Delusion Effect 03- Awkward

30.3K 2.7K 28
                                    

-Yang udh baca sampe part ini, terimakasih. Semoga suka-

H A P P Y R E A D I N G

Pulang sekolah adalah waktu yang paling di tunggu-tunggu oleh setiap pelajar. Termasuk Tata, gadis yang sedang membereskan peralatan sekolahnya itu menunjukan wajah sumringah karena sebentar lagi ia akan tiba di rumah dan bisa menghabiskan waktu untuk rebahan. Uma juga Kila sudah menunggu dirinya di depan kelas. Katanya cuci mata sebelum pulang ke rumah.

"Udah Ta?" tanya Kila.

Tata mengangguk kecil. Mereka bertiga berjalan beriringan menuju gerbang sekolah.

"Lo di jemput sama siapa Ma?" tanya Tata.

"Sama Mas Albar," jawab gadis itu. Dia membenarkan jilbab nya yang sedikit berantakan.

"Wah....kakak Lo yang nomor berapa Ma?" tanya Kila antusias. Tentu mereka tahu jika keturunan keluarga Uma tidak dapat dipandang sebelah mata, visualnya bikin mupeng.

"Nomor dua," jawab Uma.

"Asik, bisa cuci mata," ujar Kila disertai kekehan.

"Mata Lo kayanya setiap hari di cuci nggak bersih-bersih juga," celetuk Tata.

"Beda makna Tatung!" kesal Kila.

"Hareudang.... hareudang..... hareudang."

"Panas....panas....panas."

Ketiga gadis itu menatap Maman dan Nino yang tengah bernyanyi dengan volume suara lumayan tinggi. Di belakang keduanya ada Didi, Bima, Sandy, juga Alan. Keempat cowok itu hanya mampu terkekeh melihat tingkah Maman dan Nino.

"Selalu.....selalu....selalu," teriak Didi, cowok itu ikut bergabung bersama Nino dan Maman seraya menggoyangkan badannya.

"Panas dan hareudang," lanjut Maman.

"Goyang itik jos," seru Sandy.

"Hoha hohe," teriak Nino.

"Goyang terus mas," tutur Bima.

"Hareudang..... hareudang.... hareudang."

"Panas....panas....panas," lanjut Bima.

"Selalu.....selalu.....selalu.....panas dan hareudang."

"Hoha hohe," teriak Alan.

Heboh. Itu yang akan terjadi jika ke enam lelaki itu sudah berkumpul dan melakukan aksi konser dadakannya. Sepertinya urat malu mereka telah putus, karena di tengah ramainya murid yang berlalu lalang hendak pulang, mereka masih bisa heboh dengan segala goyangan mautnya.

"Kebiasaan deh, urat malunya putus," gumam Kila jengkel.

"Bukan putus lagi, udah nggak ada," balas Tata.

"Emang urat bisa malu?" Ayuma bertanya dengan tampang bingung juga polosnya. .

Memutar bola matanya malas, Arletta berceletuk. "Anginnya kenceng ya?"

"Iya nih, jilbab aku dari tadi melambai-lambai," sahut Uma.

"Pantes," kata Arletta.

"Kenapa?" tanya Kila.

"Otaknya Uma terbang kebawa angin."

---

"Assalamualaikum," salam Alan dan Tata serentak.

"Amma......Appa," pekik Laskar begitu kedua orang tuanya berdiri di ambang pintu dengan seragam sekolahnya. Tata dan Alan langsung tersenyum.

Batita itu berjalan dengan sedikit tertatih karena belum fasih berjalan. Terkadang ia terjatuh, tetapi Tata dan Alan enggan membantu, mereka ingin Laskar bangun dengan sendirinya dan berjalan kembali kearah mereka berdua.

"Amma," ujar Laskar seraya merentangkan kedua tangannya.

Dengan senyum merekah, Tata mengangkat bayi gembul itu kedalam gendongannya. "Papa bawain pesanan Laskar," ujar Alan.

"Ue," seru Laskar girang.

Tata yang gemas memberikan ciuman bertubi-tubi di wajah bayi itu. "Iya, kue," jawabnya.

Mereka bertiga masuk kedalam rumah. Alan duduk di sofa rumah Tata sedangkan Laskar mengikuti gadis itu menuju dapur.

"Baru pulang Ta?" tanya Rosi.

"Iya Mi," jawabnya, "Laskar turun dulu."

Tata menurunkan Laskar, membiarkan anak itu bermain di lantai dapur. Tata mengambil piring dan meletakan kue kesukaan Laskar disana. "Ayo sayang, ikutin Mama," ucap Tata. Ia sesekali melihat kebelakang dimana Laskar mengikutinya dengan tertatih.

"Laskar mana?" tanya Alan.

"Itu." Tata menunjuk Laskar menggunakan dagunya, bayi itu terduduk di lantai lalu kembali berdiri dan berjalan menuju ruang tamu.

"Appa," teriak Laskar.

"Hm," dehem Alan.

"We...we," (gue....gue) celoteh bayi itu yang berhasil membuat Alan mendelik.

"Laskar bilang apa?" tanya Tata.

"We!" pekiknya.

"We?" beo Tata.

Laskar menggeleng lucu, "We," ucapnya.

"Gue?" tanya nya, gadis itu menunjuk dirinya sendiri. "Siapa yang ngajarin?"

"Appa!" jawabnya girang.

"Lan," desis Tata.

"Itu tadi pas bangunin kamu," jawabnya.

"Kamu udah tau Laskar cepet respon, masih aja," omel Tata.

"Iya, maaf."

Sejak umur delapan bulan Laskar memang sudah mulai mengikuti apa yang Tata dan Alan ucapkan. Bayi itu akan cepat mengerti dan mengikuti yang orang tuanya katakan. Dan dari situ Arletta menyuruh Alanno terbiasa menggunakan aku-kamu.

"Nggak baik ngomong kaya tadi ya? Nggak sopan, nanti nggak Mama kasih kue," peringat Tata. Laskar hanya mengangguk lugu. Bayi itu mulai melahap kue kesukaannya.

Televisi di depan mereka menayangkan sebuah acara dimana ada seorang perempuan yang baru saja melahirkan tanpa suami disisinya. Alan memang cowok yang penuh drama. Tontonan nya saja sinetron Indosiar.

"Appa," panggil Laskar.

"Ya?"

"De.....de...dek," tuturnya sambil menunjuk layar televisi.

"Iya dedek," jawab Alan. Cowok itu menarik Tata agar masuk kedalam dekapannya. Ia mencium dalam-dalam aroma rambut hitam legam gadis itu. "Wangi buah," gumamnya.

"Au de de dek Appa," ( mau adik Appa) celetuk Laskar.

"Hah?"

"Halo, kakek pulang," teriakan dari arah pintu berhasil mengambil atensi tiga orang yang berada di ruang tamu.

Rosi yang mendengar suara sang suami segera keluar dan mengambil tas juga jas milik suaminya.

"Tek, de...de...dek," ( kek, adik) ujar Laskar seraya menunjuk layar televisi, memberi tahu apa yang ia lihat kepada Kakeknya.

"Iya, dedek bayi," jawab Reka, Papi Tata.

"Au de...de...dek," celetuk Laskar.

Brabe kalau udah begini.

-BERSAMBUNG-

Sebelum baterai handphone ku habis, dan sebelum berselancar di Instagram, aku update dulu.

Siapa tau nanti lupa dan berujung nggak update sebulan.

Buat yang lagi ngerjain tugas, semangat.

Jangan lupa buat makan ya, bukan cuma rindu yang butuh tenaga, belajar juga butuh asupan makanan.

Koreksi bila ada typo dan salah penempatan tanda baca ya!

Terimakasih

Salam tertera;

Sri Devina Myn

Delusion Effect (Terbit Di Glorious Publisher) Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu