heran kenapa kampus sengaja nutupin masalah ini. Gue dengar yang bermasalah itu termasuk dalam mahasiswa berprestasi. Kampus mana mau nama baiknya rusak. Jadi langsung didepak tanpa dilaporin ke polisi."

Rossy menggeleng. "Gak sepenuhnya bener. Sebenernya gue juga nggak tau ini bener apa enggak. Gue cuma dengar dari teman sekelas. Katanya orang ini bukan pemakai, dia cuma ngejual narkoba jenis heroin ke salah satu dosen di sini. Itupun kepaksa karena nggak ada biaya buat menuhin hidupnya sehari-hari. Lucunya dosen yang terlibat nggak ikut dikeluarin dari kampus karena dia punya banyak uang buat nutup mulut pihak kampus."

"Loh, anjir. Nggak adil dong?"

"Dunia emang sekejam itu kalau lo nggak punya apa-apa," ujar Lingga pada Rachel.

Vanessa menatap curiga ke arah Rossy. Entah kenapa ekspresi perempuan itu terlihat tidak tenang saat bercerita.

"Udah, nggak usah ikut ngegosipin. Takutnya rumornya salah dan malah kesebar gara-gara didengar orang."

"Bentar." Vanessa memotong ucapan Raka, lelaki itu tidak mengerti. "Lo yakin cuma info itu yang lo tau?" tanya Vanessa pada Rossy.

Rossy menghening selama beberapa detik seraya mengulum bibirnya. "Jurusan kedokteran."

"Kedokteran ngedar narkoba? Lawak banget buset," ucap Raka.

Sadewa yang sedari tadi tidak peduli lantas menoleh setelah mendengar perkataan Rossy.

Vanessa buru-buru merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya dan langsung menelepon seseorang. Terdengar suara rutukan kecil dari Vanessa karena panggilannya tidak kunjung dijawab.

"Kenapa?" tanya Rachel.

"Telpon gue nggak diangkat sama Karin." Raut wajah Vanessa tampak gugup.

"Sekepo itu lo sama pelakunya sampai-sampai nelpon Karin?" tanya Raka heran.

Vanessa menggeleng. Ucapan selanjutnya dari gadis itu membuat yang lain seketika menghening.

"Sebulan yang lalu Karin hubungin gue buat minjam uang. Gue nggak bisa bantu karena gue juga lagi nggak ada uang sebanyak yang dia minta. Dan satu minggu ini gue sama sekali nggak ada ngeliat Karin di kampus. Gue sempat tanya ke teman sekelasnya, tapi mereka nggak ada yang tau Karin ke mana."



⭑*•̩̩͙⊱••••✩••••̩̩͙⊰•*⭑



Sadewa memarkirkan motornya di depan rumah dengan pagar menjulang tinggi yang tertutup rapat, kemudian lelaki itu turun dari atas sana.

Dengan langkah lebar dan perasaan yang tidak karuan, Sadewa berusaha membuka pagar tersebut, namun tidak bisa karena terdapat gembok yang menguncinya.

Sadewa mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jaket. Sedari tadi lelaki itu berusaha menelepon seseorang, namun tak satupun dari panggilannya diangkat.

Sadewa mendecak. Kemudian tangannya menggedor kasar pagar besi tersebut.

"Karin!"

"KARIN BUKA PAGARNYA! GUE DI LUAR!"

"KARIN!"

Masih tak ada sahutan dari dalam sana, tidak ada tanda-tanda bahwa pemilik rumahnya akan keluar. Menghela kasar, Sadewa mendecak pelan.

Kemudian ia berbalik, berniat untuk menaiki motornya, namun niat lelaki itu urung saat melihat seorang pria ringkih—yang mengenakan pakaian lumayan lusuh—melintas di depan sana dengan kedua tangan mendorong gerobak. Kalau tidak salah bapak tua itu adalah orang yang biasanya mengumpulkan sampah di komplek Karin.

"Pak!" Sadewa berlari ke arah pria tersebut.

Yang dipanggil lantas menoleh. Pria tua itu tampak keheranan saat Sadewa mendekatinya dengan langkah terburu-buru.

"Pak. Bapak tau ke mana orang yang punya rumah ini?" tanya lelaki itu sembari menunjuk ke arah rumah Karin.

Pria ringkih itu mengernyitkan dahi, terlihat bingung. "Maaf Nak. Bapak enggak tau."

Sadewa berdecak samar. Tampak kecewa karena mendengar jawaban dari bapak tua di depannya.

"Ada apa Nak?"

Sadewa menggeleng pelan seraya tersenyum tipis. "Makasih Pak, maaf ngeganggu waktunya."

"Maaf, Nak. Bapak memang jarang lihat pemilik rumah ini. Cuma biasanya bak sampah di depan sini selalu ada isinya. Tapi sudah kurang lebih satu bulan, Bapak nggak pernah ngambil sampah di sini karena baknya selalu kosong."

Kedua kening Sadewa lantas mengerut karena mendengar ucapan pria di depannya.



⭑*•̩̩͙⊱••••✩••••̩̩͙⊰•*⭑



Di depan cermin itu, Obelia menatap pantulan bayangan dirinya yang sedang berdiri, mengenakan baju terusan berwarna putih gading yang menjuntai hingga ke bawah lututnya.

Obelia nyaris tidak pernah mengenakan baju terusan, namun akhir-akhir ini lemarinya dipenuhi oleh pakaian semacam itu karena susah baginya untuk memakai celana. Kedua kaki Obelia sering terasa keram, dan rasanya susah ketika hendak mengenakan celana.

Gadis itu mengikat rambutnya ke belakang. Setaunya orang yang sedang hamil besar selalu mengalami kenaikan berat badan yang cukup drastis. Obelia pikir ia akan melihat lipatan lemak di bawah rahangnya, namun kenyataannya bentuk rahangnya terlihat lebih lancip dari sebulan yang lalu. Kedua tulang pipinya terlihat menonjol dan lebih tirus.

Karena lingkaran bawah matanya yang terlihat hitam, Obelia seperti melihat mayat hidup pada pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.

Menghela napas, Obelia sama sekali enggan untuk menatap ke arah perutnya yang terlihat membuncit, besar dan terasa kencang. Menyentuhnya saja Obelia sangat malas. Sampai sekarang ia masih tidak bisa menerima bahwa ada sesuatu yang hidup di dalam tubuhnya.

Entah kenapa, Obelia sama sekali tidak pernah merasakan rasa sayang pada makhluk yang bahkan belum lahir itu. Di otak gadis itu hanya ada pemikiran buruk, memikirkan bagaimana caranya ia menyingkirkan anak itu tanpa harus membahayakan dirinya.

Obelia membencinya. Pun dengan pemilik darah yang mengalir di tubuh anak tersebut, Obelia benar-benar membenci lelaki itu. Lelaki yang namanya haram untuk ia sebutkan. Entah sejak kapan perasaan benci yang begitu besar itu muncul, Obelia tidak tahu. Hanya saja memori-memori buruk yang terus merasuk ke dalam mimpi gadis itu tanpa sadar menumbuhkan rasa bencinya yang sedikit demi sedikit berubah menjadi besar.

Bodoh sekali. Obelia baru sadar dirinya pernah senaif dan sebodoh itu hanya karena cinta.

Obelia menarik dan menghembuskan napasnya yang akhir-akhir ini terasa berat. Berusaha berjalan ke arah dapur, berniat untuk mengisi perutnya yang masih kosong dengan beberapa potong buah.

Tidak. Obelia sama sekali tidak memiliki niat bahkan hanya secuil, untuk memberi asupan pada janin di dalam perutnya. Hanya saja ia tidak memakan apapun sejak tadi malam, Obelia sengaja ingin menyiksa janinnya, dan berharap bayi tersebut tidak akan bertahan sampai lahir ke dunia.

Sudah berbagai cara Obelia pernah lakukan, berusaha menggugurkan bayinya dari cara yang paling sederhana sampai cara yang paling berbahaya. Namun entah bagaimana caranya bayi tersebut masih bisa bertahan, dan anehnya hal tersebut hanya berdampak buruk bagi kesehatan Obelia.

Akhirnya gadis itu berhenti. Namun rasa benci dan ingin menyingkirkan bayi tersebut masih ada sampai detik ini.

Karenanya Obelia tidak bisa melanjutkan kuliahnya. Obelia merasa ia tidak memiliki masa depan lagi. Hidupnya menjadi tak terarah. Ingin melakukan apa-apa menjadi serba susah karena Obelia merasa malu dengan kehamilannya.

"Bel."

Obelia yang sedang mengunyah sebuah apel merah tanpa memotong atapun mengupasnya lebih dulu lantas menoleh, ia mendapati Bian yang entah sejak kapan muncul, dengan kedua tangan penuh membawa beberapa kantong plastik belanjaan.

Amira tidak membawa Obelia untuk tinggal menetap di Bandung. Setelah membicarakannya pada Robi, akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di Balikpapan bersama dengan Obelia dan juga Bian. Untuk sementara Amira akan menetap di sana sampai anak Obelia lahir. Amira pernah mengatakan bahwa setelah anak itu lahir, Amira yang akan merawatnya seolah anak itu adalah anaknya sendiri.

Tapi untuk saat ini Amira sedang menetap di Bandung karena menemani Robi yang sedang sakit. Sudah lima hari Amira meninggalkan putrinya. Tetapi malam ini wanita itu akan kembali ke Balikpapan, menemani Obelia yang sedang hamil besar. Untungnya Robi sangat pengertian dan tidak pernah memandang buruk Obelia. Bahkan pria sukses itu sesekali menjenguk Obelia, meskipun gadis itu tidak pernah keluar kamar ketika ia datang.

Saat itu Obelia merasa tidak tenang dan sangat takut karena berpikiran bahwa Amira akan berubah setelah tahu ia mengandung seorang bayi.

Nyatanya Amira tidak pernah lagi mengungkit-ungkit hal yang berhubungan dengan Sadewa semenjak Obelia setuju ia berpisah dengan lelaki itu. Tak pernah sedikitpun Amira marah, bahkan wanita itu begitu baik dan sabar menemani Obelia di masa-masa sulitnya. Mengantar Obelia dengan rutin untuk mengecek kehamilannya.

Tak jarang Obelia memergoki ibunya yang diam-diam menangis di malam hari, namun dengan cepat wanita itu akan tersenyum lebar seolah menjadi ibu yang paling bahagia di dunia ketika Obelia menampakkan dirinya.

"Susunya udah lo minum?" tanya Bian sembari berjalan ke arah meja, kemudian meletakkan belanjaannya di atas sana.

Gadis itu lantas tersenyum, kemudian mengangguk pelan.

Bian berniat untuk mencuci tangannya, namun raut wajah lelaki itu perlahan berubah ketika mendapati genangan cairan kental berwarna putih yang belum sepenuhnya hilang di dalam westafel. Kemudian ia menghela napasnya begitu pelan. Lagi-lagi Obelia tidak meminum susunya.

Tanpa berkata-kata, Bian mengambil sekotak susu yang masih baru dari kantong plastik belanjaan tadi. Kemudian menyeduhnya dengan gelas baru menggunakan air hangat.

Sebelumnya, Bian melirik kecil ke arah keranjang buah. Buah-buah di dalam sana sudah terlihat membusuk, pasalnya Obelia tidak memakan buah lain selain apel. Nanti Bian akan menggantinya dengan buah segar yang ia beli tadi.

"Diminum Bel," ucap lelaki itu sembari meletakkan gelas susu hangat tersebut di depan Obelia.

Menghela malas, Obelia menatap Bian tanpa ekspresi. "Baru aja gue minum susu lima menit sebelum lo datang. Gue mual kalau kebanyakan minum susu."

"Gue udah beli yang rasa coklat. Lo mual kan kalau rasa vanilla? Gue sampe rebutan sama ibu-ibu tadi karena stoknya sisa satu. Lo nggak mau ngehargain usaha gue nih?"

Obelia langsung meraih gelas tersebut, kemudian menegaknya dengan gelagat terpaksa. Bian hanya tersenyum kecil, kemudian mengusak pucuk rambut Obelia.

Bian benar-benar takut dan khawatir dengan kondisi fisik maupun mental Obelia. Gadis itu tidak pernah ingin diajak keluar apartemen, kecuali saat mengecek kandungannya. Padahal Bian sudah pernah bilang, tidak ada yang akan mengatakan hal buruk tentang Obelia karena tidak ada satupun orang yang mengenali mereka di sana.

Bian masih ingat bagaimana kacaunya gadis itu saat awal-awal dokter mengizinkannya untuk pulang.

Seharusnya Bian merasa lega dan setidaknya tidak sekhawatir dulu karena sekarang dia tidak pernah lagi melihat Obelia menangis. Tapi entah kenapa Bian malah merasa semakin cemas.

"Lo mau keluar? Cuacanya lagi bagus. Biar gue temenin jalan-jalan."

"Mana bisa. Ini anak pasti ngerepotin lo di tengah jalan."

"Gue nggak pernah ngerasa direpotin tuh sama ponakan gue."

Obelia terkekeh menanggapi ucapan Bian. "Halu lo Bian. Belum lahir udah lo sebut ponakan. Singkirin aja nggak sih? Beban sumpah."

Gadis itu berpegangan pada sisi meja, kemudian berdiri dari kursinya sedikit tergopoh.

Sempat terdiam selama beberapa detik, Bian membantu Obelia untuk berdiri. Obelia sering mengatakan hal semacam tadi. Harusnya Bian tidak perlu kaget lagi. Lelaki itu tersenyum tipis sembari berucap, "gue yakin beban yang lo rasain sekarang bakal terbayarkan setelah anak itu besar nantinya."

Obelia hanya diam, tak menggubris ucapan Bian barusan. Obelia pikir sepupunya itu terlalu banyak berandai-andai.

"Gue bisa sendiri, Bian. Gue cuma mau duduk di sofa."

"Gue juga mau ke sana. Sekalian motongin kuku kaki lo. Harusnya lo bilangin gue. Jangan tunggu kepanjangan."

Obelia tidak bisa memotong kuku kakinya sendiri tanpa dibantu orang lain, karena perutnya yang sudah besar membuat gadis itu kesusahan untuk menekuk kedua kakinya.

"Gue nggak mau ngerepotin lo terus."

Menghela pelan, Bian membantu Obelia duduk di atas sofa. "Demi Tuhan. Mending gue direpotin setiap detik sama lo daripada ngekhawatirin lo yang cuma diam dan nggak pernah ngeluhin apa-apa ke gue."

"Lo tunggu sini, gue ambil penjepit kuku sebentar," ucap Bian sebelum lelaki itu melangkah ke arah kamarnya, mengambil penjepit kuku yang berada di dalam lemari nakas.

"Bel?" Kepala Bian menoleh ke kanan dan ke kiri bersamaan dengan kedua netranya yang bergulir menelusuri seluruh ruangan. Obelia tidak ada di tempatnya.

"Obelia?"

Bian mengenyit ketika mendengar suara gemerisik yang berasal dari kamar Obelia. Lantas dengan cepat lelaki itu pergi ke arah sumber suara. Jantung Bian berdebar kencang saat melihat pintu kamar mandi Obelia yang terbuka, bersamaan dengan suara rintihan gadis itu yang terdengar dari dalam sana.

"Kenapa Bel?!" tanya Bian panik saat melihat Obelia menahan sakit, satu tangan gadis itu berpegangan pada tembok di sebelahnya.

Gadis itu menggeleng lemas sambil memegangi perutnya yang terasa keram luar biasa.

"Shit."

Tenggorokan Bian tercekat ketika melihat cairan bening yang mengalir di kedua kaki Obelia. Tampaknya ketuban gadis itu pecah. Yang membuat Bian semakin panik adalah tidak seharusnya hal itu terjadi karena kandungan Obelia masih memasuki bulan ketujuh.



  ҉
  ҉
  ҉
  ҉
  ҉
  ҉

18 April 2022

Continue Reading

You'll Also Like

189K 17.5K 30
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
43.8K 5.7K 7
>>> Lanjutan dari cerita berjudul; Sherlock ... Sudah hampir tiga tahun Starla tinggal di luar negeri, kini ia memutuskan untuk kembali ke Tanah Air...
517K 44.8K 48
Tinggal satu apartemen bersama dengan Ryxon Walsh menjadi sumber bencana bagi Ailee Dawson. Bagaimana penampilan lelaki tinggi itu terlihat begitu be...
1.7M 41.5K 32
⚠️ SEBAGIAN PART DI HAPUS⚠️ Bagaimana rasanya mencintai seseorang namun seseorang itu tidak pernah menghargai cinta kita? Sakit bukan? Itu lah yang s...