Ia menangis dalam diam. Ia berteriak tanpa suara. Rasa hatinya terlalu sakit.

Harusnya mereka bahagia saat ini. Harusnya mereka bercanda tawa ria saat ini. Harusnya... Harusnya mereka akan tetap bersama andaikan ia tak melakukan hal bodoh itu.

Sial. Lagi dan lagi hanya kata andai yang terlintas dalam benaknya. Sorot silau dari pantulan cahaya bulan yang masuk celah gordennya mengarah tepat pada sebuah benda yang telah lama tergeletak tak terusik diatas meja tepat dihadapannya.

Gelitik bisik itu singgah pada indranya. Menggodanya untuk mendekat dan mengambil benda pemutus laranya. Iya, putus... Jikalau hubungan tak kasat mata yang telah lama ia bangun dengan keenam kakaknya saja bisa hancur dalam sekejap, lalu bagaimana dengan garis nyata nadi dalam tangannya?

Bukankah itu lebih mudah untuk memutuskannya. Dia terlihat. Dia berbentuk dan kulitnya yang putih semakin mempermudah matanya menemukan titik terfatal pemutusan hidupnya. Haruskah benar ia akhiri saja semuanya?

Tangis itu akhirnya pecah. Jemari tangan kanannya mengepal erat benda itu, pikirannya kalut, sebersit bayang bagaimana wajah para hyungnya melintas membuatnya rapuh, namun secepat itu pula bayang kehancuran berganti tempat menggeser semua kenangan manis itu.

Pemuda itu. Pemuda yang selama ini selalu menunjukan sisi ceria di berbagai keadaan. Dia kalap saat sendiri, ia tersenyum miris karena sampai dinginnya benda itu terasa menusuk kulitnya masih tak ada satupun orang yang menahannya.

Haha lucu. Menahan?

Bahkan kini dia sendiri.

Mereka semua pergi.

Persetan.

Benda itu kian dalam menggoreskan luka, ia tak meringis karena memang rasanya tak sakit. Apa sebegitu dalam luka hatinya hingga ia tak bisa merasakan luka sayat berdarah ini?

Dalam satu hentakan akhirnya ia memutus semuanya. Cairan merah pekat mulai terlihat membasahi lengan baju bahkan hingga celana yang ia pakai. Ia tersenyum miris. Pandangannya mulai menggelap. Dan diakhir cahaya yang ia lihat, benda laknat itu terjatuh bersamaan dengan dirinya yang terkulai lemas pada darahnya sendiri yang mulai menggenang.

Sepersekian detik ia merintih, "Hyung... " memanggil mereka yang tak mungkin kembali datang melihatnya dalam keadaan bernafas. Rasanya besok atau beberapa hari lagi dunia akan heboh karenanya.

Dia yakin, namanya sebentar lagi akan menjadi tajuk utama berita bahwa member termuda boygrup BTS ditemukan tak bernyawa... Miris... Bukan apartement pribadi layaknya kasus lain.

Ia ditemukan bunuh diri di dorm nya sendiri. Dorm yang sedari dulu selalu ia anggap rumah tempatnya pulang dengan segala kehangatan keluarga. Jeon Jungkook, sayang ia memilih untuk menyerahkan semua sakit dan derita itu dengan jalan seperti ini. Berharap bisa terbangun di tempat yang lebih baik andaikan saja semua dosa dan kesalahannya bisa diampuni.

Ah... bahkan ia bukan lagi member grup itu. Dia hanya seorang pemuda yang melakukan re-debut. Pemuda menyedihkan yang ditinggalkan orang-orang yang ia anggap kakaknya sendiri, ohh ataukah harus ia sebut dirinya sendiri sebagai pemuda yang menghancurkan orang-orang yang selalu ia elukan sebagai keluarganya?

Yang pasti hanyalah, Jungkook menyerah.

***

Tarikan nafasnya terdengar sedikit berat. Lelah jelas menghinggapinya mengingat perjalanan yang ia tempuh dari Busan sampai ke Seoul bukanlah perjalanan yang singkat. Tapi tarikan nafas berat yang sudah ia ambil beberapa kali ini jelas bukan hanya lelah. Namun juga menetralisir detak jantungnya yang seketika menggila sesaat setelah memarkirkan mobilnya tepat di halaman parkir Rumah sakit dihadapannya.

기억 MEMORY || BTSWhere stories live. Discover now