Delusion Effect 26- Ayah Biologis Laskar

20K 2K 330
                                    

-kita udah masuk ke part 26, itu yang sider apa tidak minat vote dan komen?-

H A P P Y R E A D I N G

Bram Arthaya Aditama, laki-laki yang merupakan Ayah biologis dari Laskar Aditama, anaknya yang bahkan tidak pernah ia lihat. Beberapa tahun silam laki-laki itu menolak bertanggung jawab atas kehamilan Jody dengan alasan sudah memiliki tunangan.

Dan di hari itu juga keluarga Bramastha dengan tegas mengatakan bahwa anak yang di kandung Jody sepenuhnya hak mereka dan Bram di larang untuk menemui anak itu, baik saat di dalam kandungan atau bahkan ketika lahir nanti.

Hari itu sudah lama berlalu, mungkin sekitar 2 tahun lalu. Alanno masih ingat dengan jelas, saat Laskar lahir Jody bersikeras menyematkan nama Aditama sebagai marga Laskar.

Perempuan itu berkata;

'Bram tetaplah Ayah Laskar. Udah cukup Laskar lahir tanpa sosok Ayah, apa salah jika Jody ingin nama Laskar dicantumkan marga Ayahnya?'

"Apa benar Bram tinggal di sini?" tanya Reka. Mobil yang ia kendarai berhenti di depan rumah dua lantai yang terlihat begitu besar. Terlihat megah tetapi tidak terawat. Gerbangnya yang menjulang tinggi sudah terlihat mengkarat. Rerumputan juga telah mengambil alih. Tanaman liar tumbuh di sekitarnya. Bangunnya sudah termakan usia.

"Dua tahun lalu, iya," jawab Alanno.

"Sepertinya dia sudah pindah," ucap Reka.

"Mungkin. Alan tanya sama tetangganya dulu," ujar Alanno lalu turun dari mobil. Ia melangkah ke sebuah rumah yang terletak tepat di sebelah rumah Bram.

"Assalamualaikum, permisi," kata laki-laki itu.

"Wa'alaikumsallam, ada apa ya Dek?" seorang wanita paruh baya keluar dengan raut bingung.

"Permisi Bu, saya numpang nanya, pemilik rumah di sebelah udah pindah ya?"

"Oh, Mas Bram? Bukan pindah Dek, tapi lagi di rawat di rumah sakit. Udah hampir satu tahun."

"Rumah sakit? Ibu tau rumah sakit mana?"

"RS Mitra Keluarga Kelapa Gading," jawab wanita itu.

"Kalau boleh tau sakit apa ya, Bu?"

"Kalau tidak salah, HIV."

---

Disinilah Alanno dan Reka sekarang, berdiri di depan ruang rawat inap Bram Arthaya Aditama. Alanno tampak ragu untuk masuk, laki-laki itu hanya menatap ruangan di depannya kosong.

"Ayo," ajak Reka.

Alanno menghela nafas berusaha meyakinkan diri. Setelah menenangkan dirinya sendiri, ia melangkah yakin. Perlahan pintu itu terbuka. Tidak ada suara yang terdengar, hanya keheningan.

"Assalamualaikum," salam Alanno juga Reka bersamaan.

"Wa'alaikumsallam," sahutan lirih dari dalam terdengar.

Saat pintu terbuka sepenuhnya, Alanno dapat melihat tubuh ringkih Bram yang terbaring di atas ranjang. Penampilan pria itu jauh berbeda dari dua tahun lalu, sangat jauh berbeda.

"Alan." Bram tampak kaget namun hanya sepersekian detik karena pria itu berhasil mengontrol ekspresinya.

"A-apa kabar?" tanya Alanno.

"Cukup buruk," sahut Bram, "atau mungkin sangat buruk."

"Tau darimana gue di sini?" tanya Bram.

"Ada lah," sahut Alanno.

Selanjutnya hanya diisi oleh keheningan. Kecanggungan menguasai.

"Jody apa kabar?" tanya Bram.

Terdengar helaan nafas berat dari Alanno. "Kak Jody udah meninggal," jawabnya.

Kali ini Bram benar-benar terkejut. Ada batu besar yang baru saja menghantam dadanya. Ada rasa sakit tidak kasat mata.

"Jody? Kapan?" tanya Bram pelan.

"Kurang lebih satu tahun lalu. Dia pergi ninggalin gue bareng Papa dan Mama, tapi dia nggak membiarkan gue sendirian, dia beri gue malaikat kecil. Malaikat kecil yang sekarang keberadaannya terancam karena Tamara. Karena itu gue dateng, gue mau nanya sama lo, lo kenal sama Tamara?"

"Malaikat kecil? Siapa yang lo maksud dengan malaikat kecil?" Bram malah balik bertanya.

"Itu nggak penting, yang gue tanyakan adalah lo kenal sama Tamara?"

"Alan, jawab gue! Siapa malaikat kecil yang lo maksud?" tanya Bram. Panggilan 'Malaikat kecil' cukup mengusik dirinya. Ada beribu-ribu kemungkinan yang muncul di kepalanya.

"Jangan jawab pertanyaan gue dengan pertanyaan juga!" ucap Alanno.

"Malaikat kecil yang lo maksud, apa dia anak gue?" Bram masih bersikeras.

"Itu nggak penting sama sekali! Yang gue tanya, lo kenal nggak sama Tamara?" emosi Alanno mulai tersulut.

"Alan." Reka berusaha menenangkan. Ini rumah sakit, tidak etis rasanya.

"Jawab pertanyaan gue, Lan! Yang lo maksud itu anak gue 'kan?"

"Iya! Malaikat kecil itu anak lo! Dan sekarang anak lo dalam bahaya karena Tamara!" seru Alanno.

Bram tidak dapat menahan air matanya. Anaknya telah lahir. Rasa sesal itu kembali hadir. Menyesal saat dua tahun lalu ia menolak untuk bertanggung jawab dan lebih memilih tunangannya. Sakit tidak kasat mata itu semakin menjadi-jadi.

"Dimana dia sekarang? Apa dia baik-baik aja? Umurnya berapa? Cewek atau cowok?"

"Bram, stop!" sela Alanno, "sekarang jawab pertanyaan gue, lo kenal sama Tamara?"

"Tamara, dia mantan tunangan gue," jawab Bram.

Sesuai dugaan! Sedari awal Alanno memang merasa tidak asing dengan nama itu. Ia merasa pernah mendengarnya.

"Apa Tamara ngelakuin sesuatu yang buruk sama anak gue?" tanya Bram.

"Wanita itu hampir membunuh anak kamu," sahut Reka.

Bram mengusap wajahnya kasar. Mengapa Tamara bertindak sejauh ini?

"Ada satu hal yang perlu kalian tau," ucap Bram. Laki-laki itu memandang Alanno juga Reka dengan raut serius.

"Tamara punya gangguan jiwa."

-BERSAMBUNG-

Part ini memang pendek bangettt..

Ngomong-ngomong, aku ada rencana mau buat cerita baru. Mau nanya sama kalian nih.

Kalian lebih suka cerita seperti apa?

Duda (Didi)

Brondong (Sandy)

Atau cerita Perjodohan?

Komen ya!

Anyway, UTS aku diundur. Yang tadinya tanggal 23 jadi tanggal 30.

Salam tertera;

Sri Devina Myn.

Delusion Effect (Terbit Di Glorious Publisher) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang