@kianasharetta_
jgn ke rumah
Setelah membaca pesan Kiana, Sagara menjalankan mobil menuju apartemennya
dengan sedih.
Selama di perjalanan, kepala Sagara yang pusing jadi semakin sakit. Karna faktor pada pukul hampir menuju angka dua belas malam ini Sagara juga belum dalam keadaan tidur, dan apalagi saat usai melihat chat dari sahabat masa kecilnya.
Beruntung besok adalah hari merah di kalender. Sagara dapat mengobati kepalanya yang sakit dengan cara tidur dalam waktu yang lama.
Sagara tahu dalam beberapa waktu ini Kiana pasti tidak mau berbicara padanya.
Malam ini entah sampai kapan, Sagara akan berada di titik sepi lebih dari yang kemarin-kemarin lagi.
Namun tidak apa, walau terasa mematikan ketika Kiana tidak bertukar kata dengannya, lalu mengalami sakit kepala berat, yang penting, ada satu manusia yang tidak jadi mengakhiri hidup dan dapat melanjutkan semua impiannya.
Sagara hanya ingin menjadi manusia normal yang baik.
Sering Sagara merasa penat, mungkin dirinya memang butuh beristirahat liburan ke tempat mana pun itu.
Juga Kiana belum mengetahui keinginan Sagara yang ingin berlibur. Mungkin juga sahabatnya sejak umur 3 tahun itu tidak mau, namun nanti Sagara akan tetap memberitahukannya pada Kiana.
Sagara ingin pergi, dan Kiana ingin pulang.
яєωяιтє му нєαят
SMA Tunas Bangsa libur sesuai tanggal merah kalender.
081312xxxxxx
Halo
081312xxxxxx
dari tes wawancara kemarin, karna lo bantu, gw lolos dan nanti bakal bs lulus.
081312xxxxxx
thanks yaa
Kiana Sharetta
ok
Kiana Sharetta
U udah chat sy 2 kali. supya ga ngira ini no gojek, gue simpan nomor lo
081213xxxxxx
sure!
Sebenarnya Raksa Radjendra sudah menyimpan nomor Kiana sejak ia chat pertama kali meminta tolong cewek itu untuk membantunya dalam video wawancara kelas akhir.
Hari ini pesan yang terkirim di aplikasi WhatsApp miliknya hanya bersumber dari kontak bernama 'Kiana Sharetta XI IPS 2'. Sedangkan yang lain tertoreh tulisan 'yesterday' atau bahkan tanggal pesan. Iya, sangat sepi karna memang Raksa tidak pernah mau memberi nomornya pada orang-orang.
Ponsel seri iphone xs Raksa berdering di atas kulkas.
"Ya?"
"Dinner tonight at 20.00pm. Ritz Carlton."
"...Sama siapa?"
Papa Raksa diam sejenak, lalu menjawab pertanyaan anaknya. "Saryza. Pramugari Batik airplane."
"No."
"Kali ini saja? Mommy barumu mau kenalan sama anak laki-laki saya."
"Bring back my mom."
Bip.
Sambungan telepon terputus, Raksa terkekeh.
Papanya mudah sekali menarik para wanita yang dapat dibilang kelas atas. Seperti spKK atau dokter kulit, flight attendant, bahkan beberapa selebritis. Yang lebih sering, sih, wanita bagian penerbangan.
Bertahun-tahun seperti itu sejak mamanya pergi. Awalnya Raksa tidak terima karna merasa asing pada perempuan-perempuan yang dibawa papanya ke rumah.
Dulu ia sering sekali marah karna ... Raksa merasa bahwa papanya hanya milik Raksa dan mamanya.
Seharusnya memang seperti itu, kan? Tapi semakin ke sini Raksa tidak lagi ambil peduli, cowok itu memilih untuk tinggal di apartment walau keluarga Raksa punya banyak aset rumah di komplek eksekutif.
Raksa sedang tidak mau memikiri tentang hidupnya yang aneh. Cowok itu memutuskan untuk turun ke lantai dasar apartemen, mengambil mobil di basement parking.
Ia sebenernya lapar. Sekarang sudah jam enam sore lewat, dan Raksa masih makan satu kali hari ini sebab cowok itu tak sempat masak. Pagi tadi dia sarapan dan pergi ke supermarket membeli beberapa yoghurt, siangnya Raksa di apartemen tak ke mana-mana karna dia merasa tidak sehat, suhu badannya meninggi.
Jadi dari jam tiga sore sampai tadi jam enam, Raksa tidur tanpa mengisi perutnya.
Mobil pribadi Raksa keluar dari area Residences Pacific Apartments. Ia mengendalikan kendaraan itu menuju restoran bernama Le Quartier.
Setelah sampai di sana, Raksa memesan lamb chops dan beberapa favorite dishes Raksa lainnya.
Restoran ini khas Prancis, tentu identik dengan romantic. Orang yang datang umumnya membawa pasangan atau keluarga. Malam di jam ini, Raksa sendiri tak dengan siapa-siapa. Ia tidak pernah berpikir tentang makan bersama pasangan, tolong ... mama papanya saja.
Raksa berbicara pada salah satu pelayan yang sekarang mendengarnya seksama. Setelahnya, cowok itu lalu membayar semua apa yang ia pesan dan makan.
"Merci beaucoup."
Atas ucapan terima kasih dari Raksa, pelayan restoran itu menjawab. "Je vous en prie, Sir."
Cowok itu mengambil ponsel dan kunci mobil yang tadi ia letak di atas meja tempat nampan khusus benda. Raksa yang menggunakan kaos berwarna cream dan celana hitam, keluar dari restaurant mewah tersebut dan masuk ke kursi pengemudi mobilnya.
"Wah, tadi makan di sini toh Mas Raksa. Pak bos ke mana mas?"
Seorang tukang parkir di pinggir jalan yang bukan dari Le Quartier, menyapa Raksa Radjendra yang kebetulan membuka setengah jendela mobil. Pria umur tiga puluh empat itu hormat mengangkat tangan seperti ketika upacara bendera merah putih.
Penghormatan tersebut bukan tanpa sebab. Tukang parkir itu dulu pernah menjadi satpam yang bekerja menjaga salah satu rumah kediaman keluarga Radjendra. Namun harus resign sebab rumah berientior mewah itu dijual.
Raksa sendiri tidak tau mengapa dijual--dan ia tidak peduli juga-- karna bagaimanapun aset properti seperti rumah, mansion keluarga Radjendra tetap ada. Yang ia tahu setelah rumah itu terjual adalah papanya membangun proyek besar.
"Ya pak, ada kok." Raksa mengambil box Le Quartier yang berisi completely food dari plastik di kursi penumpang sampingnya.
"Waduh mas, yang saya dapat sebulan jadi tukang parkir liar gak bergaji, syukur-syukur bisa dapat seharga dari makanan ini mas, makasih. Akhirnya saya bisa rasain makan-makanan para eksekutif dan artis-artis mas. Saya sampai di kosan gantung alat-alat makan ini mas, makasih.."
Raksa mengembangkan sudut bibirnya seraya menggelengkan kepala. "Yaudah nanti kalau saya ada waktu, temui aja ya."
Raksa baru sadar bahwa ia tak bawa uang cash, transaksi membayar makanan tadi pun menggunakan kartu atmnya. Lain waktu Raksa pasti membantu mantan satpam rumahnya saat kelas 1 SMP ini.
Wajah tukang parkir itu berbinar, "Iya-iya mas, saya pasti nunggu sampe kapanpun. Bapak, ibu, dan mas tetap sama sifatnya, baik walau rada jarang ngomong heheheh."
Pria itu sudah mengenal tujuan dan cara berbicara mereka yang ekonominya tinggi seperti Raksa. Umumnya orang-orang seperti itu tak banyak basa basi omong kosong, sedikit berbicara banyak bertindak, mantan satpam ini juga dulu sempat bingung ketika papa Raksa berbicara kepadanya.
"Oke, saya jalan dulu ya."
"Siap, Mas Raksa! Hati-hati bawa mobil ya..."
Roda mobil Raksa berputar dan berpindah ke tengah jalan raya.
Cowok itu lalu membuka setengah jendela mobil kiri kanan. Raksa suka udara sore kemalaman, suka jalan yang memberi banyak spasi dari satu kendaraan ke kendaraan lain, sambil dengar lagu Amigdala, ia juga suka langit gelap Jakarta yang membuat gedung-gedung tinggi kota berdirinya Monumen Nasional itu jadi berkilap.
Separuh perjalanan, kepala mobil Bentley Continental ini seharusnya tetap bergerak lurus ke depan. Tapi setir Raksa entah kenapa ia putar ke arah kanan.
Jalan besar sepi dan tenang, dikelilingi bangunan rumah-rumah besar dan mewah, begitu bersih, dan banyak pohon tumbuh.
Kendaraan roda empat berwarna hitam itu berhenti berputar saat tiba tepat di depan gerbang putih tinggi yang sebelumnya pernah ia jumpai.
Raksa baru saja ingin membuka seatbeltnya untuk beranjak keluar, namun cowok itu langsung mengurungkan gerakannya ketika seorang pria yang ia tahu adalah pembersih kebun di rumah itu muncul dari balik pintu satpam di sisi gerbang.
"Ada apa dan nyari siapa, toh, pak?"
Karna dalam keadaan maram cahaya, bapak tukang kebun itu menyebut Raksa dengan embel-embel 'pak'. Suasana dalam mobil Raksa juga gelap, jadi pria kurang lebih umur empat puluh satu itu tidak jelas melihat seperti apa rupa Raksa.
"Ga nyari siapa, kok. Tapi ini pak tolong kasih ke orang rumah ya, makasih dari saya juga tolong disampaikan." Tangan cowok itu mengambil paper bag besar yang kuat menampung banyak di dalam. Raksa lalu memberinya lewat jendela pada tukang kebun tersebut. "Saya pergi dulu, terima kasih."
"Oke oke toh, Pak. Saya akan sampaikan. Aman kan ini ya? Waduhhh, ini kan dari tempat mehong harganya yang hampir gak pernah diskon itu toh pak?? Mantep pak, jumlah saya pegang barang atau makanan mahal untuk orkay bertambah lagi, hehehe."
Raksa tersenyum tipis mendengar penuturan jujur dari pria itu. "Iyaa, saya pulang ya."
Hari ini Raksa senang. Raksa bersyukur, sebab dirinya tersenyum dua kali dan itu karna faktor alami refleks, bukan terpaksa.
яєωяιтє му нєαят
Kiana sudah makan tiga kali hari ini, namun mendadak perutnya lapar sejak lima belas menit lalu. Sebenarnya ada makanan di bawah. Tapi Kiana malas sekali memanaskannya di microwave lagi.
Sebenarnya tadi cewek itu mau memesan online, tapi berpikir, bahwa Kiana sekarang sudah betul lapar. Lewat gofood, Ia musti memilih deretan makanan yang sering kali membuat dilema mau ini atau itu, bakal menunggu tukang grab yang harus mengantri dulu di Recheese Factory, nunggu lagi untuk perjalanan ke rumah.
"Kianaaaa turun nih, ada something. Kamu kan sering lapar malam dan kadang gamau makan malam yang ada di rumah. Cepet, ini enak sih mama papa dari dulu suka."
Suara dan mulut mama Kiana terdengar dan kelihatan dari intercom bell pintu kamar Kiana. Ya, hampir setiap ruangan di rumah ini memiliki bel yang bisa menghubungkan suara dan menampakkan wajah orang yang sedang berinteraksi.
Kiana dari atas tempat tidurnya langsung beranjak keluar kamar. Kok, bisa ketepatan makanan datang ketika Kiana sedang lapar ya? Sepertinya tidak mungkin dibeli mama atau papanya sebab mereka tadi masih sibuk kerja.
"Le Quartier, mana banyak banget?? Papa yang beli?" tanya Kiana saat sampai di lantai bawah.
Gavino--papa Kiana menggeleng. "Enggak lho."
"Mama?"
"Noo juga. Kata si bapak tadi ada gofood gitu yang kasih." 'Si bapak' dalam ucapan mama Kiana, maksudnya bapak tukang kebun yang menolong di rumah.
Kiana memotong steak salmon yang benar-benar mengguncang perutnya. "Masa sih gofood, temen papa kali? Mobilnya apa, Pak?"
Pak Jono--si tukang kebun mencoba ingat. Namun ia pun tak tahu sebab saat tadi mengambil makanan ini, suasana di luar gelap. "Ya ndak tau saya, toh, Mbak. Wong tadi kan gelap pisan hehehehehe. Mungkin itu disuruh den Saga, kan ya Buk, Pak, Mbak. Oh ya, si bapak yang kasih ini tadi suruh saya bilangin makasih."
"Ini semua mbak rumah pada udah pulang tadi sore, sebanyak ini siapa yang bisa habisin yaa," ucap Aletta--mama Kiana sambil menyuapkan satu sendok risotto ke mulutnya. "Duh, pas banget kemarin mama baru aja mau ngajak makan di Quartier karna kangen, selama ini sibuk kan, eh ternyata datang, mana paket lengkap."
Kiana mengambil sebagian box Le Quartier di tangannya. "Ini i bawa ke atas ya, mau chat Saga dulu. Bye Maw, Paw, Pakk!"
"Tidur ga boleh di atas jam 10 lho ya."
"Iyaa, good night sayang."
"Iyo Mbak."
Setelah sampai di lantai atas dan membuka pintu kamar, Kiana meletakkan makanan itu di meja tempat skin, hair, lip, body carenya. Kiana duduk di kursi sambil mengambil ponselnya yang diletakkan begitu saja di atas wireless charging--charger yang tanpa kabel, hanya perlu meletak hp saja dan terisi cepat.
Kiana belum berbicara atau mengirim pesan apa pun pada Sagara. Bubble chat terakhir di Instagram Kiana pada akun Sagara adalah Kiana yang melarang Sagara ke rumah.
Sebenarnya semalam Kiana tahu bahwa Sagara dan mobilnya ada di luar. Kiana tidak sedang tidak mau menjumpai Sagara karna marah, cowok itu tidak ada di apartemen saat Kiana datang ke sana, dan tak menepati janji!
Sampai sekarang Kiana belum mengetahui alasan mengapa Sagara tidak ada di apartemen cowok itu dan membuat Kiana menunggu di luar.
Kiana memberi pesan "jgn ke rumah" karna Kiana tahu bahwa Sagara akan tetap berada di luar rumahnya dalam waktu yang tidak normal, tanpa membangunkan seorangpun. Iya, dulu pernah seperti itu. Sagara duduk bahkan berdiri saja seperti itu, lalu pulang ketika waktu benar-benar termakan habis.
Sampai sekarang Kiana tidak sadar, walau ia sudah tahu, bahwa berhenti bicara pada Sagara selalu sangat menyesakkan bagi sahabat masa kecilnya itu.
Kiana lalu mengirim pesan pada Sagara lewat iMessage, menyampaikan bahwa banyak box food Le Quartier dari Sagara sudah sampai.
Manusia pecinta hujan itu kemudian melanjutkan suapan makanannya tanpa memeriksa ponsel lagi.
Sagara jarang meminta maaf pada Kiana dengan cara membeli makanan atau barang--dalam istilah menyogok seperti ini. Selalu sahabat masa kecilnya itu menemui langsung ketika Kiana mau, dan tanpa paksaan.
Bahkan Kiana tidak ingat kapan Sagara mengulangi sesuatu hal yang cowok itu sudah janji tidak akan melakukannya lagi.
Semua perilaku Sagara sangat baik. Namun dalam keadaan seperti ini ... Kiana tidak tahu apakah mereka sedang dalam keadaan baik-baik saja atau tidak.
Beberapa menit setelahnya ponsel Kiana bergetar, menandakan ada pesan masuk yang kemungkinan besar jawaban dari sahabat masa kecilnya atas kalimat Kiana.
Kiana Sharetta
sogokannya bagus, le quartier waktu gw lapar oke juga tapi ini kebanyakan
Kiana Sharetta
but thankyou
Saga 🐖
thank you ga diemin gue lagi...
Saga 🐖
hah? gue gaada mesan apapun kok
temen lo ya?
:'D
яєωяιтє му нєαят
chapter 42
hes on jealous:
- yes
- no
- just update pls
Halo makasih udah bertahan, kamu harus lihat conflictnya 🤓
jangan takut, tenang. aku baik kok sama semua teman-temanku di sini.
aku sayang saga. aku cinta raksa. aku cinta saga. aku sayang raksa.
Saya pembaca sampai sekarang, jd jangan takut sama alurnya karna kita sama, bacaan, conflict, dan akhir yang kita cari mungkin juga sama. Gak ada bilang ini antagonist, ini second lead, ini protagonist, ini ini itu. Jadi baca aja, ga seram kok kayak yg sering dibilang orang di comment section tiktok. cuma nyiksa aja
oh ya, love all of 'em ya
jangan lupa sayang sama Saga :D
ey's dictionary: France edition
Merci beaucoup = Terima kasih
Je vous en prie, Sir = Sama-sama
esterspy
it has awe end.