EL JUGADOR

By Hanraaa

2.9M 256K 50.3K

TELAH DIBUKUKAN "Ini perasaan gue yang pacarnya, kenapa berasa jadi selingkuhan dah?" -Obelia Andara (End) Pu... More

New Story
⚠️WARNING⚠️
Cast
00 : Prolog
01 : El Jugador
02 : El Jugador
03 : El Jugador
04 : El Jugador
05 : El Jugador
06 : El Jugador
07 : El Jugador
08 : El Jugador
09 : El Jugador
10 : El Jugador
11 : El Jugador
12 : El Jugador
13 : El Jugador
14 : El Jugador
15 : El Jugador
16 : El Jugador
17 : El Jugador
18 : El Jugador
19 : El Jugador
20 : El Jugador
21 : El Jugador
22 : El Jugador
23 : El Jugador
24 : El Jugador
25 : El Jugador
26 : El Jugador
27 : El Jugador
28 : El Jugador
29 : El Jugador
30 : El Jugador
31 : El Jugador
32 : El Jugador
33 : El Jugador
34 : El Jugador
35 : El Jugador
36 : El Jugador
37 : El Jugador
38 : El Jugador
39 : El Jugador
40 : El Jugador
41 : El Jugador
43 : El Jugador
44 : El Jugador
45 : El Jugador
46 : El Jugador
47 : El Jugador
48 El Jugador
49 El Jugador
50 El Jugador
51 : El Jugador
52 : El Jugador
53 : El Jugador
54 : El Jugador
55 : El Jugador
56 : El Jugador
57 : Epilog
Info Harga + Spoiler novel El Jugador
PO EL JUGADOR
43-44 : El Jugador (What If)
43-44 (2) : El Jugador (What If)
43-44 (3) : El Jugador (What If)
RAJA SPECIAL CHAPTER : 01
RAJA SPECIAL CHAPTER : 02
RAJA SPECIAL CHAPTER : 03

42 : El Jugador

35.8K 3.2K 562
By Hanraaa

Maaf ges, tadi kepencet publikasi padahal belum selesai hehe.
Btw seneng deh, kalau updatenya lama votenya malah lebih banyak. Kayaknya kalau aku update sebulan sekali mantap ga sih?

















Bercanda besti🤣





Happy Reading!!!




Obelia menutup pintu utama dengan perlahan, berusaha sebisa mungkin agar tak membuat suara. Sadewa meneleponnya, dan meminta gadis itu untuk keluar.

Sembari melirik ke sekitar untuk memastikan tidak ada siapa-siapa di sana, Obelia melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Cukup memakan waktu jika pergi keluar pagar dengan berjalan kaki.

Langkah Obelia memelan saat mendapati pagar yang menjulang tinggi di depannya tidak tertutup sepenuhnya. Lantas gadis itu keluar sembari menengok ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Sadewa.

Secara spontan kedua sudut bibir Obelia mengembang saat kedua matanya menangkap perawakan tubuh Sadewa yang tengah berjalan menghampirinya, dengan seulas senyum khas yang terukir di wajahnya.

"Kenapa?" tanya Obelia.

Sadewa mengangkat satu tangan kananya yang memegang sebuah kunci. "Wanna go for a ride?"

Agak kaget, sepasang kening Obelia terangkat. Gadis itu otomatis mengecek jam yang tertera di layar ponselnya.

"Coba liat ini jam berapa," titah perempuan itu sembari mengangkat ponsel, memperlihatkan layarnya yang tertera pukul 00.23 pada Sadewa.

"Kamu nggak mau? Padahal aku udah susah-susah nyari momen yang pas." Nada bicara Sadewa terdengar kecewa.

"Mau ke mana emangnya?"

"I wanna show you something."

Dahi Obelia sedikit mengerut karena Sadewa berbicara setengah-setengah. "Mau kasih liat apa?"

"Makanya ikut dulu. Kalau kamu nggak mau, ya ... aku nggak bisa kasih tau. Kamu harus liat langsung."

Menghela napas samar seraya melipat kedua tangannya, Obelia menatap Sadewa gemas sembari mengulum bibir. Lelaki itu sengaja membuatnya penasaran. Kepala Obelia berbalik, mengecek ke belakang. Kemudian ia menggeser pagar besar di belakangnya hingga tertutup sempurna.

Sadewa tersenyum menang saat Obelia berjalan mendahuluinya sembari menarik tangannya.

"Ayo," ucap gadis itu.



⭑*•̩̩͙⊱••••✩••••̩̩͙⊰•*⭑



Obelia kira mereka akan membutuhkan waktu yang lama agar bisa sampai ke tempat yang ingin didatangi oleh Sadewa. Ternyata di daerah sana terdapat perumahan yang masih sepi, seperti baru dibanguni beberapa rumah di sekitarannya.

Perumahan tersebut sepertinya baru ingin dibuat semacam perumahan, terlihat dari lingkungannya yang masih berbentuk hutan. Jarak dari rumah ke rumah lainnya lumayan jauh.

Masih banyak pohon besar yang tumbuh rindang, berjejer di sisi jalan. Jalananannya pun masih berbatu, belum berbentuk aspal. Bahkan mereka sempat melewati jalanan yang sedikit curam, sampai akhirnya sampai di tempat yang Sadewa katakan.

Obelia sempat merasa ngeri sendiri karena di setiap jalan hanya terdapat sedikit penerangan, itupun hanya berasal dari lampu rumah-rumah di sana. Tidak semua lampu menyala, itu tandanya tidak semua rumah ada penghuninya.

Namun Sadewa terlihat biasa saja, seolah lelaki itu sudah terbiasa melewati jalanan di sana. Sampai akhirnya Obelia bisa bernapas lebih lega dan merasa tenang ketika mereka sampai di sebuah rumah dengan penerangan yang cukup terang. Sejauh ini, rumah tersebut adalah rumah yang paling besar yang Obelia lihat selama melewati jalan di sana.

"Kamu bawa motor lambatnya ngalah-ngalahin Bara tau nggak?" Obelia turun dari atas motor setelah Sadewa mematikan mesinnya.

"Jalanannya banyak batu, mana masih licin. Kalau aku sendiri juga biasanya cepat, cuma sekarang lagi bawa kamu."

Sadewa memarkirkan motornya di depan halaman rumah tersebut. Pasalnya halaman rumah itu masih dipenuhi oleh rumput liar sebatas mata kaki dan tanahnya lumayan becek. Agak susah jika Sadewa memarkirkan motornya di sana.

"Wa. Ini rumah siapa?"

"Rumah Papa."

Obelia menoleh, ekspresinya tampak terkejut. "Serius?"

Sadewa menatap gadis itu dengan seulas senyum tipisnya sembari mengangguk sebagai jawaban.

"Rumah Papamu ada berapa?"

"Cuma dua. Yang biasa kamu datangin, sama di sini. Aku udah pengen ngajak kamu ke sini dari kemarin-kemarin, tapi baru kesampaian sekarang."

Sadewa melangkah lebih dulu di depan Obelia, masuk ke dalam halaman rumah tersebut sembari menuntun perempuan di belakangnya.

"Hati-hati," peringat Sadewa sembari memegangi tangan Obelia.

Mereka pun masuk ke dalam rumah setelah Sadewa membuka kuncinya. Rumah tersebut tidak sebesar rumah Sadewa yang satunya. Meskipun minimalis, tetapi saat melihat ke dalam, interiornya terlihat tidak murahan. Beberapa perabotan di sana didominasi oleh warna coklat tua. Dipadu dengan bangunannya yang berwarna sage green, membuat rumah tersebut terlihat begitu asri.

"Sebelumnya kamu udah sering ke sini?" tanya Obelia, sembari melihat ke arah Sadewa yang tengah menyalakan saklar lampu.

"Dulu iya, sekarang udah enggak pernah. Terakhir ke sini waktu masih kelas tiga SMA. Itupun karena kabur, gara-gara berantem sama Papa."

"Kalau ngambek mainnya kabur ya."

"Nggak ngambek sebenarnya. Berusaha ngehindarin pukulan maut aja." Sadewa terkekeh pelan di akhir kalimat.

Sadewa masih ingat benar betapa menyeramkannya Doni yang amarahnya meledak, karena tahu anaknya membawa rokok ke sekolah. Saat itu Sadewa sedang nakal-nakalnya. Ditambah lagi lelaki itu kepergok oleh Doni menyembunyikan beberapa kaleng bir di bawah kolong ranjangnya.

Obelia memisahkan diri dari Sadewa. Ia berkeliling, melihat-lihat seisi rumah tersebut. Sesekali bibirnya terbuka, berdecak kagum melihat interior klasik yang membuat rumah tersebut terlihat seperti rumah idaman. Obelia yakin, orang yang mendesain rumah tersebut adalah orang yang berselera tinggi. Sederhana, namun terkesan mahal.

Ada lima menit lebih, Obelia melihat-lihat. Sampai akhirnya Obelia mendengar suara Sadewa yang memanggil namanya, lantas gadis itu pergi ke sumber suara.

"Kamu jarang ke sini, tapi kok rumahnya masih rapi? Keliatan kayak ditinggalin." Obelia menatap Sadewa bingung.

"Kayaknya Papa yang bersihin. Biasanya paling engga Papa sebulan sekali ke sini. Makanya rumahnya terawat. Kata Papa atapnya sempat bocor, tapi langsung dibaikin sama dia."

Bibir Obelia membulat, gadis itu mengangguk.

"Sini."

Sadewa meraih tangan gadis itu, kemudian membawanya ke bagian belakang rumah. Terdapat sepasang pintu yang tingginya berukuran sama dengan pintu utama. Bedanya pintu tersebut terbuat dari kaca, sehingga jika tirainya dibuka, pemandangan teras belakang akan langsung terlihat.

Sadewa membuka pintu tersebut, kemudian menuntun gadis di belakangnya berjalan ke luar teras. Terdapat anak tangga yang terbuat dari kayu, kemudian ada papan yang memanjang sebagai pijakan yang menyambung dengan teras belakang rumah tersebut. Mengarah pada danau kecil yang berada tak jauh di belakang rumah.

"Woahh." Obelia berdecak kagum.

"Beautiful, isn't it?"

Gadis itu mengangguk seraya tersenyum sebagai responnya pada Sadewa.

Suara gemericik air pada danau tersebut membuat suasananya menjadi teduh. Ditambah lagi masih terdapat banyak pohon rindang dan semak belukar, juga beberapa bunga liar yang tumbuh di sana, membuat pemandangannya masih terlihat asli.

"Harusnya dulu aku pindah ke sini. Papa sengaja ngebangun rumah di tempat ini karena Mama suka ngeliat pemandangan. Ini rumah impian Mamaku sebenarnya. Tapi waktu itu masih belum sepenuhnya selesai, eh mereka malah pisah duluan."

Sadewa masih setia menggandeng lengan kekasihnya, menaiki anak tangga itu satu persatu, sampai akhirnya mereka sampai di ujung papan tanpa pembatas yang mengarah langsung ke danau.

Menghening Obelia setelahnya. Gadis itu menatap ke arah sepasang sorot mata Sadewa yang terlihat sedikit bercahaya karena pantulan cahaya bulan malam itu. Entah memang efek sinar rembulan, atau karena memang kedua mata Sadewa yang tiba-tiba terlihat lebih lembab dari sebelumnya.

"Waktu itu perasaan kamu gimana?" Obelia bertanya pelan.

Sadewa menghembuskan napasnya samar. "Hancur. Apalagi aku anak tunggal, nggak ada saudara. Jadi harapanku untuk bahagia ya cuma di Papa sama Mama. Tapi Mama lebih milih sahabatnya daripada aku sama Papa."

"Jahat nggak sih?" Sadewa menengok, menatap Obelia.

Gadis itu hanya diam. Tidak menjawab apapun.

Setelahnya lelaki itu tersenyum tipis. "Tapi sekarang udah biasa aja, rasanya perasaanku ke Mama udah mati. Mungkin karena udah nggak pernah ketemu."

Obelia pernah mendengar sebuah ungkapan bahwa apa yang diucapkan lewat mulut belum tentu mencerminkan apa yang ada di dalam hati. Mungkin saat ini, Sadewa merasakan hal itu. Obelia bisa merasakannya dari genggaman tangan Sadewa yang mengerat ketika lelaki itu menceritakan perihal ibunya.

"Kamu tau? Papa dulu nggak keras sama aku. Mungkin karena aku anak satu-satunya, jadi kemauanku selalu diturutin. Nggak bagus sih sebenernya. Beda sama Mama. Mamaku orangnya keras, jauh lebih keras dari Papaku sekarang. Kalau marah selalu lari ke fisik, walaupun cuma kesalahan kecil, pasti aku selalu dapat lebam. Entah itu di kaki atau di tangan. Makanya dulu Papa sama Mama sering berantem. Apalagi aku bandel. Tapi nakalnya masih wajar buat anak cowok umur lima tahun."

"Untungnya sekarang mereka udah pisah ...."

Obelia masih mendengarkan dengan seksama, tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun dari Sadewa. Obelia baru tahu cerita tersebut. Tiba-tiba saja gadis itu merasa iba.

Sadewa menoleh ketika merasakan sebuah kecupan singkat pada punggung tangannya.

"Maaf, harusnya aku bawa kamu ke sini biar bikin kamu senang. Tapi aku malah cerita yang bikin kamu nggak nyaman."

Mendengar itu, Obelia menggeleng cepat. "Aku malah senang kalau kamu mau cerita. Aku jadi lebih tau lagi tentang kamu."

Untuk beberapa Saat, Sadewa memberikan atensinya pada Obelia sepenuhnya. Sadewa sering merasa berdosa ketika melihat gadis itu tersenyum. Sadewa tahu Obelia menyayanginya, tapi dia tidak tahu, ketika bersamanya gadis itu merasa bahagia atau tidak.

Obelia melepas tautan tangannya pada Sadewa. Kemudian merendahkan tubuhnya, duduk di tepi papan dengan kedua kaki yang bergelantungan. Gadis itu menunduk, memperhatikan pantulan bayangannya yang bergelombang pada permukaan danau di bawahnya. Malam ini bintang di atas langit tidak sebanyak malam kemarin. Suasana di sana sangat hening, hanya terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup oleh angin malam dan suara jangkrik yang saling bersahutan.

"Wa. Di sini nggak ada penunggunya kan?" tanya gadis itu takut-takut. Pasalnya jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Memang tidak terlalu gelap karena di sana banyak penerangan. Tapi tetap saja kondisinya yang sunyi membuat Obelia sedikit was-was.

Kepala Obelia menoleh saat tak ada sahutan dari Sadewa. Kedua mata gadis itu membesar saat melihat tubuh Sadewa yang entah sejak kapan sudah separuh naked dan sekarang lelaki itu menanggalkan celana panjangnya.

"Ih! Mau ngapain?!" seru Obelia sembari membuang pandangannya ke samping, menutupi sisi wajahnya dengan telapak tangan.

Kedua mata Obelia otomatis terpejam ketika percikan air pada danau mengenai wajah dan juga bajunya. Sadewa menyeburkan dirinya ke dalam danau tersebut. Tak lama kepalanya muncul ke permukaan, mengambil oksigen, Sadewa menyisir rambutnya yang kini sudah basah ke arah belakang, tersenyum ke arah Obelia.

"Wanna join?"

"Seriously? Tengah malam begini?"

"Nggak dingin Bel. Airnya hangat kalau malam."

"Tapi ini udah malam, aku juga nggak bawa baju."

"Dilepas aja kalau gitu."

Obelia melotot. "Gila," ujarnya yang membuat Sadewa tertawa.

"Kayaknya di lemari ada stok baju. Biasanya Papa sengaja naruh baju buat jaga-jaga. Kayaknya ada bajuku juga."

"Ayo, kita cuma sebentar di sini. Habis itu balik ke villa," ajaknya lagi.

Obelia terlihat ragu dan enggan untuk turun.

"Nggak ada ular atau apa gitu?"

"Nggak ada, danau ini aman. Dulu aku sering berenang di sini," ujar Sadewa berusaha meyakinkan.

"Ck, kamu berenang sama Laksewara mau. Sama aku pakai mikir-mikir dulu."

Bagus. Sadewa berhasil membuat Obelia kalah telak.

"Nggak terlalu dalam kan? Aku nggak terlalu bisa berenang."

Kening Sadewa terangkat. "Nggak bisa berenang? Serius?" Nada Sadewa sedikit mengejek.

"Nggak usah ngolok mukanya, ntar aku cakar mampus."

Terdengar suara tawa yang keluar dari mulut Sadewa. Lantas lelaki itu berenang mendekat ke arah Obelia. Sadewa mengulurkan kedua tangannya, mengangkat tubuh Obelia untuk membantunya turun. Lantas gadis itu berpegangan pada kedua bahu Sadewa.

"Kalau nyakarnya di punggung aku nggak keberatan."

Obelia hanya menatap lelaki itu datar. Ia rasa Sadewa perlu membawa otaknya ke laundry untuk dicuci.

"Zayn. Ini kalau kamu lepas aku bakalan cosplay jadi batu."

Sadewa tertawa lagi. "Aku nggak percaya kamu nggak bisa berenang. Ini modus biar bisa pegangan kan?"

"Ngarang! Aku beneran nggak bisa— HEH, JANGAN DILEPAS!"

Obelia berteriak panik, menarik tangan Sadewa.

"Berenang nggak sesusah itu. Kamu kalau mau modus nggak usah kode-kode."

Pekikan gadis itu terdengar lagi ketika Sadewa sengaja melepas tangannya. "Sadewa! Ah kamu mah! Kamu yang maksa ikutan juga!"

"Aih, jago balapan tapi nggak bisa berenang. Cupu kamu Bel."

"Wa! Aku beneran nggak bisa berenang!" teriak Obelia panik, berusaha untuk berpegangan pada papan di sebelahnya. Letaknya yang terlalu jauh membuat kepala gadis itu sesekali tenggelam.

"Paksa berenang Bel. Biar bisa."

"Nggak bisa!"

Sadewa hanya tertawa melihat Obelia berpura-pura panik sesekali menenggelamkan tubuhnya seperti itu. Namun tawa lelaki itu perlahan memudar saat tubuh Obelia tak lagi muncul ke permukaan selama beberapa detik.

"Bel." Raut wajah Sadewa menjadi kaku karena Obelia belum juga memunculkan dirinya.

"Obelia!"

Sadewa panik lantas menyelam ke dalam, kemudian mengangkat tubuh Obelia naik ke permukaan. Dada lelaki itu berdegup kencang karena kedua mata Obelia yang tertutup dan gadis itu tak merespon apapun. Sadewa kira Obelia hanya bercanda.

"Bel! Obelia!"

Kedua mata Sadewa terpejam karena tiba-tiba Obelia menyemburkan air pada wajah lelaki itu. Gadis itu tertawa puas melihat Sadewa yang meraup wajah karena semburannya.

"Kan, modus."

"Aku beneran tenggelam, bodoh." Tangan Obelia memukul bahu Sadewa.

Lelaki itu terkekeh pelan. "Maaf," ujarnya separuh berbisik sembari menarik pinggang gadis itu agar mendekat padanya.

"Nanti aku mati beneran kamu nangis, aku ketawain."

"Emang bisa?"

"Bisa, jadi kunti dulu. Terus aku teror."

Sadewa hanya tersenyum, sembari menatap ke arah Obelia yang tengah mengomel. Perlahan senyuman lelaki itu memudar, masih setia memandangi kekasihnya.

"Bercandanya jangan begitu lagi ya?" Sadewa menggeser retinanya, menatapi tiap inci wajah Obelia lamat-lamat sembari menyelipkan rambut gadis itu ke belakang telinga.

Untuk sesaat, kedua manusia itu menghening. Saling menatap dan menyelami pikiran masing-masing. Entah kenapa, Sadewa merasa takut.

"Keberadaan bintang nggak cukup untuk langit biar terlihat indah. Dia butuh bulannya sebagai penyempurna."

Melihat raut wajah Sadewa yang berubah, Obelia tersenyum tipis. "Aku nggak bakal kemana-mana. Rumahku, tempatku pulang ada di sini," ucapnya sembari menunjuk dada Sadewa.

Apapun kondisinya, hati Obelia selalu tahu ke mana tempatnya untuk kembali. Mau dalam keadaan terburuk sekalipun, jalan kembalinya selalu sama dan tidak akan pernah berubah. Sadewa mungkin memang sering menorehkan luka, tapi dia sekaligus obat bagi Obelia.

Entah pada akhirnya lelaki itu berperan sebagai obat penyembuh, atau hanya sekadar obat penahan nyeri, Obelia tidak tahu.

Sadewa merapatkan tubuh Obelia, menempel pada dadanya, sengaja mengikis jarak. Pandangan Obelia menurun saat lelaki itu berbisik, tepat di depan bibirnya. "I'm really gonna love you till i die, Obelia."

Perlahan, sepasang mata Obelia terpejam saat merasakan hidung Sadewa yang menyentuh ujung hidungnya. Namun setelahnya gadis itu tersentak, karena mendengar suara gemuruh akibat awan yang beradu di atas langit.

Obelia membuka mata, mendongak ke atas, kemudian setitik air mendarat di pipinya. Bulan tak lagi terlihat, tergantikan oleh awan kelabu yang membentang di atas sana.

Lalu ia menatap ke arah Sadewa. "Hujan."

Belum ada sedetik setelah Obelia berucap, air hujan turun, perlahan menjadi begitu deras. Lantas Sadewa melindungi kepala gadis itu dengan tangan besarnya, lalu membawa Obelia naik ke daratan. Kedua manusia itu berlari ke dalam rumah dengan pakaian mereka yang telah basah.



⭑*•̩̩͙⊱••••✩••••̩̩͙⊰•*⭑



Obelia kini tertidur dengan posisi menyamping, sedikit meringkuk dengan bad cover yang membungkus tubuhnya. Tadi dia sempat pusing karena ternyata tidak ada satupun baju di dalam lemari. Kata Sadewa, sepertinya Doni sudah membawa baju-baju itu pulang.

Terpaksa Obelia hanya mengenakan jaket kulit Sadewa yang untungnya lelaki itu sempat lepas dan letakkan di atas sofa. Baju dan celana gadis itu terlalu basah untuk dipakai.

Rencananya Obelia akan langsung menggantinya ketika pulang ke villa. Nyatanya hujan di luar malah semakin deras dan tak kunjung berhenti. Terpaksa mereka bertahan di rumah itu.

Obelia agak kepikiran dengan Sadewa. Lelaki itu hanya mengenakan celana jeansnya yang basah karena terkena hujan. Sementara itu dia tidak mengenakan apa-apa sebagai atasan.

Dan sekarang Sadewa tidur di sofa ruang tengah, sedangkan Obelia berada di dalam kamar. Kamar satunya tidak dapat dipakai karena belum memiliki ranjang. Tadinya Obelia ingin memberikan bed cover yang sekarang ia pakai kepada Sadewa. Tapi lelaki itu bersikeras menolak, dan mengatakan bahwa ia sama sekali tidak kedinginan. Padahal hawa malam ini semakin terasa dingin, hingga menusuk sampai ke tulang karena hujan lebat di luar sana.

Gadis itu sengaja mengunci pintu kamarnya karena ia menjemur baju, celana, dan juga bra-nya di atas kursi.

Obelia yang sudah berada di alam mimpi itu tersentak, terkejut setengah mati dengan kedua mata merahnya yang terbuka lebar, terbangun karena mendengar suara pecahan kaca yang berasal dari arah luar.

Lantas Obelia mendudukan diri, kemudian menyingkap selimutnya sembari turun dari atas ranjang dengan perasaan khawatir. Dia berjalan keluar setelah membuka pintu, seraya menarik ujung jaket Sadewa yang hanya menutupi tubuh bagian atasnya.

"Sadewa?"

Tak ada sahutan dari Sadewa, membuat Obelia mempercepat langkahnya. Gadis itu sedikit tergesa, berlari kecil ke ruang tengah. Tercetak kerutan dalam di dahi Obelia saat mendapati sebuah pecahan botol kaca di atas lantai yang tak jauh dari tempat Sadewa duduk.

"Kamu ngapain? Kok belum tidur?" Sepasang kening Obelia tertaut melihat Sadewa bersandar pada punggung sofa dengan sebuah gelas kaca yang telah kosong, lelaki itu pegang di atas paha.

"Maaf, kamu jadi kebangun." Suara lelaki itu mengalun pelan, nyaris berbisik.

"Jangan berdiri, kakimu diangkat," titah Obelia saat Sadewa hendak beranjak. Pasalnya terdapat banyak pecahan kaca di dekat kaki Sadewa.

Obelia pergi ke dapur, berniat mengambil kain, plastik, atau apapun itu untuk membuang kepingan kaca tersebut. Setelah selesai membersihkannya sekaligus mengelap lantai, Obelia kembali ke ruang tengah.

Tubuhnya merunduk, Obelia mendekatkan wajah, mengendus napas Sadewa.

"You're drunk."

Sadewa menggeleng dengan kedua matanya yang terasa berat, memandang Obelia dengan sorot mata redup, kemudian menyunggingkan senyumnya.

"No, i'm not," ucap lelaki itu dengan nada rendahnya sembari memajukan wajah, mencoba untuk mencium Obelia.

Obelia lantas beringsut mundur, tangannya bergerak menahan dahi Sadewa. "Enggak apanya? Kamu juga ngapain sih pake minum jam begini?" Gadis itu merebut gelas di tangan Sadewa, kemudian meletakkannya di atas meja. "Aku kira kamu udah tidur."

"Nggak bisa, dingin." Sadewa meraih pinggang Obelia, membuat sang empunya terhuyung namun masih bisa menahan keseimbangan. Dia memeluk tubuh Obelia, lalu mengusakkan wajah pada perut gadis itu. Sadewa minum karena berniat untuk menghangatkan tubuhnya, tapi malah bablas satu botol.

"Sekarang malah panas ...." racaunya dengan suara parau.

"Kamu ngehabisin satu botol, gimana nggak kepanasan?"

Sadewa semakin mengeratkan pelukannya. "Bel ... aku nggak tahan. Panas." Satu tangannya terangkat, meraih resleting jaket Obelia. "Kamu nggak ngerasa gerah?"

Mampus sudah. Tampaknya Sadewa benar-benar teler. Wajah lelaki itu terlihat merah sampai ke leher.

Obelia dengan sigap menahan tangan lelaki itu, kemudian menjauhkan diri. "Kamu lagi mabuk, mending sekarang kamu tidur."

Sadewa hanya bergeming sembari menatap Obelia yang meraih bantal di sofa lain, menatap gadis itu begitu lamat dengan pandangan sayunya yang separuh redup.

"Kalau hujannya udah reda nanti kamu aku bangunin. Kita langsung balik ke villa, takut dicariin yang lain." Obelia meletakkan bantal itu di ujung sofa.

Saat ia ingin membantu Sadewa berbaring, lelaki itu lebih dulu menahan lengannya. Menariknya sedikit kasar hingga Obelia terjatuh di atas pangkuan Sadewa.

"Sadewa." Obelia memelas, kedua tangan gadis itu sudah menahan bahu Sadewa. "Aku mau istirahat."

"I'm sorry. I can't hold it anymore." Sadewa berbisik.

Tangan Sadewa berpindah, mengusap punggung lalu bergerak ke tengkuk Obelia. Lelaki itu menghirup cerukan leher Obelia hingga aroma yang membuatnya candu itu memenuhi paru-paru sampai menguap ke otaknya.

Sudut mata Obelia berkerut, tak sengaja terpejam karena sentuhan hangat bibir Sadewa yang mendarat di leher dan rahangnya. Perlahan namun pasti, bibir Sadewa berpindah di atas bibir Obelia, memagutnya sedikit lebih kasar daripada biasanya.

"Bel ...." Ekspresi Sadewa terlihat protes karena Obelia tak membalasnya.

Obelia menggeleng kuat, menutup bibirnya serapat mungkin. Obelia takut Sadewa akan lepas kendali jka ia memberi lelaki itu cela. Dia tak yakin Sadewa bisa berhenti dengan kondisi tidak sepenuhnya sadar karena di bawah pengaruh alkohol.

Ingin menjauh, tetapi tangan Sadewa menahan tubuhnya begitu kuat.

Tak ingin berhenti, ego dan nafsu yang mengontrol Sadewa membuat dirinya beranjak sembari menyelipkan tangannya bawah lipatan kaki Obelia, melingkarkan kedua kaki perempuan itu pada pinggangnya. Sadewa melangkah ke arah kamar sembari membawa tubuh Obelia seolah tidak membawa beban apapun.

Obelia meringis ketika tubuhnya dijatuhkan di atas ranjang oleh Sadewa sedikit kasar. Gadis itu langsung mendudukkan diri di tepi ranjang, menahan lengan Sadewa yang hendak mendekat ke arahnya.

"Zayn ... you're drunk." Kepalanya menggeleng kuat. Jantung gadis itu berdebar, merasa takut. Menatap Sadewa dengan pandangan memohon.

Kedua sudut bibir Sadewa terangkat, tersenyum ke arah Obelia dengan tatapan rendahnya. "Aku sadar sama apa yang aku lakuin sekarang," ucapnya sembari mengusap bibir Obelia yang terlihat basah dan memerah dengan ibu jarinya, akibat dirinya yang memagut bibir gadis itu sedikit tak pakai hati.

Jantung Obelia otomatis berdegup semakin kencang sebagai reaksi saat tangan Sadewa mencengram lembut permukaan lehernya, membuat kepala gadis itu terdongak, lalu tubuhnya terbaring sempurna ketika lelaki itu mendorongnya secara perlahan.

Sadewa merangkak ke atas ranjang, setelahnya ia berhenti ketika sudah berada di atas gadisnya. Sadewa menegakkan tubuhnya dengan kedua lutut yang bertumpu di antara tubuh Obelia.

Obelia memalingkan wajahnya yang terasa memanas saat melihat Sadewa tersenyum penuh arti ke arahnya sembari melepaskan ikat pinggang di celana jeansnya yang masih lembab karena terkena hujan. Sepertinya kemungkinan bagi Obelia untuk menghindar sangat kecil.

Lantas perempuan itu beringsut mundur dengan satu kaki yang mendorong tubuhnya sendiri, mengulurkan tangan untuk mematikan lampu tidur yang berada di atas nakas.

Tangan Obelia hampir berhasil menarik saklar lampu tersebut, namun pergerakan Sadewa yang lebih gesit membuat niat gadis itu kandas. Ia menangkap kedua pergelangan tangan Obelia, menahannya di atas kepala perempuan itu dengan satu tangan.

"Zayn ...." Wajah Obelia memanas, merasa malu setengah mati.

Sadewa tak menggubris Obelia, ia sibuk menurunkan resleting jaket miliknya yang melekat di tubuh gadis itu.

Napas Obelia mulai memburu saat merasakan sentuhan tangan Sadewa pada sisi wajahnya. "I wanna see when you're blushing ..."

Tangan lelaki itu masih bergerak, berpindah meraba perut ratanya yang mulai naik turun tak beraturan. Sadewa mengusap perut yang berukuran sama dengan telapak tangan besarnya itu dengan gerakan perlahan, sesekali mencengkramnya dengan lembut, membuat darah Obelia berdesir hebat.

" ... i wanna see your whole body ..."

Kedua manik legam Obelia yang menyelami tatapan seduktif Sadewa kini terpejam, sekujur tubuhnya merinding bukan main dengan keningnya yang berkedut saat sentuhan lelaki itu mulai jauh, membuat akalnya semakin meluap.

Sadewa tersenyum saat mendengar napas berat bercampur lenguhan samar mulai keluar dari bibir Obelia yang terbuka kecil.

Kemudian lelaki itu merunduk, berbisik hingga suara beratnya menguar ke dalam telinga Obelia yang entah sejak kapan sudah merah padam. "... i wanna see yours with the lights on."

"Do you trust me?"

Obelia yang awalnya menolak keras, kini tanpa sadar menganggukkan kepalanya pelan. Antara pasrah dan terbuai.

Malam itu, waktu terasa berputar begitu lambat. Suara lenguhan kedua insan itu memenuhi seluruh ruangan, bercampur dengan suara derasnya rintik hujan yang turun dari bumantara membasahi seluruh bentala. Sadewa membuat fantasi Obelia serasa diterbangkan ke langit ketujuh karena sentuhan yang diberikannya pada setiap inci tubuh gadis itu.

Untuk yang kedua kalinya, Sadewa berhasil membuat Obelia menggila dengan mengelu-elukan namanya seorang di bawah kukungannya.




⭑*•̩̩͙⊱••••✩••••̩̩͙⊰•*⭑



Kedua manik legam Sadewa tampak bersinar, akibat pantulan cahaya lampu tidur yang remang-remang. Sepasang mata lelaki itu kini terbuka dengan kesadaran yang sepenuhnya kembali.

Sadewa menarik selimut yang mereka pakai, sengaja menutupi tubuh gadisnya sampai ke bagian pundak. Hujan telah mereda, hanya terdengar suara sisa rerintikan yang menetes dari daun pepohonan.

Mereka tak berhenti selama tiga jam lebih. Sadewa menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan kurang lebih pukul empat dini hari. Lelaki itu sadar ia sedikit lebih brutal daripada sebelumya.

Obelia terlihat begitu kelelahan. Gadis itu tertidur dengan napasnya yang naik turun secara beraturan. Sadewa yang sama sekali tak memberi jeda membuat seluruh tulang Obelia terasa begitu sakit dan ngilu, seolah bisa remuk kapan saja. Dan kini ia menatap sendu ke arah punggung sempit Obelia yang saat ini memunggunginya dengan perasaan bersalah.

Sadewa mengulurkan tangannya, memainkan jemari kokohnya di atas pundak gadis itu. Dia menggeser telunjuknya seolah menuliskan namanya di atas sana. Dahi lelaki itu mengernyit, lantas menyentuh leher Obelia yang terasa panas di telapak tangannya.

Sejujurnya Sadewa selalu merasa berdosa setelah melihat tubuh Obelia yang tampak kelelahan karena perbuatannya. Sekuat apapun berusaha, pada akhirnya lelaki itu selalu gagal dalam menahan diri.

Apa Sadewa merasa menyesal? Sangat. Tapi dia tahu dirinya tidak akan bisa melepas gadis itu.

"Bel," panggilnya pelan.

Sadewa menggoyangkan tubuh gadis itu, mendadak khawatir. "Obelia."

Karena merasakan guncangan kecil pada tubuhnya, Obelia langsung terbangun, namun tak membuka kedua mata.

"Obelia ...."

"Hmm?" gumamnya lemas.

"Kamu sakit?"

Obelia menggeleng lelah.

"Tapi badanmu panas Bel."

Bibir Obelia mengerang kecil. Merasa jengkel karena Sadewa mengganggu tidurnya. Belum ada setengah jam ia terlelap, kini terbangun lagi.

"Aku cuma capek, jangan dipikirin," ucapnya dengan suara parau sembari menyingkirkan tangan Sadewa yang berada di pundaknya.

"Bel."

"Obelia."

"Sadewa ...." Obelia mengeluh lemas, merasa sangat letih. Lelaki itu terus-terusan mengganggunya.

Kedua mata Obelia terbuka meski terasa sangat berat. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya, sedikit meringis, menahan nyeri di mana-mana, membuat selimut yang menutupi tubuh Sadewa sedikit tersingkap.Otomatis atensi Obelia teralihkan ke arah serangkai ukiran nama di dada prianya. Lalu berpindah menatap lurus ke arah manik legam Sadewa.

"Kenapa?"

Sadewa tak langsung menjawab, untuk sejenak ia menghening. "Aku minta maaf."

Obelia menghela lelah. "Kamu nggak bosan ngomong begitu? Aku nggak marah, jadi jangan minta maaf terus."

"Aku ngerasa ... aku pacar yang buruk. Kita udah hampir sembilan bulan sama-sama, tapi aku masih nggak tau banyak tentang kamu."

"Aku ngerasa menyesal karena baru tau kamu punya trauma masa kecil sama Ayahmu. Kamu benci ayahmu, tapi kenapa kamu masih mau bertahan sama aku Bel?"

Untuk beberapa detik, Obelia tak bersuara. Ia pikir pasti Amira yang menceritakan perihal tersebut pada Sadewa.

"You're not my father." Tangan kanan Obelia terulur, menyentuh rahang tegas prianya. Mengusapya dengan halus. "You're not him."

Di mata Obelia, Sadewa itu sangat tampan. Dari segi fisik Sadewa benar-benar sempurna. Sadewa miliknya. Hanya dia yang boleh menyentuh rahang tegas prianya seperti ini.

Hati Sadewa mendadak merasa tenang dan tentram saat sorot mata teduh itu menatap ke arahnya. Obelia salah besar jika menganggap Sadewa adalah rumahnya, karena pada kenyataannya Sadewa lah yang membutuhkan gadis itu sebagai tempatnya untuk pulang.

Sebenarnya ada satu pertanyaan yang selalu berutar di kepala Obelia, namun ia merasa ragu dan sedikit takut untuk menanyakannya pada Sadewa.

Mengulum bibir, Obelia memberanikan diri untuk bersuara. "Zayn. Am i the first?"

Tanpa ragu Sadewa langsung mengangguk. "Of course. Aku nggak pernah ngelakuin hal yang sama dengan siapapun. You're the first and the last."

Mendengar jawaban lelaki itu, Obelia lantas merasa lega karena beban pikirannya kini berkurang. Kemudian perempuan itu tersenyum tipis.

"Kamu tau? Mama almost died because of him. Ayahku udah pernah sejauh itu. Jadi jangan sama-samain dirimu sendiri sama dia. Kalian beda."

"Katanya manusia nggak bisa ngerubah sifat seseorang. Gimana kalau seandainya kamu sakit lagi gara-gara aku?"

"Nggak usah dengar apa kata orang, kalimat itu nggak berlaku buat aku. I believe you won't hurt me." Obelia menyisir rambut Sadewa, menatapnya penuh kasih sayang. "Manusia nggak ada yang sempurna, semua orang pasti pernah ngelakuin kesalahan."

Hanya ungkapan sederhana tentang gadis itu yang menaruh kepercayaan padanya, hati Sadewa mendadak terenyuh, nyaris menangis. Padahal selama ini ia sudah kelewatan.

"Sekarang tidur. Kita cuma punya waktu nggak sampai sejam, nanti jam lima kita balik ke villa. Kamu ga bisa bawa motor kalau ngantuk." Setelah menepuk pipi Sadewa sebanyak dua kali, Obelia kembali membelakangi lelaki itu, tak butuh waktu yang lama, ia langsung terlelap. Obelia benar-benar selelah itu. Lengkap dengan ngilu dan nyeri di mana-mana.

Kedua mata Sadewa masih setia memandang Obelia. Lelaki itu merasa tak pantas, tetapi dia masih ingat dengan sumpahnya yang tidak akan membiarkan gadis itu pergi. Perlahan tubuh Sadewa mendekat, merengkuh gadisnya dari belakang. Menyiratkan bahwa Sadewa benar-benar mencintai Obelia, bahwa seluruh hatinya ia serahkan pada gadis itu.

Obelia benar-benar berhasil membuatnya jatuh ke dalam jurang yang tak berdasar, seolah tak ada jalan untuk keluar.



  ҉
  ҉
  ҉
  ҉
  ҉
  ҉

10 Maret 2022

Kalian kenapa pengen banget Obel mati sih?😭. Obelnya protes nih, katanya dia masih mau hidup tau, belum juga lulus🤣.

Btw itu yang minta alurnya dicepetin tar aku tamatin cepat-cepat, nangis baru tau rasa😂. Tapi tenang, chapter selanjutnya bakal ....

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 105K 82
Zayn Mahesa itu brengsek. Siapapun tau jika Zayn si ketua PASUKAN 08 itu adalah brandalan licik yang akan menghalalkan segala cara untuk menghancurka...
9.2M 406K 65
PART LENGKAP! Terbit : Momentous Publisher Zara memberontak, namun yang didapatkan adalah dorongan keras dan punggungnya hingga membentur tembok. Sat...
1.6M 91.7K 37
SEQUEL EX! Vector Cover By : @sgrcndxx "Ayo balikan!" Ajak Kevin tiba-tiba saat mereka sedang jalan di tepi sungai. "Nggak!" Balas Citra cepat dan te...
519K 44.9K 48
Tinggal satu apartemen bersama dengan Ryxon Walsh menjadi sumber bencana bagi Ailee Dawson. Bagaimana penampilan lelaki tinggi itu terlihat begitu be...