Dara

By nindybelarosa

1.2M 120K 7.1K

Hidup Dara terlalu biasa ... sampai akhirnya dia bertemu dengan Danu. Dalam sekejap, semua berubah dan menemp... More

1. Danu
2. Tawaran sesat
3. Dunia Danu
4. Dusta Pembawa Petaka
5. Petaka Ganda
6. Down Payment
7. Cicilan Transaksi
8. Menginap
Menginap Part 2
9. Perjalanan "Dinas"
10
11. Terkurung seharian
12. Pendamping
13. Salah tingkah
14. pelajaran pertama
15. Pertemuan terakhir
16
17.
18. Pernikahan kilat
Bab 19. Pernikahan kilat 2
20. Pernikahan Kilat 3
21. Pernikahan kilat 4--last
22. Julia 1
23. Julia 2
24. Julia (3)
25. Mencoba meraih Danu
26. Mencoba meraih Danu (2)
27. Mencoba meraih Danu (3)
28. Resepsi 1
29. Resepsi 2
30. Resepsi 3
31. Resepsi (4)
32. Virgo_Girl?
33. Milikku. Artinya ... hanya milikku.
34. Menjijikkan!!!
35. Tidak seindah itu (1)
36. Tidak seindah itu (2)
37. Ulah Danu
38. Sayang kamu
39. Sabarnya Dara
40.
41.
42
43.
44.
45. Cara kerja Danu
46. Cara kerja Danu (2)
47. Cara Kerja Danu (3)
48.
49. Tidak ada Vicky, hanya Laras
51.
52. Keberpihakan abu abu
53.
54.
55
56
57
Bab Tak Berjudul 59
Part 59 yang sesungguhnya

50. Drama meja makan

12.1K 1.6K 223
By nindybelarosa

Hehe update lagii nihhhh

Bilang apa????

Btw aku lagi sedih soalnya kan aku lagi maniak sama Mas Danu di Good Girl yang jadi penjahat gitu. Soalnya akting dia tuh keren banget. Kalau nonton aku sukanya emang laki-laki jahat semua. Tapi, Good Girl season 4 belum masuk ke netflix, padahal cuplikannya udah seliweran di ig. Huhuuuu kepo aku tuh.

Yoweslah. 

Happy Reading



Love yeah!!!

***

Dara tidak bisa tidur lelap karena begitu sedikit terganggu, matanya langsung nyalang. Ingatan tentang keberadaan Laras di rumah membuat kantuknya sirna. Hanya saja, demi menghindari amarah sang ibu mertua, dia bertahan di kamar sambil memainkan ponsel. Dia kecewa Danu tidak membalas pesannya, hanya saja sudah mulai terbiasa dengan sikap tidak mudah ditebak suaminya itu. Akhirnya dia mengirim pesan pada Laras yang ternyata kini sudah berada di lantai dua, di kamar Nina.

Tentu saja Dara cemas. Nina dan Laras adalah dua pribadi yang berbeda. Mereka tidak akan cocok. Nina bisa saja marah karena merasa privasinya terganggu. Akan lebih cocok kalau Nina tidur bersama Julia. Hanya saja, menyarankan itu terasa lancang. Mungkin kalau Danu sudah pulang dan suana hati lelaki itu sedang baik, Dara bisa mengajak diskusi.

Dan begitu hari telah petang, Dara dengan semangat keluar kamar. Dia dan Laras kini duduk di teras samping sambil meminum teh ditemani kudapan buah-buahan yang telah dikupas dan dipotong kecil-kecil.

"Wow, ada tamu rupanya."

Suara itu milik orang paling menyebalkan di dunia versi Dara. Siapa lagi kalau bukan Julia. Dia berdiri dengan tubuh bersender di dinding pintu. Satu tangannya terlipat di dada, satu lagi terangkat sambil menggenggam gelas minuman.

"Hai, Kak Julia. Apa kabar?" Laras menyapa dengan ramah. Dia berdiri lalu mengulurkan tangan, yang hanya disambut senyum miring dari Julia.

"Simpan ramah tamahmu, karena itu tidak berlaku di sini."

Laras menarik kembali tangannya dengan bibir menekuk ke bawah, lalu mengedikkan bahu. "Orang yang posisinya rendah, biasanya memang lebih ramah kan, pada yang lebih tinggi. Itu kenapa aku harus ramah ke Kakak, dan Kakak sering ramah berlebihan pada kakakku."

Sungguh, Dara mencemaskan ini. Pertikaian antara para perempuan karena Laras memang suka mudah terpancing dan tidak ragu untuk berperang. Dia berdeham untuk memberi kode pada laras agar berhenti. Seakan paham, Laras pun memutar tubuhnya dan kembali duduk di posisi semula.

"Setidaknya kita sama," ucap Laras. "Sama-sama tamu yang tidak nyaman di rumah sendiri dan berusaha menemukan kenyamanan itu di sini."

Julia tertawa mengejek. Lalu, dia menenggak minumannya. "Usaha menyamakan posisi yang baik, adiknya Kakak Ipar. Tapi, kita tidak akan pernah sejajar. Tidak ... akan. Lihat dirimu!" Dia memasang ekspresi merendahkan, lalu memutar tubuh perlahan, dan beranjak.

Dara bisa melihat tangan Laras terkepal meski wajah adiknya itu terlihat datar. Digenggamnya tangan itu, dielusnya dengan ibu jarinya. Saat Laras menoleh padanya, Dara tersenyum.

"Jangan," ucap Laras pelan.

"Jangan apa?"

"Jangan ucapkan sesuatu ... apa pun itu, untuk menghibur Laras. Itu nggak perlu sama sekali."

"Apa kamu juga suka beradu argument sama teman kuliah?"

Laras tertawa pelan. "Itu bagus. Dengan sering berdebat, kita terlihat lebih pintar, tau!"

Dara sudah melepaskan genggaman tangannya. Dia menyeruput teh, lalu berkata, "Mas Danu nggak suka bicara, tapi dia pintar."

"Ih Kakak! Masak dibandingin sama Mas Danu. Mas Danu itu laki-laki dan dia nggak lagi kuliah. Kalau kita suka diam di kampus, memangnya siapa yang nerka kita pintar? Nilai ujian bagus bisa dituduh nyontek loh!"

"Aku mencontek?" Kali ini, gentian Danu yang menginterupsi perbincangan mereka.

"Eh bukan!" Laras dan Dara berucap serempak.

Danu tertawa lalu berjalan ke arah Dara. Sambil merendahkan tubuh, lelaki itu menjalarkan jemari tangan kanannya di belakang leher Dara. Sesuatu yang tidak ingin Dara lakukan di depan Laras, tetapi harus, karena ini kebiasaan Danu. Kecupan yang lebih lama dibanding biasa.

Dasar tukang pamer, batin Dara.

"Mas mau ngeteh juga?"

Kepala Danu menggeleng. "Aku mau istirahat dulu sebelum nanti malam pergi lagi. Ada acara."

"Acara? Acara apa? Pesta?"

"Acara." Danu memberi penekanan seolah tidak ingin menjelaskan lebih.

Dara paham. Dia hanya mengangguk sambil menepuk pelan lengan Dara, yang membuat Dara melebarkan senyum untuk menunjukkan dia paham dan dia tidak masalah dengan sikap tertutup Danu itu.

"Selamat datang, Laras."

Setelah mengucapkan itu, Danu pun pergi. Sebuah sapaan singkat yang meninggalkan suasana canggung. Dara tersenyum pada Laras, dengan senyum yang kaku. Dia semakin tidak nyaman saat melihat raut wajah Laras yang menunjukkan banyak tanya.

***

Saat Dara memasuki kamar, Danu sedang berbaring di atas ranjang dengan pakaian yang sudah diganti. Jelas, lelaki itu sudah mandi. TV dinyalakan tetapi Danu tidak menonton. Tatapannya tadi ke langit-langit kamar, seakan merenungkan sesuatu. Namun, begitu melihat Dara, ketegangan di wajahnya mengendur. Dia tersenyum dan mengulurkan tangan, memanggil Dara untuk berbaring di sebelahnya.

Dara menarik ujung selimut dan masuk ke dalamnya, terus bergeser sampai akhirnya dia begitu rapat dengan sang suami.

"Katanya Mas mau istirahat. Kirain mau tidur."

"Ini tidur," jawab Danu singkat.

"Maksudnya ... benar-benar tidur, bukan cuma baring."

"Tidur itu, tidak semudah memejamkan mata dengan tubuh terbaring."

"Mungkin Mas terlalu banyak pikiran, makanya otak Mas nggak mau istirahat, padahal badan Mas butuh."

Dara bisa mendengar Danu tertawa pelan. "Tau apa kamu soal apa yang dibutuhkan tubuhku, Dara?"

Dan seketika, Dara merasa gugup. Antara takut Danu tersinggung atau justru sedang meremehkan jawabannya.

"Se ... semua orang butuh beristirahat, terutama yang aktivitas hariannya banyak."

"Dan apakah aktivitas harianku banyak?"

"Mas ...." Dibanding terus ditanyai baik, Dara pun mengangkat kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir sang suami, hal yang setidaknya dia yakini tidak akan dipertanyakan apalagi ditolak.

Terbukti, Danu membalas pagutannya dan kini menarik Dara agar berbaring miring agar memudahkan aktivitas mereka. Tangan lelaki itu melingkar memeluk tubuh belakang Dara. Satu tangan lagi, sibuk bergerilya di pantatnya (nggak tau bahasa sopannya).

"Dan!" Pintu terbuka dan pagutan itu terhenti.

Dara ingin menoleh ke pintu, tetapi Danu sudah memeluknya dan menyurukkan wajah Dara ke leher lelaki itu.

"Apa?" jawab Danu dengan suara yang terdengar jengkel—tetapi hanya sedikit.

"Kita perginya lebih cepat ya? Antar aku ke salon dulu. Lagi nggak mood dandan sendiri dan udah terlalu lama kalau aku pergi duluan ke sana. Biar sekalian aja."

Tidak bisa dicegah, Dara kini menarik kepalanya dan menatap Danu heran. Acara yang ditekankan Danu adalah acara yang Dara tidak perlu ketahui tadi, ternyata akan lelaki itu hadiri bersama Julia.

"Hm!" jawab Danu sambil menggerakkan tangannya, mengusir Julia.

Pintu tertutup. Dara hendak menarik dirinya, tetapi Danu menahan. Padahal, suasana hati Dara sudah sangat buruk.

Danu memintanya percaya dan menunggu, tetapi terkadang sikap dan perbuatan lelaki itu membuat Dara kesal. Seandainya benar hubungan mereka murni 100% hanya saudara saja pun, Dara tetap merasa berhak untuk kesal. Pasalnya, Julia tidak pernah bersikap baik padanya, tetapi Danu malah bersikap baik dan cenderung terlalu mentolerir kelancangan Julia.

"Mas kan mau siap-siap," ucap Dara yang gagal menyembunyikan kekesalannya.

"Lima menit lagi. Kemarilah." Dan seakan abai, Danu kembali memeluk Dara erat juga menempelkan bibir mereka. Tidak berhenti meski Dara malas-malasan membalasnya.

"Baiklah, Ma," ucap Danu sambil menepuk pantat Dara, "aku akan bersiap-siap. Dan meski aku pulang lama, nanti, jangan tidur larut. Waktumu untuk mengobrol dengan Laras masih panjang."

Danu turun dari ranjang dan berjalan ke lemari pakaian. Dara tidak pernah menyiapkan pakaian lelaki itu. Dia tidak berani. Takut salah pilih. Sama seperti Dara tidak berani memberi saran terlalu sering karena Danu seperti tidak tersentuh. Lelaki itu selalu menjalankan semua sesuai keinginannya.

Setelan Danu tidak resmi. Artinya, acaranya pun tidak resmi. Dara ingin sekali tahu, tetapi mulutnya terkunci karena sadar diri tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa. Hal yang membuat dadanya sesak seakan mau meledak. Apalagi, Danu yang berpenampilan semengagumkan biasanya itu, akan bersanding dengan Julia, bukan dengannya.

Jentik Danu mendarat di kening Dara, membuat Dara sadar dari lamunannya dan saat dia mengedip, satu tetes air matanya tidak bisa dicegah untuk tumpah. Dara sendiri kaget. Matanya pun mengerjap beberapa kali saking kagetnya. Kemudian dia menatap Danu dengan waspada, penasaran dengan reaksi lelaki itu.

"Jangan berpikir terlalu banyak. Itu tugasku," ucap Danu yang kemudian mendaratkan keucpan dan tangan lelaki itu mengelus kepala Dara.

Hal yang bertolak belakang dengan sikap tidak tersentuh lelaki itu secara emosional adalah, dia suka sekali melakukan kontak fisik yang membuat Dara terbuai secara emosional.

"Aku pergi dulu," pamit Danu yang kemudian keluar dari kamar. Meninggalkan Dara yang tidak bisa menunda untuk menuntaskan pelampiasan kekesalannya dengan menangis.

***

Malam harinya, di meja makan, suasana hening sekali. Dara masih dalam suasana hati yang buruk. Laras sudah pasti canggung dengan adik dan ibu Danu. Sedangkan kedua wanita lainnya itu, mereka tampak tidak merasa perlu untuk beramah tamah.

Dara bisa melihat wajah Nina yang masam. Sesuai dugaannya, Nina pasti merasa kesal harus berbagi kamar.

"Kalau ... Laras yang di kamar tamu satu lagi dan Julia yang sekamar sama Nina, rasanya lebih baik. Nina pasti senang sekamar dengan Julia, kan?" Dara memberanikan diri bertanya.

Nina mengerutkan kening, tetapi tidak menanggapi. Menoleh pun tidak. Sedangkan Firly, dia hanya melihat ke arah Dara dengan pandangan sinis.

"Kak ..." tegur Julia pelan.

"Mereka berdua toh akan segera pergi dari rumah ini. Jangan membuat pusing dengan memikirkan ini dan itunya."

Dara pun menganggukkan kepalanya. Kembali menekuni makan malamnya dengan kepala tertunduk.

"Mas Danu pasti marah kalau tau Kakak makannya malas-masalan." Alih-alih menanggapi masalah kamar, Nina justru membahas hal lain.

"Nggak malas-malasan kok. Ini kan dimakan," jawab Dara sambil menyendok kembali makannya.

"Nanti yang ngasih nama Nina ya. Nanti Nina cari nama yang keren. Mami sama Mas Danu pasti nggak kreatif. Nanti dikasih namanya yang b aja."

"Memangnya kamu mau ngasih nama apa?" Laras kini menimpali.

Nina mengedikkan bahu. "Belum googling. Kan belum mau lahiran. Yang penting nanti namanya pasti keren!"

Dara tersenyum. Di luar dugaannya, sepertinya Nina dan Laras bisa akrab. Semoga.

"Memangnya Mas Danu belum siapin nama, Kak?" Laras kini bertanya pada Dara.

"Belum ada bahas sih. Nggak tau juga."

"Itu artinya kamu harus nanya Mas Danu dulu, Nin."

"Call me Na or Karen. Kakak juga pasti lebih keren dipanggil La dibanding Ras. Sama seperti Kak Dara yang lebih keren dipanggil Ra dibanding Dar."

"Wow ... hal yang tidak pernah kupikirkan tetapi ada benarnya." Laras mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oh jelas. Gue gitu loh! Btw, lebih keren lagi kalau Kakak nurunin berat badan sekitar 5 kilo lagi, perawatan di klinik kecantikan bukan salon murahan, terus potong rambut dan diwarnai. Youll be beutiful. Dan setelah jadi cantik, Kakak bisa dapat yang ... ya seenggaknya lumayan deh dibanding cuma mahasiswa biasa dari keluarga yang gajinya nggak seberapa, yang biaya semester juga suka nunggak."

Cara Nina tersenyum setelah mengucapkan itu membuat Dara terganggu. Apalagi, Laras tampak terkejut dan Firly tersenyum kecut.

"Eum ... Ras, kamu mau tambah?" Dara mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Well, kalau dia tambah, semua saran Nina tadi akan sia-sia," ucap Firly.

Dara kembali menatap Laras dan perasaan sesak di dadanya semakin tidak tertahan, karena adiknya sedang dijadikan bahan ejekan.

"Tidak harus menjadi perempuan yang cantik dan menggoda. Tidak harus berpasangan dari keluarga yang mapan. Tidak, Laras tidak harus begitu," ucapnya tidak terima.

"Karena Kakaknya sudah menikahi pria yang mampu menopang semua kebutuhannya?" tanya Nina dengan senyum terlampau manis.

Dara sudah tidak bisa mendebat lagi. Kalau dia jawab, maka suasana di meja makan akan semakin tidak karuan. Digenggamnya tangan kiri Laras, lalu dia berdiri.

"Duduk, Dara. Makananmu belum habis."

"Dara udah—"

"Kamu makan bukan demi dirimu, demi cucuku."

"Tapi aku sudah kenyang dan—"

"Dan faktanya makananmu belum habis! Jangan mendebat. Kembali duduk dan habiskan makananmu atau adikmu akan kuusir keluar dari rumah ini malam ini juga!"

Mulut Dara menganga. Tidak bisa berkata-kata.

"Kenapa? Kenapa kalian seperti membenci Laras?" tanyanya akhirnya, dengan suara pelan yang nyaris seperti menggumam.

"Tanyakan padanya, Kakak. Tanyakan kenapa dia memanfaatkan kebaikan Mas Danu seperti itu." Nina kini ikut berdiri. "Kupikir yang parasite hanya ibu kalian, ternyata, nyaris semuanya!"

Nina pun meninggalkan meja makan. Dara yang masih terkejut hanya mengerjapkan mata dengan mulut ternganga.

"Apa maksudnya, Laras?"

"Laras nggak paham. Mungkin ... maksudnya, transferan Mas Danu yang perbulan itu. Uang saku Laras."

"Really?" Firly tertawa pelan. "Sudahlah. Abaikan Nina. Dia hanya sedang kesal dan menjadikan adikmu pelampiasan. Kembali makan, Dara."

Dara seperti tidak memiliki pilihan lain. Dia kembali duduk dan menyendok makanannya.

"Kalau begitu," ucapnya setelah jeda beberapa saat, "bukankah saranku tadi benar. Nina dan Laras sebaiknya tidak satu kamar."

Firly meletakkan sendok dan garpunya. Kini tangannya saling menggenggam dengan siku bertumpu di meja. Tatapannya lurus ke arah Dara.

"Dan akan lebih baik kalau kamu berhenti membahas itu dan menghabiskan makananmu, Dara. Jika Laras tidak bisa tidur di kamar Nina, maka dia tidak bisa menjadi bagian dari keluarga ini. Menjengkelkan, tapi faktanya beginilah kami dan kalian harus bisa berbaur."

Kini, gentian Firly yang meninggalkan meja makan. Meninggalkan Dara dan Laras yang kebingungan.



NB

Continue Reading

You'll Also Like

781K 50.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
694K 34.4K 51
Ravena Violet Kaliandra. Mendengar namanya saja membuat satu sekolah bergidik ngeri. Tak hanya terkenal sebagai putri sulung keluarga Kaliandra yang...
1M 44.2K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
3.5M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...