Delusion Effect 32- Mas Albar

Start from the beginning
                                    

"Kalau begitu, apa saya memiliki kesempatan?

"Kesempatan apa?" pertanyaan Albar terdengar ambigu.

"Memi---"

"Ini pesanannya." Seorang pelayan laki-laki datang, memotong perkataan Albar. Dia menaruh menu yang keduanya pesan di atas meja. Tata menatap pelayan itu dengan kening mengerut, postur tubuhnya terlihat familiar. Saat wajah yang menunduk itu mendongak, Arletta tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Alanno. Laki-laki itu menatapnya dengan tatapan menuntut.

"Terimakasih," ucap Albar.

Alanno berlalu, menyisakan Tata yang masih menatap punggung yang mulai menjauh itu.

"Tata," panggil Albar.

"Eh iya mas," sahutnya kikuk, "heumm, tadi Mas Albar mau bilang apa ya?"

"Kita lanjutkan mengobrol nya nanti, kita makan dulu. Saya sudah sangat lapar."

---

Sedangkan beberapa menit yang lalu, di tempat yang sama, Alanno baru saja keluar dari ruangan bos nya untuk menerima gaji. Senyum laki-laki itu merekah.

"Terima gaji muka langsung seneng, tadi aja keruh banget," sindir Wina yang melintas di hadapannya.

"Gue mencium bau-bau iri, nggak dapet bonus kan lo?" ujar Alanno.

Raut wajah Wina berubah cemberut, "iya, pelit amat si bos. Padahal kerjaan gue bagus."

"Orang kamu bolos dua hari Win, ya jelas si pak bos nggak kasih bonus," serobot Teh Santi.

"Pacar aku sakit Teh," Wina membela diri.

Teh Santi menggelengkan kepalanya, "anak jaman sekarang, sakit pun di urus pacar."

"Lan, ini lo anterin deh pesenan ke meja nomor tujuh, deket jendela," ujar Wina seraya menyerahkan nampan yang sejak tadi di bawanya.

"Lah, lo mau kemana?"

"Kebelet gue."

"Nggak mau ah, gue masih banyak kerjaan," tolak Alan.

"Minta tolong." Wina langsung pergi dengan terbirit-birit.

"Dasar, anak itu ada aja kelakuannya," ucap Teh Santi, "kamu anter deh itu pesanannya. Nanti pelanggan kelamaan nunggu, habis itu bantu Teteh di dapur ya."

"Siap Teh."

Alanno berlalu, langkahnya terayun menuju meja nomor tujuh dimana dua oang berbeda jenis sedang berbincang. Pandangannya terpaku saat melihat bahwa gadis yang duduk di sana adalah Arletta Darwangsa, kekasihnya.

"Kalau menikah?" tanya Albar tiba-tiba, "eh, maksud saya, apa kamu sudah kepikiran untuk menikah?" ralatnya cepat.

"Menikah ya? Belum sih, Tata juga masih muda. Belum mikir sampai ke sana, masih mau main-main."

"Kalau begitu, apa saya memiliki kesempatan?"

Alan mengerti ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Dia laki-laki, tentu tahu perihal 'kesempatan' yang Albar maksud.

"Kesempatan apa?"

"Memi---"

"Ini pesanannya." Buru-buru Alan menyela. Sebelum pergi dari sana ia menyempatkan diriuntuk menatap Arletta yang saat itu juga menatapnya

"Terimakasih," ucap Albar.

Alan menghembuskan nafas berat setelah sampai di pantry. Dirinya harus berusaha lebih keras, ciri-cirinya Albar hendak menyerobot start. Dilihat dari segi manapun, Albar jauh lebih mapan di bandingkan dirinya. Laki-laki itu pasti tidak ragu untuk membawa Tata kejenjang yang lebih serius. 

"Aish, om-om mateng, tikungannya tajem juga," desis nya.

---

"Jadi?" Arletta membuka suara ketika Albar yang duduk di hadapannya telah menyelesaikan makanannya.

"Jadi, saya memiliki kesempatan 'kan?"

Tata menggaruk pipinya, "kesempatan apa Mas? Tata nggak ngerti deh, coba di perjelas."

"Kesempatan memiliki kamu."

Arletta membeku. Tidak menyangka bahwa Albar akan mengatakan hal itu. Tata menjadi bingung sekarang, "tapi mas—"

"Saya serius Tata, jika kamu ragu, saya akan menemui orang tua kamu, meminta izin untuk mendekati kamu secara baik-baik,"sela Albar

Arletta pusing, serius! Ia bahkan tidak dapat mengeluarkan suara. Kata-katanya tercekat di tenggorokan. Yang dia lakukan hanyalah diam, mematung, dan menatap manik mata Albar dalam. Arletta tahu bahwa pria di hadapannya ini serius, sangat bahkan. Namun seperti ada yang menjanggal di hatinya, Tata tidak dapat menyimpulkan apa itu. Yang jelas dia tidak bisa. Tidak bisa menerima pendekatan Albar.

"Mas... Ta...Tata." Arletta bahkan tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Drttt

Drttt

"Maaf Tata, saya angkat telfon dulu," izin Albar.

Tata mengangguk saja.

"Assalamualaikum."

"..."

"Baik, saya akan segera ke sana."

"Maaf Ta, saya harus balik ke kantor, ada meeting penting."

"Ah ya Mas?" Tata mengerjap, "oke, hati-hati Mas."

"Lain kali kita bicarakan lagi, dan dengar ini baik-baik. Saya serius dengan kamu."

"Assalamualaikum."

"Wa-wa'alaikumsalam."

Gila! Benar-benar gila! Arletta menjatuhkan kepalanya di atas meja. Rasanya sangat berat, ia seperti baru saja membahas pembicaraan orang dewasa.

-BERSAMBUNG-

halooo.

Mas Albar balik lagi.

Menurut kalian, bagaimana dengan part ini? 👍🏻/👎🏻?

Komen!!

Jangan sider ya! Klik tombol bintang dan jangan lupa buat komen.

Follow Instagram aku @_sridevina

Dan @heyodepin (aku bakal sering ngasih spoiler di akun yang ini)

Makasih

Salam tertera;

Sri Devina Myn

Delusion Effect (Terbit Di Glorious Publisher) Where stories live. Discover now