Dara

Por nindybelarosa

1.2M 120K 7.1K

Hidup Dara terlalu biasa ... sampai akhirnya dia bertemu dengan Danu. Dalam sekejap, semua berubah dan menemp... Más

1. Danu
2. Tawaran sesat
3. Dunia Danu
4. Dusta Pembawa Petaka
5. Petaka Ganda
6. Down Payment
7. Cicilan Transaksi
8. Menginap
Menginap Part 2
9. Perjalanan "Dinas"
10
11. Terkurung seharian
12. Pendamping
13. Salah tingkah
14. pelajaran pertama
15. Pertemuan terakhir
16
17.
18. Pernikahan kilat
Bab 19. Pernikahan kilat 2
20. Pernikahan Kilat 3
21. Pernikahan kilat 4--last
22. Julia 1
23. Julia 2
24. Julia (3)
25. Mencoba meraih Danu
26. Mencoba meraih Danu (2)
27. Mencoba meraih Danu (3)
28. Resepsi 1
29. Resepsi 2
30. Resepsi 3
31. Resepsi (4)
32. Virgo_Girl?
33. Milikku. Artinya ... hanya milikku.
34. Menjijikkan!!!
35. Tidak seindah itu (1)
36. Tidak seindah itu (2)
37. Ulah Danu
38. Sayang kamu
39. Sabarnya Dara
40.
41.
42
43.
44.
46. Cara kerja Danu (2)
47. Cara Kerja Danu (3)
48.
49. Tidak ada Vicky, hanya Laras
50. Drama meja makan
51.
52. Keberpihakan abu abu
53.
54.
55
56
57
Bab Tak Berjudul 59
Part 59 yang sesungguhnya

45. Cara kerja Danu

15.7K 2K 306
Por nindybelarosa

Selamat tambah pusinggggg!!!!

***

Danu mengambil amplop berisi uang dari mejanya, lalu memberikannya pada seorang wanita yang duduk di depannya. Lucy. 

"Terima kasih, Bos," ucap Lucy sambil mengintip ke dalam isi amplop. "Jumlahnya sangat lumayan hanya untuk berbicara 1 sesi dengan istrimu." 

Dani menduduki ujung meja sambil melipat tangan di dada. "Kamu tidak harus paham apa yang sedang kulakukan. Yang penting, tidak ada yang dirugikan di sini."

Bibir Lucy melengkung ke bawah. "Aku rugi. Aku kehilangan sahabat terbaikku."

"Dia bukan sahabatmu!" sanggah Danu cepat.

"Orang yang tidak percaya pada siapa pun seperti kamu, Danu, tidak akan mengerti persahabatan."

"Mungkin. Tapi, kalau sahabat artinya yang penting bersikap baik di depannya tidak peduli bagaimana bersikap di belakangnya, termasuk menggoda pasangannya, maka lebih baik aku tidak memiliki sahabat."

Lucy terdiam sejenak. Dia menoleh ke samping saat perasaan tidak nyaman menggerogoti ujung kerongkongannya. 

"Jangan menasehati aku, Lucy. Ingat, kamu berutang banyak. Bersikap profesional dan berhenti berharap aku akan memberimu celah untuk berteman lagi dengan Dara. Dia butuh fokus untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Tidak ada waktu untuk meladeni cerita tentang masalahmu yang tidak pernah selesai."

"Jangan lupa, Danu. Kamu bisa mendapatkan Dara secara mutlak seperti itu berkat aku juga. Jangan merasa paling suci. Aku yakin, keburukanmu yang kutau itu, masih sebagian kecil dari keseluruhan aibmu," geram Lucy. Meski begitu, bibir wanita itu tetap menyunggingkan senyuman.

"Aku tidak akan membantah, tapi itu bukan urusanmu. Urusanmu itu, selesaikan tugasmu, dan sebisa mungkin jaga jarak dari istriku."

"Kamu harus tau, Danu, meski bagaimanapun juga, aku sangat menyayangi Dara. Alasan kenapa aku mau bekerja dengan kamu, itu karena Dara. Aku berhutang budi ke dia. Saat di mana aku merasa tidak dipedulikan semua orang, dia selalu ada. Bahkan dia menangis waktu aku sakit. Hal yang tidak pernah keluargaku lakukan. Dia bahkan ...." Lucy menarik napas dalam. "Dia bahkan rela terlibat bersama kamu karena aku."

"Itulah kenapa aku tertawa saat kamu bilang kalian bersahabat. Karena setelah apa yang dia lakukan untukmu, kamu masih berusaha menggodaku, Lucy," jawab Danu tenang.

"Ya, itu benar. Hal paling hina yang pernah kulakukan. Aku sangat menyesal. Seandainya waktu diputar kembali, aku pasti mati-matian menahan hasratku kepadamu. Memendam egoku yang ingin pasangan lebih baik daripada bajingan bernama Adam itu." Lucy membuang pandangannya saat rasa sesak di dadanya semakin kuat. "Dara ... dia bahkan bisa bahagia jika berpasangan dengan laki-laki sederhana yang gajinya di bawah standar UMR. Dia juga bisa menangis dan tertekan hanya karena masalah yang sepele, diam-diam, meski tanpa sepengetahuan keluarganya. Dia tidak akan mampu mendampingi kamu, pikirku saat itu. Kamu terlalu banyak ... masalah. Kamu juga terlalu kuat, tidak terbantahkan, dengan gairah menggebu yang sulit dipuaskan. Kupikir ... demi kebaikan bersama, kamu memang lebih baik bersamaku."

Danu hanya mengedikkan bahunya santai. 

"Dan itu memang pikiran paling tidak masuk akal. Paling menjijikkan."

Danu tersenyum lebar, terlihat menang. "Dan tidak akan ada yang mengubah hal itu, selain dirimu sendiri. Berhentilah menjadi sosok yang dipuja orang lain, Lucy. Karena menjadi sempurna demi orang lain, itu melelahkan. Jadilah dirimu sendiri, lakukanlah hal yang kamu suka, selain mengganggu istriku tentu saja, dan berpikirlah sebelum berbuat. Aku tidak peduli dengan kehidupanmu, sedikit pun, tetapi sangat peduli pelanggaran yang kamu lakukan karena itu berdampak pada Dara. Jangan lakukan kesalahan. Jangan lupa, setiap yang kamu lakukan dan ucapkan, semua dalam pantauanku."

"Tunggu dulu. Sepertinya aku mulai paham kenapa kamu bersikap sinis padahal aku bertemu Dara itu, merupakan bagian dari rencanamu. Maksudmu aku melanggar aturan ... mempengaruhi Dara ... itu tentang Vicky, bukan? Astaga Danu ...."

Dani tidak membantah sama sekali.

"Aku hanya memanfaatkan waktu dengan baik dan mengatakan hal yang baik juga. Bukankah dengan kamu pun selalu kubilang kamu akan menyesal memecat Vicky? Dia perempuan yang baik! Dia setia padamu!" Suara Lucy meninggi.

"Tidak ada satu orang pun yang berhak mengomentari keputusanku."

"Kamu ditipu oleh Julia, Danu! Sampai kapan kamu akan menutup mata? Julia memfitnah Vicky karena Vicky ingin menjauhkan ular itu darimu! Vicky menghormatimu karena mengangkatnya dari kehidupan sampahnya! Dia menyukai Dara karena Dara perempuan yang baik! Dia hanya berusaha membuat kehidupan pernikahanmu dengan Dara baik-baik saja, tidak lebih!"

"Dengan memakai uang kas perusahaan untuk kepentingan pribadi?"

"Sudah kubilang dia dijebak!!!"

"Sudahlah, Lucy. Kamu ikut campur terlalu jauh. Ambil uangmu, keluar dari sini. Aku tidak punya waktu untuk meladenimu." Danu menunjuk pintu dengan dagunya, mengusir Lucy terang-terangan.

Lucy menggelengkan kepalanya, habis akal. Dia berdiri lalu segera pergi meninggalkan Danu di ruangannya sendiri. Sepeninggal Lucy, Danu kembali duduk di kursi kebesarannya. Memeriksa ponselnya, dan tersenyum melihat apa yang tertera di layar. Dara menghubunginya, panggilan video. Beberapa kali. Tidak terjawab karena tadi ada beberapa orang tamu termasuk Lucy. 

Danu melihat pintu sekali lagi, memastikan sudah tertutup sempurna, barulah dia menghubungi kembali sang istri dengan panggilan yang sama--panggilan video.

***

Hari ini Danu bekerja, Nina sekolah, dan Firly pergi untuk memeriksa usaha-usahanya. Yang Dara kagumi adalah kemampuan keluarga Danu mengelola beberapa usaha dengan bidang yang berbeda-beda, dan kesemuanya tertangani dengan baik. Sekarang, tinggallah dia berdua dengan Julia serta para pekerja rumah tentu saja.

Dara suka sekali jalan-jalan mengitari rumah karena dengan kondisi perut yang terus semakin membesar dan bertambah berat, hanya itu olahraga yang mampu dia lakukan. Sayangnya, dia tidak sengaja berjalan ke arah tempat di mana Julia sedang menghabiskan waktunya. Lokasi kesukaan wanita itu, bar mini di dekat ruang tamu.

"Sedang butuh sesuatu, Kakak Ipar?" sapa Julia sambil memiringkan tubuhnya hingga menghadap ke arah Dara.

Dara meneruskan langkahnya karena terlanjur terlihat oleh Julia. "Hanya jalan-jalan karena bosan di kamar terus," jelas Dara.

"Kenapa tidak keluar. Berbelanja. Berkumpul dengan teman-teman. Atau mungkin kamu tidak punya teman?"

Langkah Dara terhenti lalu dia menoleh ke belakang untuk melihat Lucy. "Kamu benar, aku memang tidak memiliki teman." Dia tersenyum lebar. "Senang sekali rasanya saat tahu adik iparku mengenalku dengan baik."

Jangan pernah biarkan lawan bicara mengontrol emosimu. Sebaliknya, berikan reaksi yang mungkin akan membuatnya kesal. Begitulah cara orang bijak menghadapi musuh.

Dara kembali menatap ke depan dan melanjutkan langkahnya. Dia sudah berjanji pada Danu dan tidak akan merusak janjinya itu. Kehadiran Julia hanya sementara. Gadis yang tidak gadis lagi itu tidak boleh terus menerus menjadi alasan Dara mempertanyakan pernikahannya. Lucy hanya orang luar. Yang terpenting dari pernikahan mereka hanyalah Danu dan dirinya. Selama Danu bersikap baik padanya, Dara harus membiasakan diri menghadapi serentetan masalah yang akan timbul dalam pernikahan mereka, termasuk keluarga lelaki itu yang sikapnya terlalu menyebalkan.

Dan mendadak ... Dara ingin melihat wajah Danu. 

Dengan dalih ingin memperbaiki suasana hati akibat bertemu Julia tadi, Dara pun menghubungi Danu dengan panggilan video. Sesuatu yang terasa memalukan karena jarang sekali dia lakukan. Hanya saja, antusiasme dalam dirinya sendiri untuk melihat wajah Danu mengalahkan rasa malu itu. Toh, kemungkinan terburuk, Danu akan menertawainya karena menghubungi tanpa alasan seperti remaja yang suka sekali menghubungi pasangan.

Panggilan pertama masuk, tetapi tidak diangkat. Mungkin nada deringnya tidak terdengar, pikir Dara, menenangkan diri sendiri. Dia menekan tombol hijau lagi. Panggilan kedua masih tidak diangkat. 

"Waduh ... tidak diangkat ya? Kasihan ...." Julia melipat tangan di dada dan menyenderkan tubuhnya di dinding, menatap Dara dengan sorot kasihan dibuat-buat.

"Kamu ... kamu kenapa ada di sini?" tanya Dara gugup dan malu. 

"Tadinya aku ingin memastikan Kakak Ipar tidak kenapa-napa karena lama sekali berada di teras samping ini. Setidaknya aku bisa membalas kebaikan Danu dengan menjagamu. Karena di tubuhmu, ada hal yang paling diinginkan Danu. Sesuatu yang membuatnya bersikap baik pada perempuan sepertimu." Lucy tersenyum masam. "Maaf, jangan tersinggung. Meski ingin berubah, sulit sekali bagiku untuk bermulut manis. Aku terbiasa berucap apa adanya, sesuai isi hatiku."

Dara menahan rasa sakit di dadanya akibat ucapan Lucy itu. Benar kata Danu, efek pelecehan itu tidak berdampak seperti yang Dara pikirkan. Lucy tetaplah Lucy. Meski memang, saat ini wajahnya terlihat lebih layu dan pandangannya sedikit kosong.

"Terima kasih sudah berkata jujur. Melegakan."

Dara berusaha mempertahankan senyum di wajahnya, lalu hendak kembali masuk ke dalam rumah. 

"Kenapa kamu tidak pergi saja, Dara?"

Harusnya, Dara marah mendengar itu. Namun karena suara Julia terdengar bergetar, dia pun penasaran. Dara menghentikan langkahnya dan memusatkan perhatiannya pada Julia.

"Kamu tidak akan pernah bahagia di sini, Dara. Tempat ini tidak cocok untukmu. Semua anggota keluarga ini sampah berkedok berlian. Semua berjiwa rusak yang rela melakukan apa pun demi kebagiaan mereka masing-masing. Perempuan sepertimu tidak cocok di sini, di rumah tempat para pendosa berkumpul. Selamatkan dirimu lebih cepat. Pergilah jauh dan rawat anakmu sehingga tumbuh menjadi perempuan sepertimu, bukan seperti kami-kami ini." Tangis Julia pun pecah. Dia menutup wajah dengan telapak tangan, lalu menggeleng beberapa kali.

"Julia ... kamu baik-baik saja?"

"Jangan belagak peduli!!!" teriak Julia. Dia menunjuk Dara dengan tegas, wajahnya berekspresi marah seolah Dara telah berbuat kejahatan padanya. "Jangan berakting di depanku, Dara. Aku bisa melihat kebencian dari matamu meski bibirmu terus tersenyum."

Seperti seseorang yang nyaris gila, Julia yang tadi menangis lalu berteriak marah, kini tersenyum dengan tatapan licik. "Kamu pikir, Danu memang benar-benar menginginkanmu, ya?" Dia tertawa geli. "Wanita sepertimu ... aduh, mohon sadar diri saja. Kalau bukan karena anak itu," Julia menunjuk perut Dara, "dia mungkin tidak akan pernah menoleh dua kali padamu."

Lalu, dia menggelengkan kepala sambil tersenyum mengejek.

"Sepertinya kamu mabuk." Hanya itu yang bisa Dara katakan.

"Aku tidak mabuk, bodoh! Ternyata selain biasa saja, istri Danu ini juga bodoh! Aduh, pasti angan-anganmu tinggi sekali ya, membayangkan kamu akan jadi wanita satu-satunya Danu dan hidup kalian akan bahagia sampai tua? Cih!"

Dara tidak mau mendengarkan ucapan Julia yang mulai kelewatan batas. Meladeninya sekarang, sama saja mencari mati. Julia sedang kehilangan akal. Mungkin efek pelecehan versi Julia ya, seperti itu. 

"Mungkin kamu percaya dongeng konyol itu karena selama ini Danu tidak pernah berhubungan serius dengan wanita lain, kan, Dara? Padahal, jelas-jelas Danu begitu bukan karena lelaki itu tidak pernah jatuh cinta. Justru sebaliknya. Dia masih terpenjara oleh ikatan cinta pertama."

Langkah Dara terhenti. Ucapan Julia itu membangkitkan rasa ingin tahunya, karena berkaitan dengan masa lalu sang suami. Namun, dia ragu Julia bisa dipercaya. Banyak sekali ucapan bohong yang Julia ucapkan dengan lantang. Wanita itu tidak pernah ragu untuk memutar balikkan fakta agar orang-orang terhasut. 

Dia sudah berjanji pada Danu untuk percaya. Dia sudah berjanji untuk menerima semua yang terjadi asal Danu setia. 

"Pergi, Dara. Kalau kamu takut tidak mampu memberi anakmu makan, akan kuberikan uang agar kamu tenang. Pergi sekarang, karena dia akan kembali dan menempati posisinya. Di sisi Danu. Menjadi istri sekaligus nyonya di rumah ini. Wanita yang dari dulu sampai sekarang, Danu cintai."

Dara memutar tubuhnya perlahan. Meski terus memaksa dirinya untuk tidak terpengaruh, nyatanya dia mempertanyakan kebenaran ucapan Julia itu. Jantungnya berdetak kencang seakan mau meledak. Tubuhnya melemas. Kepalanya sakit. Kemungkinan Danu menaruh hati pada seorang wanita yang mungkin akan mencampuri pernikahan mereka, membuat Dara merasa mual.

"Danu bahkan tidak pernah menolak panggilannya. Oh ... sebaliknya. Danulah yang selalu menelepon. Karena apa? Karena cinta Danulah yang bertepuk sebelah tangan."

Julia melangkah maju dengan tatapan yang terpusat pada Dara. "Itu dulu, saat dia jatuh cinta pada lelaki lain. Tapi, yang kudengar sekarang, dia dan lelaki itu akan berpisah. Biasanya sih, dia akan merengek ke pelukan Danu untuk mendapat hiburan. Uh, kasihan sekali ya, kakak ipar. Sainganmu datang terlalu cepat."

"Ucapanmu terlalu bersemangat untuk orang yang mengaku trauma karena menjadi korban pelecehan, Julia." Suara itu menginterupsi.

"Ma ... Mami?!" Julia terlihat kaget.

"Kasusmu sedang diusut. Lebih baik pikirkan perkembangan kasusmu itu, dibanding memikirkan rumah tangga Dara."

"Aku tidak membuat laporan, Mi," jawab Julia cepat.

"Aku tahu. Tetapi karena aku peduli, aku yang membuat laporan. Itulah gunanya keluarga, saling menunjukkan kepedulian dan pembelaan." Firly tersenyum santai. Dia kemudian menghampiri Dara. "Danu menelepon Mami karena panggilannya tidak dijawab. Lain kali, kalau menghubungi seseorang, pastikan nada deringmu hidup. Supaya saat dia menelepon balik, kamu tahu. Dan satu lagi ... jangan terlalu lama di luar rumah tanpa pengawasan. Sangat berbahaya karena banyak binatang yang bisa saja menyerang. Contohnya ... ular."

Firly tersenyum miring sambil melirik ke arah Julia.

"Masuk, Dara. Tadi pudingmu juga sudah diantarkan ke kamar. Istirahatlah. Isi waktu luangmu dengan hal yang lebih berguna seperti membaca buku agar isi kepalamu tidak kosong. Jangan sampai kamu seperti orang-orang, yang harus menjual tubuhnya agar bertahan hidup, karena terlalu bodoh untuk menghasilkan uang dengan bekerja dan berpikir."

Sang ibu mertua mendorong Dara pelan ke arah pintu sehingga Dara pun masuk kembali ke dalam rumah. Dia menatap ponselnya dan memang sudah beberapa panggilan tidak terjawab.

Sebenarnya, setelah apa yang Julia katakan, suasana hatinya menjadi buruk sekali. Namun, sang ibu mertua yang ternyata masih mengekor di belakang mendadak mengulurkan tangan dan menekan tombol hijau hingga panggilan video pun terhubung.

Dara menoleh ke sang ibu mertua dengan mulut terbuka, sedikit kaget sekaligus tidak percaya. Hendak protes, dia tidak berani. Akhirnya panggilan terhubung dan wajah Danu terpampang di seberang sana.

"Ada apa?" tanya Danu.

"Tadi aku ... " Dara pun bingung harus berkata apa.

"Kenapa kamu menelepon sambil berdiri, Dara? Kenapa di ruang tamu?"

Dara mendecak dalam hati karena merasa diomeli. Danu biasanya memiliki indra keenam sehingga dengan mudah membaca pikirannya, kenapa sekarang lelaki itu tidak bisa mengerti kalau Dara masih dalam suasana hati yang buruk sehingga malas mendengar omelan?

Ah ya ... Danu bisa mengetahui semuanya dan mengklaim bahwa dia tahu lebih banyak lagi meski tidak pernah mengatakannya. 

Lalu, kenapa Danu tidak pernah tahu kebusukan Julia? Semua akting yang dilakukan wanita ular itu? Ucapan-ucapan Julia tadi ... apakah Danu tidak mendengarnya? Atau ... Danu tahu tapi tidak peduli?

"Kenapa wajahmu masam? Julia?"

Nah! Danu sudah mulai dengan indra keenamnya.

"Bukan ...." 

"Abaikan dia, Dara. Dia memang jadi lebih sinting belakangan. Lebih baik selama sepuluh hari ke depan kamu di kamar saja, kecuali sedang ada orang di sampingmu. Tidak usah ladeni dia."

"Aku tahu ... tapi dia itu .... Ck! Mas nggak tau sih omongannya. Berbisa banget."

"Tahu. Aku kenal dia sekitar ... sejak dia dilahirkan."

Dara mendecak, kali ini tidak lagi di dalam hati. "Aku serius, Mas," ucapnya yang kini sudah memasuki kamar dan melangkah ke arah ranjang. "Dia terus menerus bicara hal-hal yang--"

"Membuat kamu merasa terpojok? Itu memang bakatnya sejak lahir."

"Kenapa sih, sepupu Mas harus begitu? Kenapa Mas akrabnya sama perempuan yang begitu? Kenapa nggak akrab sama sepupu yang lebih waras sedikit?"

Danu tertawa pelan. "Waktu kamu mengomel seperti itu ... kamu seksi sekali, Ma," ucapnya.

Dara terdiam sejenak lalu merona karena melihat cara Danu memandangnya. 

Lelaki yang menatapnya dengan ketertarikan yang terlihat jelas di matanya seperti ini, benarkah di hatinya ada wanita lain?

Untuk apa Danu berakting?

Tanpa Danu berakting pun, anak ini sudah menjadi miliknya. Dara selaku istri pun pasti akan menurut saat diajak bercinta. Tanpa harus disertai manipulasi dan paksaan, Dara pasti akan tetap menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik. 

Kepala Dara terasa mau pecah. Belum sampai 10 hari Julia menumpang, pengaruh ucapan wanita itu sudah sedalam ini. Dara ingin sekali berkonsultasi dengan seseorang, tapi dia sudah berjanji tidak akan pernah berhubungan dengan Lucy lagi. Berbicara dengan Laras, jelas tidak mungkin. Adiknya itu lebih butuh belajar dibanding mendengarkan keluh kesah sang kakak tentang dunia pernikahan.

"Dara ...."

Panggilan Danu menyadarkan Dara dari lamunan.

"Ya, Mas?"

Danu menarik napas panjang lalu membuangnya dengan gerakan kasar. Seolah, dia juga terbebani sesuatu. "Ingat janjiku, Dara. Semua akan segera membaik dan selesai, sebelum anak kita lahir. sampai saat itu, tutup mata dan telingamu. Jangan berpikir dan menarik asumsi apa pun. Fokuslah pada kandunganmu, pada kesehatan anak kita. Apakah kita masih bisa sepakat soal itu?"

Dara menundukkan pandangannya sejenak lalu kembali menatap Danu sambil mengangguk. "Janji, ya, Mas. Jangan biarkan aku menjadi bodoh terlalu lama."

Danu justru tertawa mendengar itu. "Kamu tidak bodoh, sayangku. Karena itulah aku--"

"Apa?" tanya Dara.

"Selamat siang. Kuakhiri panggilannya, ya. Kamu beristirahatlah."

"Aku sayang kamu, Mas," lirih Dara saat panggilan itu kemudian dimatikan.

Firasat Dara, kalimat yang terhenti tadi kelanjutannya itu adalah kata 'cinta'.

Kenapa tidak diteruskan? Danu mudah sekali berkata sayang dan memanggilnya dengan panggilan mesra. Kenapa sesulit itu berkata cinta? Toh jika diucapkan, Dara akan beranggapan itu ucapan biasa karena Danu memang suka berucap manis seperti itu.

Apakah karena kata cinta memang hanya akan Danu ucapkan pada dia? Wanita yang Julia katakan tadi?

Dara menggeram keras tidak peduli jika ada yang mendengar. Semua ini ... membuat kepalanya sakit sekali.



NB

Kalau kamu jadi Dara, apa yang akan kamu lakukan?

Seguir leyendo

También te gustarán

2.9M 303K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
821K 77.8K 33
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
2M 9K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
2.5M 38K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...